Monday, December 29, 2008

Jelang tahun 2009

2008 sebentar lagi berlalu, dan sekarang tiba saatnya untuk bersiap menyambut tahun 2009. Dalam 12 bulan yang lewat sudah pasti banyak hal yang terjadi. Jangankan hitungan bulan, tiap menitpun kadang kita mengalami hal yang berubah. Waktu memang berlalu dan akan selalu datang.

Yah! yang namanya hidup pasti penuh warna, tak hanya suka dukapun datang menyeimbangi. Jika kita memang harus berhitung dalam satu tahun kira-kira apa saja yang terjadi di tahun 2008?

Hmmm...Hal yang paling kuiingat adalah kepergian Ayahanda terkasih. Pokonya tahun ini banyak mengurai air mata. Ga balance!, lebih banyak sedih daripada sukanya. Trus bagaimana dengan kesehatan? Buruk dengan harus bolak balik setiap minggu bertemu dokter jantung. Karier? Cukup membanggakan. Keuangan? bisa menikmati kebebasan finansial.

Kemudian apa yang menjadi harapan di tahun 2009?
Aku ingin bahagia dan fokus dengan keluarga sembari menantikan hari yang indah itu datang. Menantikan tiba saatnya dipanggil Bunda! Semoga saja terkabul.

Selamat tahun baru 2009!
Love,
Kadek Purnami

Thursday, December 18, 2008

Sajadah

Dia lelaki paruh baya, pekerjaannya hanya tukang kebun. Dialah tulang punggung keluarganya. Hidupnya jauh dari sederhana, bagiku teramat sederhana. Dia jarang berbicara, entah dia memang pendiam atau tak tahu apa yang mesti dibicarakannya.

Aku selalu menyapa duluan ketika melewatinya, aku bukan majikannya, aku hanya tamu yang menumpang nginap di rumah tuannya.

Ketika adzan magrib mengumandang aku beranjak ke dapur untuk membuat secangkir teh. Pintu dapur coba kubuka namun agak tersendat, akupun melongokkan kepala melalui pintu.

Dalam lorong dapur yang sempit, kulihat dia bersimpuh menghadap kiblat, melakukan sholat dengan khusuknya. Aku tertegun lama menatap sajadahnya, bukan permadani dari yordania, melainkan hanya selembar koran bekas.

Ya Tuhan, kembali kau perlihatkan padaku bahwa aku cukup beruntung.

Sholat itu niat dan ketulusan. Tuhan tidak akan melihat sajadah yang kamu pakai, ataupun pakaian yang kamu gunakan. Tapi Tuhan melihat ketulusan hambanya.

18 Desember 2008
Surabya
d.purnami

Angkot

Aku tak ingat kapan terakhir kali aku naik angkot, yang pasti sudah cukup lama.
Angkutan kota, bisa di bayangkan jasa transportasi umum ini. Pasti dimana-mana sama. Jauh dari rasa nyaman, panas tak ber AC, berdesakan dan lama.

Angkot sering diidentikkan dengan masyarakat ekonomi kelas bawah. Ya sudah pasti mana ada orang kaya mau naik angkot. Pasti bawa mobil sendiri, masyarakat menengahpun tak mau, pasti memilih mengendarai sepeda motor sendiri.

Jasa angkot ini hanya memungut bayaran 2000 untuk siswa dan 3000 untuk umum sangat berguna bagi mereka yang tak memiliki kendaraan pribadi.

Sore ini hujan turun menderu dengan derasnya petirpun menyambar-nyambar. Aku beharap hujan segera reda, jika tidak jalan depan yang akan kulewati pasti akan banjir.

30 menit lagi aku harus bertemu dokter. Aku mencoba menelfon taxi. Jaringannya sibuk, aku menunggu hingga 20 menit taxi masih tak bisa kuhubungi. Diluar hujan sudah sedikit mereda, dan akupun berlari keluar menuju jalan raya untuk mencegat taxi.

Aku kurang beruntung, tak satupun taxi kosong lewat hingga aku tak punya waktu lagi. Angkot begitu banyak yang lewat, lama kufikir. Apakah aku akan naik angkot saja. Tak selang berapa lama tanganku pun menyetopnya. Deg, aku tak yakin untuk naik ke angkot itu, namun tiada plihan. Supir meneriakiku untuk segera masuk dan mengambil tempat duduk. Belum rasanya pantatku menyentuh kursi, angkot sudah melaju.

Bau tak sedap campuran parfum murah dan keringat menyambutku menusuk hidung dan membuat kepalaku berdenyut. Aku duduk diantara bapak-bapak buruh jalan. Rasa takut dan tak nyaman menyergapku. Kubaca pada pintu angkot tulisan yang cukup besar. Awas Copet! Yap aku memang harus extra hati-hati. Tas aku pegang dengan erat, tak berani mengeluarkan hp dan berharap hpku tak berbunyi.

Perjalanan terasa sangat lama, aku mulai merasa sesak dengan 15 orang, udara pengap dan aku harus menunduk karena plafonnya yg rendah. Mual dan pusing menyerangku namun aku tetap bertahan hingga sampai di tujuan.

Fyuh... aku memang terlalu lama hidup dalam kenyamanan, dan kali ini aku diingatkan kembali untuk selalu bersukur.

16 Desember 2008
Surabaya
d.purnami

Monday, December 15, 2008

Empang

Taxiku berjalan merayap menyusuri jalan kecil, dengan becak di kanan kiri. Mataku tertuju pada empang yang berkelok sepanjang jalan, berwarna hitam dan tentunya mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bangunan kumuh berderet sepanjang empang.

Aku berfikir bagaimana mereka bisa hidup dalam keadaan seperti itu, yang jauh dari rasa kenyamanan.
Namun aku perhatikan mereka tetap hidup seperti biasanya, mereka duduk ngobrol, ngopi dan makan dipinggir empang. Wajah mereka tak menampakkan rasa jijik ataupun sedih, wajah mereka ketika menikmati kopi sama nikmatanya dengan kita saat menghirup kopi di warung kopi berkelas.

Masih sepanjang empang dengan air berwarna hitam, aku melewati pasar yang ramai, para penjual berderet dipinggir empang. Seperti pasar pada umumnya mereka menjual daging ayam, sapi, ikan, sayur, buah dan sebagainya, pembelinya pun ramai. Transaksipun berjalan biasa layaknya di supermarket. Tak satupun mereka mmenutup hidung.

Mataku tertuju pada seorang anak kecil dan bapaknya yang berendam di dalam empang mencari botol bekas dan menjaring ikan.

Tidakkah mereka akan merasakan gatal dan sakit?
------------------------

Keesokan harinya aku melalui empang itu lagi, kali ini hujan begitu deras mengguyur sehingga membuat banjir dan air empang naik, aku bergidik di dalam taxi tak membayangkan jika aku terkena air hitam tersebut.

Mataku kembali terbelalak, menyaksikan anak kecil dan orang tua berhamburan keluar jalan bermain air dengan gembira. Mengambil air di jalan menyiramkannya ke tubuh temannya. Mereka tak peduli air itu sekotor apapun mereka tetap gembira. Sama gembiranya ketika aku melihat keluarga yang bermain air di waterboom.
-----------------------------------

Ah hidup, akan menjadi terbiasa oleh keadaan.

Surabaya
14 Desember 2008

Sunday, October 26, 2008

Baliku Sayang

“Ingin menjadi tetangga saya?”

Bunyi sebuah iklan apartemen dalam billboard ukuran besar di kuta. Ikon yang di gunakan adalah salah satu diva Indonesia – Kris Dayanti.

Kufikir pasti banyak orang ingin menjadi tetangga selebritis kenamaan Indonesia itu.
Selain apartemen yang bagus dengan fasilitas hotel bintang lima, kira-kira apa yang menjadi daya tarik lain apartemen itu?

Hmmm kalo boleh kutebak BALI! Yapp, the island of paradise.
Tanah kelahiranku yang kucinta.

Sebuah kebanggaan bagi para kaum jetzet Jakarta, Singapore, Taiwan dan beberapa Negara lainnya untuk mempunyai investasi rumah di Bali.

Berapa kira-kira orang Bali asli yang ikut membeli apartemen tersebut? Hmmmm pasti sedikit atau malah tak ada?

“Saya tak sudi menjadi tetanggamu Kris Dayanti!, itulah bathin saya.”


Ray White, Kuta Property, Ubud Property - sale Land, Villa and Houses.

Sakit Hati melihat iklan tersebut.

Tanah siapa yang di kavling dan di jual itu? Tak salah jika pertiwi menangis. Sawah habis untuk pembangungan villa dan hotel. Petani tergusur, air untuk pertanian habis untuk pemenuhan kebutuhan hotel.
Sawah yang dinikmati, budaya yang dikagumi, tak ada kontribusinya, petani hanya menjadi tontonan, tak ada kontribusi untuk pemeliharaan dan kelanjutannya.

