Monday, September 28, 2009

Ekstra kurikuler

Aku pulang membawa kertas buram yang berisi keterangan ekstra kurikuler.

Pilihannya begitu banyak, komputer, bahasa inggris, tari, pramuka, bahasa jepang, karate, basket, bulu tangkis dan menjahit.

Lama kamu berkerut memandangiku dan tidak menanda tangani kertas buram yg kubawa.

' Nggggg...Tanda tangani dong pak, besok dikumpul.

(Kau tetap memandangku) tak melakukan permintaanku

Aku memasang wajah memelas

' Pak, tolonglah ditanda tangani'

Kau menghela nafas dan bertanya
'Kenapa harus memilih karate?, bukankah begitu banyak pilihan yg lain?'
' Ya karena aku ingin belajar karate, aku ingin menendang cowok-cowok nakal disekolahku. Aku ingin kuat berantem dengan mereka'

' Ah, kamu itu perempuan nak, dan hanya kamu satu-satunya keturunan perempuan dikeluarga kita'

Kaupun tak menanda tangani kertas buram.

Keesokan harinya, walaupun aku belu tau satu juruspu, aku yakin betul siapa lelaki pertama yg ingin kutendang.

Bukan lelaki seumuranku yg menggodaku disekolah, tapi lelaki setengah baya yg dengan kuasanya datang kesekolahku, bertemu guru BP berbicara agar sebaiknya aku diarahkan untuk menari, agar jiwa perempuanku lebih halus.

Ugh! Sungguh mengesalkan.

28 september 2008
D.purnami
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Bola bekel

Ingatkah kau tentang siang yg sering kita lewati bersama sepulangku sekolah?

Kepang tak pernah kulepas, aku langsung berlari mengambil bola bekelku.

Masih dengan seragam putih merah aku tak bersabar untuk bermain denganmu.

Kau tau ketidaksabaranku untuk segera bermain.
Tau pula bahwa telah kupendam keinginku sedari disekolah saat menonton teman-temanku bermain.

Dan karena kaupun tau sebuah fakta bahwa tak ada seorangpun yg mau mengajakku bermain bola bekel.

Dan kau tau jawabannya dengan pasti bahwa aku tak mampu bermain dengan baik, apalagi menang.

Oleh karena itu mereka mengasingkanku.


Hanya kamu teman bermainku, yang selalu kalah demi melihat aku tertawa.

Demi sebuah rasa percaya diri yg ingin selalu kau tumbuhkan padaku bahwa akupun bisa memainkan bola bekel dengan baik dan terampil.

Sembari menyuapiku sendok demi sendok makan siangku, kau tetap bermain penuh tawa dengan kekalahan.

Kau rela menaruh kuasmu, membiarkan kanvasmu tanpa goresan warna, demi bermain bola bekel denganku.

Sebuah masa yang begitu indah, hanya kau yg selalu percaya bahwa akupun lihai.

Pada sebuah bola bekel akupun selalu mengenang cintamu yg hangat dalam kekalahan.

Rindukupun tumbuh seperti bola bekel yg dimainkan.
Dilempar naik, jatuh, kemudian memantul kembali.

Begitulah Aku mengenangmu datang, pergi dan datang lagi.

Ah , rindu aku memainkan bola bekel itu lagi.

28 