Bali destinasi wisata. Menghamba pada wisatawan untuk kehidupan masayrakatnya.

Miris !

Kuta, seminyak, Nusa dua sudah tak seperti Bali lagi, akankah Bali akan bernasib sama dengan Jakarta? Dimana masyarakat asli betawi tergusur oleh kedatangan modernisasi?

BALI – BULE. Beberapa tahun lagi mungkin masayrakat Bali akan seperti itu. Selain ada kampung Jawa juga akan muncul kampung Bule atau Banjar expat. Mungkin saja.
Tak hanya orang jawa yang sehabis lebaran datang membawa sanak saudara untuk bekerja di Bali. Orang Bule juga seperti itu.

Tak dipungkiri semua adalah karena globalisasi. Pertukaran lintas negara. Orang bali banyak yang bekerja keluar negeri, orang luar negeri banyak yang menggali untung di Bali.
Berapa banyak hotel, restaurant dan villa dimiliki oleh orang Bali? mungkin tak seberapa.
Menjamurnya hotel, villa dan restoran juga di dukung oleh masyarakat kita. Seperti halnya melindungi para bule tersebut.datang ke bali dengan visa sosial budaya bukan visa kerja, tetapi nyatanya mereka bekerja di Bali. Atau yang kerap terjadi adalah ”atas nama” sebuah usaha. Misalkan mendirikan sebuah restoran para expat biasanya meminjam nama pemilik tanah atau nama orang lokal sebagai penjamin untuk legalisasi ijin mendirikan usaha. Jadi pada sertifikat restoran tersebut dimiliki oleh orang lokal. Namun pengelola dan yang menuai untung adalah para expat itu sendiri, begitu juga dengan jenis usaha lainnya pendirian usaha garmen, handicraft dll.

Yayasan yang berkedok sosial juga banyak, seperti yayasan kemanusiaan, bencana alam hingga yayasan untuk anjing. Didalamnya semua adalah expat.

Artinya masyarakat kita cukup bangga dengan nama diatas kertas saja, atau tanahnya di kontrak.

Bicara tentang posisi, Nah siapa yang memegang posisi menengah ke atas dalam sebuah perusahaan ataupun organisasi tersebut ? Pasti Bule. Biasanya jika sebuah usaha di jalankan oleh para Bule akan jauh lebih berhasil. Begitulah paradigma yang berkembang selama ini.

Kemudian saya ingin bertanya sebenarnya dimana Posisi orang Bali saat ini?
Apakah sebagai penonton saja dan tetap ramah, tersenyum, dan memegang teguh mental melayani melihat semua perkembangan Bali?

Mungkin kita harus cepat tersadar sebelum terlena.

Di balik kegemerlapan Bali sebagai destinasi pariwisata dunia, masih banyak saudara kami yang kekuangan air, tak punya rumah, tak bisa sekolah. Banyak sekali daerah miskin di Karangasem, Singaraja dll.

Satu sisi pariwisata dan kehadiran para bule memberikan perubahan yang besar terhadap peningkatan taraf hidup masayrakat, namun disatu sisi ini seperti kami merasa di jajah.

Ya, penjajahan yang terselubung, sebentar lagi daerah kami akan dikuasa para bule, banyak tanah yang dijual oleh masayrakat di bali untuk villa dan hotel. Setelah itu kami tak punya apa-apa lagi.

Setelah menjual tanah kita memang kaya dalam jangka beberapa tahun. Namun setelah itu? Jika skill tidak ada tetap kita akan kembali menjadi pekerja rendahan. Atau lebih parah bekerja pada hotel yang didirikan diatas tanah yang dulu kita pernah miliki.

Bali sudah over exploitasi.

Baliku sayang..

Seperti apa kita 20 tahun lagi?
Kasihan anak cucu saya nanti, neneknya tak mampu berjuang untuk mereka.

d.purnami
24 Oktober 2008

Saturday, October 25, 2008

Pancake of the day!

Pagi yang tergesa-gesa. Walau aku bangun lebih pagi, tetap saja aku terlambat. Hanya sempat menyomot 2 pancake isi pisang. Kumasukkan kedalam kotak dan bermaksud untuk kusantap dalam perjalanan ke Denpasar.

Dalam jarak tempuh 5 menit aku sampai dikantor dengan terlambat dibonceng dengan temanku yang belum fasih naik motor matic. Selain ajrut-ajrutan, juga sekian kali aku nyaris terjungkal karena remnya yang terlalu paten.

Ahmad Tohari penulis novel ronggeng dukuh paruk sudah menungguku.
”Maaf saya terlambat sedikit”
“Dimana yang lain ? sapanya
“ Kita jemput ke hotel pak”
”Tadi ada yang datang satu”
”Bapak kenal”
”Belum kenalan saya”
”Siapa ya kira-kira?, jujur saya bingung pak dengan wajah para penulis, saya belum pernah bertemu langsung. Selama ini saya komunikasi via email, sms dan telfon. Juga foto yang dikirim untuk di katalog kebanyakan foto mereka waktu masih ganteng dan cantik pas ketemu beda banget pak. Kemarin saja Dino Umahuk bawa buku ke kantor saya kira kurir barang”
”ah kamu itu bisa saja, ayo berangkat biar ga telat”
”Nunggu Bernice dulu pak kalo dia datang kita berangkat, hmmm oh ya kita juga harus nunggu Faisal Tehrani, saya ga tau orangnya. Kalau tak muncul kita tinggal saja ”
”Halo ini saya, Faizal dari malaysia, kawan saya Bernice lagi dalam perjalanan, sudilah tunggu sebentar” ( ternyata yang berdiri disamping saya dari tadi faizal yang kukira relawan)
Upss boro-boro sempat makan pancake awak sudah cukup malu sama abang faizal.

Akhirnya 5 menit kemudian Bernice datang dan lebih cantik aslinya dibandingkan dengan foto di katalog.

Kami pun berangkat menjemput 4 penulis lagi, Azhari, Mashuri, Dino, dan lily. Sesampainya di hotel, mereka belum juga siap, masih sarapan.

Aku berikan mereka kode, mengembangkan lima jari dan menunjuk jam sambil pasang tampang seram, toleran waktunya tinggal 5 menit saja.

Sembari menunggu mereka selesai sarapan, aku mengeluarkan bekal andalanku, baru kubuka, baunya membuat liur. Siap menyantap pancake, telfonku berdering dan pancake kuserahkan kepada temanku. Telfon kututup satu sudah dimakan oleh 2 temanku.

” yummy!!! pancake pisangnya enak, ini kusisakan 1 buat kamu” seru mereka.

Ku ambil sisanya dan langsung masuk mobil. Sebelum kumakan, akupun menawari pada penghuni mobil lainnya.
”Abang Faizal, bernice, dan pak Ahmad, mau pancake?”
”Boleh”
”ddddggggg”

Kuberikan sisa 1 pancake kepada mereka dan dibaginya bertiga sampai habis.

Terima kasih kadek, enak sekali, kami tak sempat sarapan tadi di hotel.

”ah iya sama-sama”


d.purnami
Ubud, 16 oktober 2008

Wanita lebih kuat daripada pria

Ada yang pernah bilang bahwa wanita memang lebih kuat dari pria? Benarkah?
Komentar saya ” memang benar dan sudah terbukti”

Sore ini saya mengantarkan ibu mertua ke sebuah acara pertemuan antar warga. Ah,dimanapun jika ibu-ibu sudah berkumpul pasti ramai jadinya. Acara temu warga mungkin akan berubah menjadi ajang curhat antar tetangga. Hhmmm...apa iya begitu?

Untuk kedua kali saya membenarkan. Ya! betul banget.

Rapat antar warga baru berjalan setengahnya, peserta rapat satu persatu merapatkan diri membentuk rapat-rapat kecil. Yepp tiada lain dan tiada bukan ajang curhat akan segera dimulai. Rapat antar warga bukan hal penting lagi, itu cuman alasan biar bisa ngumpul.

Mereka tak hiraukan keberadaan saya, maklum saya masih dianggap anak kecil yang belum tahu persis bagaimana manis pahitnya kehidupan di dalam rumah tangga. Saya membolak balikkan majalah sembari memasang kuping. Salah satu ibu mengeluhkan suaminya yang jarang pulang, ibu yang lain mengeluhkan mertuanya yang super duper cerewet, atau seorang tetangga yang baru ketahuan selingkuh dan menjadi top gossip this week.

Selang beberapa menit rapat temu warga semakin terpecah menjadi beberapa bagian kelompok. Mereka otomatis berkumpul berdasarkan teman akrab, rasa senasib dan seberapa besar tingkat kepercayaan untuk saling menjaga rahasia.

Aku masih menemani mertuaku, dia cukup disegani karena usianya yang paling tua, dia tak begitu antusias bergosip, paling menjadi pendengar yang baik untuk tempat curahan hati. Tak selang berapa lama seorang ibu mendekati dan nampak sedang kusut sekali.

” duh ibu, saya sedang kesal sekali”
”ada masalah apa?” ( itu adalah pertanyaan wajib untuk menunjukkan simpati)
”suamimu bertingkah lagi?”
”iya bu, suami saya barusan menghancurkan lagi seluruh perabotan dapur, ingin rasanya saya bacok pakai parang, tapi kalau dia mati, kasihan anak-anak saya”

Aku mengenali ibu itu, keadaan keluarganya memang pas-pasan. Suaminya tak bekerja, pemabuk, penjudi dan suka membawa cewek kafe. Rutinitasnya pulang malam, mabuk dan mengamuk, barang-barang dirumahnya nyaris habis dan rusak di hancurkan oleh suaminya. Sedangkan istrinya bekerja keras dan tetap sabar.

”ah sudah nasib saya mungkin seperti ini, dulu saya menikah dengannya juga karena cinta”

Kuakui, Ibu itu merupakan wanita yang hebat, dia tetap sabar menghadapi suaminya, dia bertahan karena dua anaknya masih kecil dan melihat keadaan mertuanya yang makin lanjut. Dialah tulang punggung keluarganya, mata pencaharinnya menjual nasi bungkus di pasar dengan penghasialan yang tak seberapa. Suaminya sudah tak berfungsi sebagai kepala keluarga

Tak hanya suami yang membebaninya, lain lagi dengan kelakuan anaknya” like father like son” Anak sulungnya baru masuk kelas 1 di SMU, dulu anaknya ini rajin membantu ibunya berjualan. Kini beda lagi ceritanya, sekarang dia adalah anak Band, pantang baginya membungkus nasi, apa kata teman-temannya nanti. Si sulung sudah 1 bulan tak sekolah, tiap malam manggung di kafe. Honornya yang tak seberapa habis untuk membeli atribut anak metal dan minuman keras. Alhasil dia dipecat oleh sekolahnya.

Miris aku mendengar cerita ibu itu. Bibirnya bergetar menahan tangis.
” Menangislah, disinilah tempatmu menangis, kamilah teman-temanmu”
Sela ibu mertuaku di sela getar bibir yang jarang di poles gincu.

Disitu aku melihat, kekuatan kaum perempuan, melihat wanita-wanita hebat.
Melalui pertemuan seperti ini mereka bisa berbagi.

Saya teringat kultur jaman dulu ketika para ibu rumah tangga selesai menyapu sore mereka seringkali meluangkan waktu duduk di luar gerbang bercengkrama bersama ibu tetangga sambil mencabuti uban sampai akhirnya mandi ke sungai beramai-ramai. Saya kira disanalah tempat mereka untuk saling berbagi.

Yah saya sepakat sekali wanita memang lebih kuat dibandingkan pria.

Wednesday, October 1, 2008

The world is not SQUARE!

Tri Hita Karana, sebuah filosofi tentang konsep keseimbangan dalam menjalankan hidup, seimbang ataupun harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia dan alam. Itu juga yang diambil menjadi tema festival kesusastraan ubud writers & readers festival.

Whats? (Aku sedikit kaget, ternyata aku masih bekerja untuk festival) he..he..
Beberapa bulan belakangan ini, aku kehilangan keseimbangan, kurang harmonis dalam pengaturan waktu. Deadline kerja yg ketat, so many things to do, dan semua harus cepat. Coffe latte terasa tak senikmat biasanya, tak ada rekreasi dalam menikmati kopi itu, ( misal dulu terasa sangat nikmat saat dinikmati dgn orang yg di sayang), tapi kini kopi itu hanya untuk menjaga mata tetap melek. Berapa gelas sehari kadang tak ingat, jantungpun di pompa habis.

Pulang setelah petang, tak sempat lagi memandang bukit nan hijau atau berhitung detik sambil berteriak saat surya tenggelam, ah apalagi memandang jingganya langit yg munculkan gairah menyambut petang. Jarang kunikmati!

4.45 pm pump it times! Adalah waktu kami nge dance di kantor sebelum pulang kerja. Ritual itu sudah 3 bulan tak berjalan. Atau duduk di tepi jendela menemani berto bermain gitar. Semua itu terhenti, yang ada hanya alis terpaut dan muka kusut.

Aku menjadi lupa banyak hal indah karena kata yg sangat tak sedap di dengar” sibuk’ sialan kata itu membuat aku tak seimbang dalam menjalankan semua aktivitas ini. Kelinci-kelinci peliharaanku sudah tertidur pulas saat aku pulang.tak bisa lagi kunikmati kelucuannya sata melompat.

Sobat, Dunia ini bulat bukan kotak seperti layar computer 10 inchi yg wide.

Kadang terlalu banyak waktu yg kuhabiskan bersama laptop bulukan ini. Dia memang menawarkan banyak hal menarik dan mengajakku menelusuri berbagai belahan dunia. Tapi dunia tidak kotak melainkan bulat! Kita perlu keluar melihat secara nyata dan bersosialisasi dengan hati.

Sigh…
The world is not square!

Thursday, September 25, 2008

Ayung

Sungai yg sangat dikenal baik oleh Sobek, Bali Adventure dan Bahama. Seiring keterkenalannya itu menjadikan semakin sedikit masyrakat setempat mandi disungai yang dahulu menjadi tempat mandi bersama itu.

Minggu sore yang cerah (tepatnya panas), membuat gerah dan keinginan bermain air semakin meninggi. Bersama seorang teman aku turun menyusuri setapak demi setapak, (kukira hanya beberapa meter), ternyata kami harus melalui beberapa belokan.

Haus?
tentu saja
Lupa bawa air mineral ?
itulah kebodohan kami.

Ditengah dahaga kami membayangkan sungai Ayung yang jernih beserta riak riak kecilnya. Temanku berkata
” sampai bawah kita langsung menyeruput airnya yang jernih”
”apa iya? tertawaku
Jawabannya
Memang tidak “ Iya”

Kami lunglai sampai ditepian sungai, tak ada riang gembira menyambut main air, kami memilih bengong, duduk dirundung nyamuk, hanya suara tepokan tangan yang bukan sorak sorai menyemangati yg rafting, tapi tepokan kejam membunuh nyamuk.

Sungai itu tidak securam waktu sering kukunjungi 12 tahun silam, saat aku sering membawa tipat cantok bersama teman-teman menanti senja datang.

Airnya tak jernih lagi, keruh, landai dan bau. Kami memperhatikan para bule yang rafting, mereka asik menciprat-cipratkan air sambil meneriakkan yel-yel adventuris. Kami berdua berpandangan tertawa, orang bule yg ga punya sungai kali yah.

Bau amis dari sungai menyerbak, kurasa sudah tercemar oleh limbag hotel yg berderet hingga ketebing-tebing, jadi apa bedanya sama suangai Badung?
Masih beda dikitlah menanti nasib yang sama saja.

Kumemperhatikan beberapa ibu yg bertenaga kuda jantan mengempeskan kano, melipatnya kemudian menjungjungnya diatas kepala, kami berdua berpandangan sejenak, berdecak kagum, sama kagumnya ketika menatap Iphone terbaru seri apple. Betapa hebatnya wanita itu menaiki tangga dengan beban 100 kg. Wanita yg sebelumnya kami saksikan hanya memakan 1 nasi bungkus tanpa lauk yg cukup dengan lahap dan cepat, secepat tanggannya membuang sampah ke suangai.

”wait” !!!
Nyaris ada yang terlewatkan, lupa aku bertutur jika perusahaan sebesar Sobek, Bali Adventure dan Bahama tidak memperhatikan hal seperti.

Membuang sampah sembarangan ke sungai!!!!
Tragis, menyedihkan dan miris menyaksikan sampah plastik berlomba dengan kano para rafter. Cuman bedanya sampah plastik tak dikayuh mampu mengayuh diri sendiri.

Ayung adalah aset mereka, dan mereka tidak memberikan arahan yang tepat pada para pekerjanya untuk menjaga ladang uang mereka. Memang tragis. Kamipun sepakat tidak akan jadi rafting melihat semua fenomena itu.

Nyaris 30 menit kami duduk memikirkan cara kembali keatas yang harus menapaki begitu banyak tangga. Memang benar kalau hanya difikir tak beri solusi melainkan makin banyak mendonorkan darah untuk nyamuk-nyamuk yg merubungiku.

Menapaki tangga satu persatu rasanya seperti perjalanan roh menuju pintu surga, begitu lelah, dan selalu mendongak sambil bergumam ” ah masih jauh”.
Kami memutuskan berenti setiap hitungan yang kurang dari 10 ( silahkan diartikan bahwa kami memang tidak kuat) Rencana awal latihan memperkuat Jantungku nampaknya tak berhasil malah akan membunuhku lebih cepat.

Anak-anak muda yg memakai tulisan atlet badung lari begitu santai dan sudah dua kali melewati kami naik turun. Memang cukup membuat hatiku tersinggung.

Pada pertengahan tangga, kami hanya mampu duduk kembali serasa seperti meditasi, hening mencari suksma yg terengah oleh nafas yg menyekat kerongkongan. Cobaan datang lagi ketika seorang kakek datang melintasi dengan menyeruput air mineral dingin. Kami berpandangan hanya menyengir, ternyata kami tidak sedang meditasi, tapi asli kami kelelahan.

James blunt mengalun dari Hp kami yg baru saja naik tingkat menjadi canggih, cukup lumayan untuk membuat kami bersukur masih ada hiburan untuk kami ditengah lelah dan haus.

Kapan ke Ayung lagi? Memang perlu difikir matang sebelum melangkah.
Walau senja disana begitu indah.

21 September 2008
Dua orang yg sepakat nampak bodoh namun bangga di hari itu.

Kebahagiaan-kebahagiaan kecil

Bahagia , apa tolak ukur seseorang bahagia? Kurasa setiap orang mempunyai ukuran tersendiri, sangat relatif, bahagiaku belum tentu sama dengan bahagiamu.

Daun bahagia saat hujan turun, lain lagi dengan bahagia malam saat bulan menjelma, atau Ayam yang sangat bahagia saat matahari terbit karena kesempatannya menunjukkan kepintarannya berkokok.

Kata bahagia memang sangat sakral kudengar, menandingi sebait mantram gayatri. Tapi aku menemukan kesamaan khasiat mantram Gayatri dengan kerupuk atau es king kung yang harganya hanya 500 perak ( maaf bukan maksud hati meremehkan matram sejuta umat ini).

Tapi serius rasanya sama persis ketika aku mengunyah kerupuk dari beras yg di jual meme tangsi atau es roti yg di jual bapa Bitra. Sangat nikmat dan menyenangkan. Caraku memperlakukan juga sama, aku terpejam memakannya sama ketika aku melafalakan mantram sakti itu.

Jadi apa bedanya kerupuk, es roti dan mantram gayatri? Yah menurutku sih pasti beda, jika kita perlakukan beda. Akan sama jika menghayati dengan kesungguhan hati.

Siapa yang mampu ukur bahagia? Diri kita sendiri.
Sahabat carilah kebahagian-kebahagiaan kecil yang di hadirkan dalam hidupmu, nikmati dan hayati, hingga kita bisa merasakan betapa bersukurnya kita atas kehidupan yang maha unik ini!

Selamat menemukan kebahagiaan kecil!

Warung meme tangsi
25 September 2008

Bersua kembali

Rindu untuk menulis akhirnya menyeruak kembali setelah 6 bulan saya menelantarkan kebiasaan menulis diblog. Kesibukan memang tak pernah ada habisnya. Banyak sekali cerita lucu, indah, seru hingga hal lainnya seperti menangis Bombay terlewatkan begitu saja. Ketika saat ini ingin menuliskannya, fyuh… sudah tak sedikitpun dapat diingat. Satu hal lagi yang saya sadari bahwa memori saya tak cukup kuat menampung begitu banyak peristiwa yang terjadi.

Ternyata menulis memang menjadi salah satu aktivitas yang cukup menyenangkan untuk meringankan hati. Bercerita dan berbagi membuat semua nampak menjadi ringan.

Salam buat teman-teman yang bersetia mengingat blog saya yang sesekali masih suka membuka dan membaca cerita-cerita usang.

Ca Yo!!! Saya kembali.

Saya juga ingin memperkenalkan adik dari galang bulan, yaitu http://lintanglakubintang.blogspot.com
Its me!

Salam hangat,
Kadek purnami

Monday, April 14, 2008

Senyap

Tak seperti biasanya
ruang ini menjadi senyap
yang ada hanya aku dan derai daun yang tehempas angin
serta detik detik waktu yang tetap berhitung

Tak seperti biasanya
kursi di depanku itu kosong
tak ada mata yang memandang
atau senyum yang menyapa
yang ada hanya aku dan angin.

Menit demi menit aku lalui,
menanti dan menanti
hingga senja tenggelam
kursi didepanku tak kunjung isi

Senyap
hanya aku dan angin.
menanti dan menanti.
dan tak akan ada yang lain

Dalam senyap
kulantunkan lagu hati yang tak sempurna
menari dalam kaku gerak tubuh
kubiarkan tangan menuntun sebatang arang
menggores diatas putih kertas

Tercipta dalam senyap,
sebatang pohon bambu dengan bulan penuh
kisah sepi si rumpun bambu dalam kelam malam
yang sesekali berderai oleh angin
hantarkan kisahnya ke telinga seorang wanita
yang duduk sediri ditepi jendela memandang bulan.

Aku rindu akan senyap ini,
ketika bibir tak perlu bersuara
mata tak pelu melihat
dan telinga tak perlu mendengar
biarkan senyap antarkan naluri
bertemu titik hati yang lain
tanpa perlu berbisik atau menyentuh
hanya perlu memejamkan mata dan senyap.


D.purnami
11 April 2008

Friday, April 11, 2008

Rindu Lilin pada Obor

Dengan nyalanya yang kecil,
teguh ingin menerangi seluruh ruang
sesekali meredup diterpa tiupan angin
bersabar meleleh dalam hitungan waktu
hingga tak bersisa.


Dengan nyalanya yang kecil,
berjuang dalam pekat malam
membawa amanah tuk menerangi
walau luluh seiring detik

Dalam nyalanya yang kecil
dia begitu merindukan Obor
tempatnya dulu meminta api
yang menjadikannya lilin.

Obor sang panutan lilin
pernah menerangi seisi rumah yang tak hanya ruang saja
beri terang pada rumah yang bergempita
berdiri kokoh dengan nyala besar.

Ingin lilin seperti Obor
namun apa daya ia hanya sebatang lilin kecil
dengan nyala sebatas ruang
yang hanya mampu menampakkan bayang.

Kini lilin sendiri dalam ruang itu
menunggu waktu tuk meleleh.
dengan ditemani bayang.

Dalam pekat,
Lilin kecil begitu merindukan Obor.

d.purnami
11 April 2008
Miss u dad.

Sadar

Hingga hari ini,
aku masih belum tersadar
walau darah anjing telah basuh pertiwi
air suci dari sekian mata pancuran menyiram tubuhku
mantra dari tumpukan lontar telah dibacakan.


Belum juga aku tersadar,
empat puluh dua hari sudah aku berhitung
sekian malam terlewati
wujudmu sejatinya tak akan pernah nampak
hangat candamu tak lagi hiasi haru kehidupan.


Tersadarkah aku,
jika suaramu telah menghilang cukup lama
wajahmu makin memudar dalam benak
namamu semakin dilupakan
jejakmu telah terhapus waktu.


Kapankah aku akan tersadar,
Senyummu adalah dingin kabut
Jiwamu hanya derai angin
Baumu kini harum cendana


Tak ada yang menyadarkanku,
bahwa matahari tetap bersinar
waktu tetap berhitung
ruang semakin sempit
aku semakin terhimpit
dalam ketidak sadaran


Kepada siapa aku harus bertanya,
aku tak punya cermin
airpun keruh
bayanganku tak nampak


Hingga hari ini,
satu hal yang kusadari
kalau aku tak pernah lelah berharap
teguh hati ini bersetia menantinya disatu bintang
dikelam malam yang ditemani kunang-kunang
walau hingga tertidur dibawah embun.


Hingga hari ini,
aku tersadar
aku memang masih belum mau menyadarinya
bahwa kau adalah dingin kabut, derai angin dan harum cendana.


11 April 2008.
2 bulan setelah 11 februari

Wednesday, April 9, 2008

Berpulangnya Penglingsir Puri Ubud.


Ketika melintas di depan puri Ubud ada pemandangan yang tak biasa, karangan bunga tanda ungkapan bela sungkawa nampak menghiasi halaman depan gerbang puri. Penglingsir Puri Ubud - Tjokorda Gede Agung Suyasa orang yang dituakan dan dihormati telah berpulang. Ribuan orang datang hadir mengucapkan bela sungkawa, duduk bersimpuh dan bersila dihadapan jenasah, sebagai wujud bakti dan penghormatan terakhir atas segala jasa dan dharma baktinya selama hidup.

Nyaris seratus karangan bunga berjejer menjejali halaman puri sebagai tanda simpati dari keluarga, kolega, perusahaan, organisasi, pemerintahan, partai, sekolah, hotel hingga restaurant. Semua mengirimkan Karangan bunga. Setiap kali saya melintas fikiran saya selalu berhitung dengan karangan bunga tersebut. Bilang saja satu karangan bunga berukuran 2 x 1 meter seharga 350 ribu bayangkan saja jika da 100 buah akan menjadi 35 juta jumlah yang cukup banyak. Dana sebesar itu mungkin akan jauh lebih berguna jika seandainya itu disumbangkan dalam bentuk uang ataupun makanan. Sudah tentu akan sangat meringankan pihak puri dalam pengeluaran biaya ngaben. Fikiran saya masih berkutat dengan karangan bunga. Kini Ubud mempunyai media promosi baru. Halaman puri menjadi ajang promosi yang gratis, tidak dikenakan pajak. Semua perusahaan berlomba-lomba menaruh karangan bunga paling terdepan mengingat halaman gerbang yang sangat strategis sehingga setiap orang yang melintas tentu akan tertarik membaca nama-nama hotel atau perusahaan lainnya.

Beralih dari karangan bunga, dapat dipastikan akan ada sebuah perhelatan besar di Ubud pada tanggal 15 Juli 2008. Acara ngaben akan menjadi sangat istimewa. Ada 2 jenazah yang akan di kremasi. Dan ratusan keluarga akan menyertai pengabenan masal yang hadir tiap 5 tahun sekali. Momen yang sangat bagus sebagai daya tarik pariwisata. Tentunya hotel tak akan melewatkan masa panennya dengan membuat paket menginap plus dengan melihat budaya adiluhung. Liputan dari sekian stasiun TV dan media massa sangat memungkinkan untuk dijual dan menuai untung bagi berbagai pihak. Mungkin dengan seperti ini juga penglisir puri ubud memberikan jalan bagi yang ditinggalakan.

Kurang lebih 5 bulan jenazah dibaringkan, disuntikkan formalin dari hari ke hari agar awet, jenazahpun akan berangsur menghitam nyaris tak dapat dikenali. Keluarga puri pun mulai kelelahan, menyambut dan menjamu orang setiap malam yang turut menghibur puri. Kesedihan mendalam keluarga yang ditinggal semakin luntur oleh kesibukan dan kelelahan mempersiapkan semua itu. Judi pun menjadi di halalkan karena tradisi. Sekian karung kopi, gula, beras, juga sekian dus rokok dihabiskan. Belum juga tenaga dan fikiran untuk perhelatan besar ini dalam kurun waktu 150 malam mengantarkan jenazah ke tempat terakhir menuju rumah Tuhan. Dengan naga bande, bade yang menjulang tinggi dan lembu yang diusung ratusan orang semoga tidak ada pohon yang ditebang untuk memberi jalan pada bade yang membungbung tinggi menuju langit. Semua menjadi istimewa; orang yang meninggal, hari yang dilalui, tradisi, budaya, ribuan pelayat, ratusan media, serta paket hotel, semua memang menjadi sangat istimewa.

Dibalik itu semua,saya merenung mengingat beliau yang yang meninggal. Bagaimanakah perjalanan ruhnya menuju rumah Tuhan, adakah jiwanya telah terbebas, damai mencapai kesempurnaan dan kemurnian? Adakah beliau kini yang terbujur kaku akan dihapuskan segala dosa dengan semua yang dibuat istimewa sebagai wujud pengabdian dari keturunannya? Adakah dia sejatinya hanya membutuhkan selembar kain putih, 5 buah teratai putih serta doa tulus dari keturunnya dan abdinya untuk membebaskannya dari seluruh perjalanan masa lalu. Entahlah tak seorangpun akan tahu. Hanya ruhnya dan Tuhan yang akan tahu perjalannnya yang begitu istimewa.

Amor Ring Acintya Ratu Tjokorda Lingsir.

Hanya doa yang dapat tiang panjatkan, turut menghantarkan ruh Ida Ratu.

Ubud, 9 April 2008

Kadek Purnami

Monday, March 31, 2008

cheers

Lets go Kids

Bermain dan makan ice cream bersama

Bermain dan bermain !

Mungkin itulah hal yang memenuhi isi kepala kita dimasa kecil.

Lama sekali rasanya aku tak bermain, berlari dan berkejar-kejaran. Walaupun kaki terseok-seok karena jatuh terpeleset tak mengurangi keinganku untuk mengajak anak-anak kecil itu bermain.

Sembari makan ice cream bersama kami bercerita dan tertawa.

Berbaur dengan kenaifan serta keluguan anak usia 10 tahun.

[Andai rejeki ini lancar tentunya mereka akan semakin sering makan ice cream ha..ha..]

Hari-hariku belakangan ini sedikit melelahkan dengan urusan kehidupan dan pekerjaan. Terlalu sering bertemu dengan orang dewasa yang selalu membawa masalah yang kompleks.

Ah.. aku rindu dengan bau basah tanah sawah, rindu mengejar capung, menari di bawah terik dan semilir angin. Dan indahnya hariku sewaktu dulu tanpa jadwal yang padat oleh les ini itu.
[ thanks untuk ayah yang rela berantem dengan ibu untuk memberiku kesempatan lebih banyak bermain di sawah daripada mengikuti les privat yang mejemukan]

Salam ceria,

Kadek Purnami

Thursday, March 20, 2008

Cita-citaku yang sederhana


Sore yang basah oleh hujan, aku duduk di antara tumpukan buku, kanvas dan warna. Sebentar lagi jam 3 sore, masih gerimis. Aku khawatir malaikat-malaikat kecil itu tidak muncul.

Hari ini adalah pertemuan pertama kami dalam program melukis yang kususun untuk mereka. Seniman dan material telah siap, tinggal menantikan kedatangan mereka.

Dalam hati aku berbisik, “Ah, akhirnya aku bisa juga mewujudkan cita-cita kita

[aku dan bapak]. Aku teringat perbincangan yang sudah cukup lama antara kami.

Ketika dulu setelah kuliah aku ingin membuat klub menggambar dan membaca dirumah. Garasi rumah kami cukup menampung 20 anak, areal bermain dibawah pohon rambutan serta kolam ikan dibelakang rumah cukup untuk wahana mereka berekspresi. Aku membayangkan aktivitas sederhana yang bisa kami lakukan; membaca, mendongeng, melukis, memancing ikan, memelihara burung, jalan ke sawah ataupun ke hutan dekat rumah. Kegiatan tentunya akan lebih menarik dengan makan es krim atau bikin rujak.

Penyesalanpun datang, cita-cita yang sangat sederhana belum dapat kami wujudkan hingga sampai bapak berpulang. Semua karena waktu yang tak kunjung luang. Penyelasan dan penyesalan, waktu yang seharusnya aku lewati bersama dengan bapak dan anak-anak sudah tidak mungkin direngkuh lagi.

Aku bertekad, cita-cita yang sederhana itu harus tetap aku wujudkan.Yang ada kini tinggal aku dan anak-anak. Hingga tiba hari ini, sebulan sepeninggal bapak kuwujudkan cita-cita kami yang aku dedikasikan untuk dia.

Anak-anak pun datang setelah hujan reda, tepat jam 3. Mereka antusias ingin melukis, para orang tua bersetia menemani. Kamipun antusias menyambutnya. Kuawali dengan permainan yang mengakrabkan mereka untuk merasa bersaudara kemudian, sang senimanpun menurunkan ilmunya kepada anak-anak.

Bukit campuhan yang menghampar luas dan hijau, rindu ilalang pada sang hujan.

Thanks untuk Yayasan Saraswati yang menfasilitasiku untuk mewujudkan cita-cita ini.

Program lainnya akan kita wujudkan lagi untuk anak-anaku.

Salam cinta,

Kadek Purnami

Thursday, March 13, 2008

Sendiri

Pernahkah anda merasa takut sendiri? Takut tidak mempunyai teman, sahabat ataupun keluarga yang peduli?


Dulu saya pernah merasa was was jika dalam 1 jam handphone saya tidak berbunyi. Bagi saya, itu sebuah pertanda teman-teman tak ingat saya. Dengan sigap jari saya akan mengetik sms untuk dikirimkan kepada mereka dan mengirim ulang sms jika ternyata tak dibalas. Fasilitas lain seperti Yahoo messenger, Email, Friendster ataupun Facebook juga saya gunakan untuk tetap berkomunikasi dengan teman.

Tentunya karena saya merasa takut sendiri.


Beberapa minggu ini saya merenung, apakah semua itu nyata?

[setelah begitu lama memandangi foto ayah saya]


Saya terdiam cukup lama, melihat kenyataan. Benak saya terasa penuh namun hanya terfokus pada satu hal. Yepp !!! Perjalanan hidup; Lahir, tumbuh berkembang, bertahan hidup, sakit dan meninggal.

Semua diawali dan diakhiri dengan kesendirian.


Jadi jika seperti itu haruskah kita takut pada kesendirian?


Ketika tubuh kita menjadi abu yang tertinggal hanya nama dan kenangan, sisanya tak ada. Atau ketika kita hidup mencapai puncak kejayaan; orang-orang datang dan pergi memberi sanjungan, celaan dan penghianatan. Semua itu adalah elemen penting untuk melengkapi kisah kehidupan kita. Mereka hadir sebagai pemain pendukung, pemeran utama dalam cerita perjalanan hidup tetaplah diri kita sendiri.


Memori saya terbuka kembali oleh cerita “Pak Yoyo” tentang perjalanan hidup yang
menurutnya bahwa kehidupan itu seperti Piramid, mengkerucut ke atas hingga sampai pada puncaknya sebuah titik nol = kosong.


Kini, saya tidak takut sendiri lagi. Jika kita bersahabat dengan kesendirian akan terasa indah. Toh semua pada akhirnya kembali pada titik nol. Sendiri lagi.

Salam kasih,

Kadek Purnami

Tuesday, March 4, 2008

Kunang-kunang

Walau kau tak sehebat matahari

ataupun tak sebesar nyala obor


namun,

Cayahayamu telah terangi jiwaku disaat gelap.

kau telah jadikan malam tetap terasa indah


Kunang-kunang,

Pada cahaya kecilmu aku ingin berpegang.

Pada sayapmu aku akan terbang.

Bersamamu, kunang-kunang.

kan kulewati sisa malam ini tanpa nyala obor.


d.purnami

Nyepi

Dalam hening dan diam

waktu menjadi jeda dan tersedia

untuk direnungi detik demi detik


Yang telah berlalu menjadi masa lampau

Saat ini, suka cita untuk dinikmati

Dan esok, mari kita menaruh harapan untuk lebih baik


Hati mengunci mulut tuk bicara

Fikiran menutup telinga

Rasa memejamkan mata


Dalam ketiadaan

Mencoba memahami

Kekosongan

Menikmati sepi


Dalam diam.

Kuucap

Selamat merayakan hari raya Nyepi.

d.purnami

Friday, February 29, 2008

Rindu

Rasa yang tak tertahan

Ingin sekali menatapnya

Menyapanya

Memeluknya

Ucapkan kata sayang padanya

Kucari,

Entah dimana

Tak dapat kutemukan

Kukembali terduduk

Mengingatnya

Dalam mata yang terpejam

Dia ada disini

Di dalam darahku

Di dalam hatiku

Ada dalam setiap detak jantungku.

Dia ada bersamaku

Dia tak dapat kutemukan dalam wujudnya

Kubakar sebuah dupa

Kubaca sebait doa

Yang kan hantarkan salam rinduku

Pada dia

Sang atman

d.purnami

Jumat, 29 Februari 2008

I miss u dad

Monday, February 25, 2008

Pahlawanku berpulang di bulan Februari

Dedicated to my beloved father

Februari – senyatanya merupakan bulan penuh kasih sayang, romantisme, mawar dan warna pink mendominasi dimana-mana sebuah peringatan perayaan cinta dan kehidupan.

Di bulan februari ini blog saya terasa gelap, tak ada satupun petikan cerita romatis atau puisi cinta yang merekah. Hanya kesedihan dan kepedihan hati yang mampu tertulis.

Blog di bulan Februari ini saya dedikasikan untuk Ayah saya – Made Subrata- yang telah berpulang kerumah Tuhan pada 11 Februari 2008 pk. 12.00 wita.

Pahlawanku

Dia telah jadikanku seperti sekarang ini

Hanya memberi

Tak pernah mengharap kembali

Tak memberi kesempaan untuk mengembalikan

Dia hanya ingin memberi

Menjadikan tiada menjadi ada

Dan kemudian pergi untuk selamanya.

Dialah pahlawanku

-----------------------------------------------------------

27 tahun Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk berbagi cerita kehidupan dengannya. Berbagai kenangan, kehangatan cinta dan kasih tlah di rasakan. Kalau boleh dikatakan inilah masa kebahagiaan saya yang indah. Dia merupakan sosok ayah, guru dan sahabat bagi kami anak-anaknya. Tak pernah disangka akan berpulang secepat ini, disaat saya belum sempat membalaskan semua kebaikannya.

Inilah misteri Tuhan yang dari dulu saya takuti, ketika orang terkasih harus berpulang dan lenyap dari pandangan kasat mata. Hangus menjadi abu oleh api, lebur bersama air kembali menyatu menjadi tunggal.

Kematian memang bukan hal yang perlu ditakuti, namun rasa kehilangan yang dalam memang menakutkan bagi saya. Walau sudah 2 minggu duka mendalam masih terasa.

Semua menjadi tidak normal, kepala seperti di kaki , kaki dikepala.

Konon, keiklasan adalah obat dari semua kepedihan.

tapi saya ingin merasakan dulu kepedihan ini.

Saya akan kembali jika saya sudah mampu melihat bahwa matahari memang bercahaya.

Salam duka,

Kadek Purnami.

Kadek Purnami dalam Goresan Tangan Made Subrata

In Memoriam

Obituari Perupa Made Subrata

Menggurat Pesona Puitik Perempuan Bali

Oleh Wayan Kun Adnyana

Tidak banyak perupa Bali yang intens menyusuri sisi karismatik wajah ayu perempuan Bali. Andaikan pun ada, barangkali tak sedalam bagaimana perupa kelahiran Padangtegal Kaja, Ubud, (18 Oktober 1950), Drs. I Made Subrata, menyusuri tepian kedalaman puitik dari wajah-wajah berkarisma perempuan berkulit sawo matang ini. Paras perempuan Bali dalam kanvas-kanvas alumnus PSRD Universitas Udayana itu, tidak saja memancarkan kecantikan fisikal yang gampang terkenali secara kasat mata, melainkan pula ‘’cantik’’ dalam laksananya sebagai energi puisi yang senantiasa memancar. Perempuan Bali, sebagaimana diamini banyak pengamat sosial-budaya, memang digambarkan sebagai sosok yang memiliki kecantikan berasa; suatu kondisi menyempurna antara kecantikan wadak dan psikis: entah karena kulitnya yang tidak terlalu putih dan juga tidak gelap, rambut berombak, hidung merekah, dan juga pancaran mata yang menusuk pandang; pula melekat kecerdasan intuitif yang mengundang kagum. Singkatnya—kalau boleh memuji—perempuan Bali adalah senyata puisi indah yang hidup dan selalu menyentuh.

Oleh perupa Made Subrata, cantik perempuan Bali teramu dalam kecakapan mengolah dan mengurat warna; menyusuri nilai psikologis dari warna-warna, berikut memoleskan kembali keindahan wajah perempuan Bali dengan sentuhan personal yang kuat. Perupa yang sekaligus pendidik di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) kini SMKN 1 Sukawati itu memang tidak memakai teknik realistik biasa (fotografis), melainkan menunjuk ke arah eksplorasi kreasi teknik ekspresionistik; menggapai impresi nyata tentang karakter perempuan cantik dengan polesan-polesan pisau palet yang bebas dan ekspresif. Hanya pada beberapa sentuhan akhir—terutama pada garis wajah, dan ornamen-ornamen pakaian Bali: motif Tenganan, Asak-Bungaya—tetap terjaga lewat polesan kuas yang terkontrol. Hingga lahirlah karya-karya bersubjek ‘’Perempuan Bali’’ yang tidak saja cantik secara wadak, melainkan juga memancarkan impresi psikologis yang menyentuh.

Biasanya, Made Subrata menjadikan anak perempuannya Kadek Sri Purnami—perempuan Bali yang menjadi salah satu penggerak Ubud Writers Festival—sebagai model karya-karyanya. Bahkan sedari Kadek baru menginjak remaja. Barangkali oleh dua perempuan yakni, istrinya Ni Ketut Rini, dan anak perempuan satu-satunya itulah Made Subrata berhasrat untuk selalu menghormati perempuan, menempatkannya sebagai sosok yang memesona dan luhur.

Pada era 1980-an adalah masa di mana karya-karya Made Subrata menuai puncak pengakuan. Melenggang dalam berbagai forum pameran bergengsi di berbagai kota di Indonesia. Begitu pula diamini pasar seni rupa yang menggema sebagai boom seni lukis Indonesia pertama pada masa itu. Keberhasilan meraih reputasi dan juga karya-karyanya yang senantiasa diburu, toh tak membuat perupa yang aktif bermasyarakat sebagai Ketua Sabha Desa Pakraman Padangtegal, termasuk pula pernah memangku kepercayaan sebagai wakil bendesa adat itu, tak hadir sebagai sosok perupa yang obsesif, meledak-ledak, apalagi harus eksentrik. Made Subrata adalah sosok perupa berkepribadian tenang, menyikapi tiap persoalan kreatif dengan rasa empati, hingga di ruang kelas, bagi murid-muridnya—penulis adalah salah satu murid bimbingannya sewaktu di SMSR dulu—adalah sosok yang menginspirasi, sekaligus guru yang berwibawa.

Sebagai perupa, Made Subrata memang hanya menjalankan keinginan intuisinya. Dia bekerja, selama cita-cita artistiknya menghendaki. Walau pasar memburu, dia tak sudi berpaling, kalau memang saat itu keinginannya hanya untuk merawat tanaman angrek yang kini marak menghiasi pekarangan rumahnya yang asri di Padangtegal, Ubud, dia akan melakukannya dengan penuh setia. Memang tak ada kata setengah hati bagi perupa yang menata rapi brewoknya itu. Begitu pula ketika berkehendak untuk melukis, sudah pasti tak ada yang mampu menghentikannnya. Begitulah jalan seniman menuaikan fitrah hidupnya; berjalan tanpa ada yang bisa menyangkal.

Kabar duka, Senin, 11 Februari 2008, pukul 12.00 wita, datang lewat sms, mengabarkan perupa yang juga guru dengan pribadi memesona itu telah berpulang. Betapa terkejutnya saya membaca kabar yang tiba-tiba itu, apalagi bagi keluarga yang ditinggalkan. Namun di atas segala-galanya begitulah Ida Sang Hyang Widhi berkehendak atas perupa yang di masa hidupnya telah memberi sumbangsih artistik bagi khasanah perupaan seni rupa Bali itu untuk kembali padaNya. Selamat jalan Pak Made, publik seni rupa Bali pasti akan selalu mengenangmu…

Wayan Kun Adnyana, pengajar di FSRD ISI Denpasar, mahasiswa Paska Sarjana ISI Yogyakarta.

Ubud loses Made Subrata, an artist and a teacher

Features - February 21, 2008

I Wayan Juniartha, The Jakarta Post, Ubud

The darkened sky on that somber Monday afternoon was soon followed by a strong wind that swung the trees back and forth. The wind didn't give way even after a torrential rain hit the earth with a ferocity that drowned out any other noise.

The gloomy weather provided a perfect backdrop for the mourners, who huddled together at various places in the house. In the vacated car garage next to the house, a group of women worked in silence, preparing the intricate ritual offerings for the cremation.

A few meters to the east, in the open pavilion before the rural family's shrine, the body of Made Subrata lay on an elevated wooden divan. It was draped with sheets of batik in subdued colors and faded patterns.

Sitting on the divan was Kadek Purnami, Subrata's second child. She tried to be brave, but her flowing tears and murmuring cry betrayed her broken heart.

Every time a member of the banjar (traditional neighborhood organization) approached the body to offer condolences and take a last look on the deceased's body, Purnami's cry grew stronger. Her husband, Putu Adi, tried to comfort her to no avail.

"The rain, the wind ... it is as if Mother Nature greets my father upon his return journey to his home up there," she said.

At that time she never knew how perfectly accurate her statement would be.

Made Subrata passed away at noon on Monday, Feb. 11, at the Gianyar hospital after being treated for several days for pulmonary infection, diabetes and high blood pressure.

For his family, it was a shockingly unexpected loss. Born in 1950, Subrata was only 58-years-old when he left his earthly existence.

He hadn't displayed any sign of serious health problems prior to his brief hospitalization in Gianyar. Naturally, his family struggled hard to cope with the difficult reality.

His wife Ni Ketut Rini, his oldest child Gede Suryagiri and his daughter-in-law Koming were purposefully drowning their sorrow in the hectic preparations of the cremation ritual while Subrata's only grandchild Gede Galang was still believing "Grandpa flies to heaven and will be back soon".

The death of Subrata was more than just a personal loss for one family. Having served as the vice bendesa (chief) of Desa Pekraman (traditional village) Padangtegal, a village of four banjar and 2,600 residents, Subrata was an influential figure in his community.

"Until his death he was still serving as the head of the village council," Purnami said.

"In fact, before he got sick he held a meeting of village elders here in this house. They discussed the plan to conduct a mass ngaben (cremation) next July. Little did we know that our father would be part of the ngaben, instead of being the organizer," she added.

As one of the village's leaders, Subrata played a pivotal role in shaping the social dynamics of Padangtegal, particularly in its relationship with the tourism industry. The village lies in Ubud, one of the island's most beautiful tourist gems.

"Subrata was the co-founder of Bina Wisata, a foundation that works to ensure that any tourism development in this area is beneficial to the village, local people and local cultural heritage," another co-founder of Bina Wisata, Nyoman Suradnya, said.

The foundation later transformed Padangtegal's Monkey Forest into a profitable ecotourism destination. It is arguably the largest community-managed forest on the island.

"The revenue from the Monkey Forest is being channeled back to the community to maintain our sacred temples and fund social activities.

"In the upcoming ngaben, each participating family will receive Rp 5 million in cash assistance from the village to finance the ritual. The money comes from the Monkey Forest's profit and the decision to provide such cash assistance was made during my father's last meeting as the head of the village council," Purnami added.

The people of Padangtegal obviously didn't forget Subrata and the contributions he made to the village.

As the news of his demise spread, streams of villagers flocked to Subrata's house to offer their condolences.

Representatives from four banjar paid a formal visit to the mourning family. Representatives from the neighboring village of Pengosekan were also present, saying the two villages enjoyed a harmonious relationship during Subrata's tenure as the vice bendesa.

Such a large number of visitors was unique because when Subrata passed away none of the banjar in Padangtegal sounded their kulkul (hollow wooden drum) as a sign of mourning due to an ongoing religious festival at the village's temple.

"Usually, if a banjar member dies, the kulkul will be sounded as a sign to the other fellow members to visit the deceased house and give assistance to the mourning family.

"If there is a major festival in the village temple, the kulkul will not be sounded and the banjar's members will have no obligation to visit the deceased's home," Suradnya said.

"But they came nonetheless, and came in such large numbers. That showed Subrata was not an ordinary man," he added.

Art critic Kun Adnyana shared a similar opinion, albeit for a different reason.

"He was a good teacher, an inspiring one. He never forced us to abide by certain aesthetic parameters or a certain school of thought. Instead he always motivated us to find and establish our own, personal set of aesthetic values and goals," he said.

Kun was one of Subrata's pupils during his teaching years at the then Denpasar College of Fine Arts (SMSR).

"A good teacher who is also an accomplished artist is a rare thing to find, and Pak Subrata was an ideal example of that rarity," he said.

Kun said Subrata was a master impressionist who dedicated his aesthetic life to capturing the physical and metaphysical beauty of Balinese women.

"His works are poems of colors and personal interpretations. The women in his canvases are more than just a representation of an actual, living model, but a representation of his romanticized ideas about the beauty of life," he said.

"His death is a personal loss to me, and, I believe, to the fine arts community in Bali as a whole. He set an example of aesthetic freedom, of creating without bowing to the pressure of the market. That's the kind of thing that is difficult to find nowadays," he said.

It was almost 9 p.m. when the procession carrying Subrata's body reached the village cemetery. The weather had been quite calm. When they began to torch the body, though, the weather suddenly grew wilder. Rain hammered down as heavy wind swept the area.

A similar thing happened again three hours later when in the darkest of night they cast Subrata's ashes into the ocean at Sunrise Beach in Sanur. The quiet ocean turned violent and a tall wall of white wave hissed loudly as it seized the ash container from Suryagiri's hand. In an instant, Subrata's last remains merged with the elements of nature.

Senin Ketiga

Ini adalah senin ketiga,
kukenakan baju yang sama
kumulai aktivitas pada waktu yang sama
dadaku berdegup
seperti senin waktu itu
ingin kuhalau
namun kubiarkan saja


Sengaja aku betandang kerumahnya
disambut sanggah urip di depan gerbang
memastikan sebuah kenyataan pahit
tiada sapaannya, tiada tawaran secangkir kopi
kamarnya kosong dan dingin
menatap anggrek yang kian layu
rumah ini hampa.


Sudah belasan hari terlewati
nyaris setiap malam
dihadirkan mimpi tentangnya
nyaris dalam belasan hari
bertemu dengan muka yang suram
entah ibu, bibi, kakak atau siapa
semua nampak sendu


11.30
Kegelisahan mencurah
kututup mata dan telinga
namun,
tayangan itu kembali hadir
berulang-ulang
nyaris seperti senin waktu itu
hiruk pikuk pun terngiang ditelinga
sama seperti keriuhan senin lalu.
semua nampak jelas dipelupuk mata
cerita yang menjadi kompleks


Harusnya,
hari ini kami bersuka cita
berkumpul bersama
dalam sebuah perayaan
untuk si sulung
menjejak 31 tahun
yang kehilangan seorang pahlawan.


Senin ketiga
terasa begitu dingin
sebuah hari kematian
orang terkasih kami.


d.purnami
Senin, 25 februari 2008
Untuk Gede- sedarah daging

Tuesday, February 12, 2008

Amor Ring Acintya

Tepat tengah hari
jarum waktu menunjukkan pk 12 siang
suasana riuh
hanya riuh saja
tak ada tenang atau hening sedikitpun
di hati maupun diluaran sana

Tangis berderai
tiada henti
berbulir-bulir air mata
berjatuhan
di pertiwi

Kepala serasa penuh
fikiran berkecamuk
hatipun remuk
dada sesak menyesak
jantung berdegup kencang

Waktu terasa berhenti
tak ada batas mimpi dan nyata
berharap ini mimpi
dan bukan nyata

Seperti tertampar
aku tersadar
ini nyata
bukan mimpi

Obor telah padam
tiada setitikpun nyala
gelap gulita
tak dapat kulihat

Hatiku kosong
windhu..
hampa
tiada jiwa
tiada nyala

Dia telah pergi
nyala jiwaku padam
akupun seperti mati
berdiri kaku
terpeku

dia yang mengalir dalam darahku
dia yang menjadikanku seonggok daging hidup
dia yang menjadikanku ada
dia yang menjadikanku punya rasa
dia adalah jiwaku
dia adalah denyut nadiku
dia adalah orang yang paling kucinta.

Kini,
dia terbujur kaku didepanku
berpulang ke rumah Tuhan
menyatu dengan sang pencipta
menuju kesempurnaan

Dalam senyum yang dalam
iklas meninggalkan duniawi
berjalan tanpa menoleh kebelakang
dia telah pergi untuk selamanya.

Tubuhnya,
telah menjadi abu oleh sang Agni
melebur dengan sang Baruna
dihanyutkan oleh sang Wisnu

Hantarkan,
ruhnya menuju rumahNya
sang Surya sinari jalannya
peganglah tangannya agar tak tersesat
agar dia temukan rumah sejatinya.

Hanya dalam 12 jam
dia telah lenyap
tinggal nama dalam benak
ada sisa kenangan yang hangatkan hati
juga kisah hidupnya yang bangkitkan semangat
dijiwa dia akan tetap bersemayam

ini adalah matahari pertama dalam hidupku
yang tak dapat kulihat cahayanya

ini adalah hidupku yang paling gelap
tak ada setitikpun lentera menerangi

Pada pertiwi aku bersimpuh
kuatkanlah aku untuk tetap berpijak di bumi ini

dia telah terbang
tinggi
dan sempurna bersama cahaya.

Suatu hari aku akan menatapmu kembali
Cahayaku

d.purnami
11 Februari 2008. pk 12 wita
Untuk sang Ayahanda tercinta
selamat jalan.
Amor Ring Acintya

Friday, February 8, 2008

hening ... riuh...

Hening..
riuh…
sebentar hening, sebentar riuh..
layaknya suara hati
tenang sesaat, bergejolak kemudian.

Malam memang tak berbintang
juga tak ada bulan
hanya pekat yang tersisa.
dan angin yang hampa

Langkah kuseret disepanjang lorong-lorong
di iringi dengkuran halus yang terdengar sesekali
tubuh hanya digeletakkan diatas lantai yang dingin
beralaskan tikar dalam gulungan kecemasan

Langkahku terhenti pada sebuah ruang
lampu temaram dan hening
hatiku bergejolak
kutahan bulir air mata
agar tak meriuhkan keheningan.

Kutatap,
lelaki tua itu terbaring
muka pucat
mata yang suram
jangut memutih membuatnya tampak layu
dalam keheningan

Disisinya,
wanita tua itu
terpekur terlungkup
nafas penuh keresahan
tetap menggenggam tangan sang lelaki tua
dalam keriuhan bathinnya

Mereka,
adalah obor jiwaku
sukmaku bertaut dengan keresahannya
nadiku dipicu detaknya
padanya
aku bersimpuh
menggumulkan asa
agar kurasa hening serta riuh hatinya.

d.purnami
Sanjiwani, 7 Februari 2008.

Friday, January 25, 2008

Tak usah ... Jika..

Tak usah,
temani hingga ujung waktu
atau akhir nafas
apalagi berkisah tentang esok
Jika,
tak pahamai hari ini.

Tak usah,
gapai sejuta mimpi
atau menari dibawah bintang
apalagi menitip cinta pada sang bulan bulan
Jika,
tak paham tentang malam.


Tak usah,
bersujud di kaki pertiwi
atau menyembah sang dewi
apalagi menantang matahari
Jika,
tak mampu selami jiwa yang murni.


Jika,
kau percaya
ujung waktu itu ada
malam itu indah
jiwa akan menjadi murni


tetaplah disini,
bergandeng tangan
bersama menantang matahari.

25 Januari 2008
d.purnami

Monday, January 21, 2008

Bukit Diseberang Jendela

Sejauh mata memandang,

hanya hamparan hijau yang membentang luas

sesekali rerumputan itu bergoyang diterpa angin

menyejukan mata

juga hati

Terkadang,

ingin aku mempunyai sayap

terbang dan menyeberang

menari diatas rumput yang basah

didendangkan semilir angin

Namun tiba-tiba

aku terjerembab

tertegun dalam dudukku

anganku telah terbang untuk kesekian kalinya

angan yang bersayap

telah terbang bebas

melampau batas

Kumelirik,

dia masih duduk pada daun jendela

matanya syahdu dan dalam

memandang jauh ke bukit seberang

adakah dia memikirkan hal yang sama

Pada sebatang pohon

sepasang kelinci masyuk memadu cinta

berpeluh dan basah.

di bukit seberang.

Dia,

sesekali meliriku dalam

seolah ingin berkata

“andai aku seperti burung

akan kubawa terbang

menari mengitari bukit ini”

Bukit itu telah basah oleh embun

langit memerah

senja kian menghilang

aku bangkit dan menutup jendelaku

esok aku akan kembali duduk di daun jendela ini

dengan secangkir kopi yang mengepul.


d.purnami

21 Januari 2008

Tuesday, January 1, 2008

Selamat Tahun 2008

Selamat tahun baru 2008.

Derai hujan mengiringi pergantian tahun 2007, tak ada perayaan khusus tuk menyambut datangnya tahun 2008. Sembari memandang hujan dari balik jendela, saya merenungkan apa yang terjadi di tahun kemarin yang kini menjadi kenangan.

Banyak hal terjadi dalam setahun, kesuksesan, kebahagiaan, kegagalan dan duka datang silih berganti menyemarakkan hidup.

Kegelisahan adalah satu hal yang selalu menyertai kehidupan. Daftar kegelisahan akan lebih panjang jika waktu yang kita punya untuk merenung lebih banyak, merefleksi diri tentang apa yang telah diperbuat dan tentunya berharap di tahun mendatang semua menjadi lebih baik.

Tahun 2008 adalah tahun yang mengandung unsur angka 8, menurut fengsui 8 merupakan simbolis dari arah mata angin. Sebuah keseimbangan, seimbang dalam fikiran dan jiwa agar tercapai kedamaian dan keharmonisan di jiwa.

Kembali lagi saya mengenang tahun kemarin, hal yang paling meninggalkan makna adalah saya belajar menerima kenyataan hidup serta mengartikan arti kata cukup. Menerima kenyataan dengan lapang dada adalah hal terbaik agar bijaksana terhadap kehidupan yang kita jalani.

Kenyataan memang teman hidup kita yang pasti, bukanlah janji dan angan.
Begitu halnya mengartikan kata cukup. Sifat dasar manusia memang tak pernah bisa merasa cukup atau puas. Memang hal yang berat untuk mengatakan cukup kepada diri sendiri, membutuhkan proses penyadaran diri dan kerendahan hati serta ego untuk melakoninya.

Dan tahun ini saya merasakan kecukupan yang sangat di hati. Sebuah rasa bahagia yang indah.

Tak dipungkiri dalam setiap kemenangan ada kegagalan, begitupula sedih dan senang selalu datang bersama bagai sepasang kupu kupu putih jayaprana. Semua itu saya lalui dengan suka cita berkat dukungan orang-orang yang terkasih.
S
aya sangat bersukur di tahun 2007 dengan kecukupan rasa bahagia yang dalam yang membuat hidup saya sangat berarti.

Sahabat, keluarga dan orang terkasih.
Selamat menyambut tahun 2008.
Mari bergandeng tangan untuk kebahagiaan dan kedamaian di jiwa.

Salam Cinta
Kadek Purnami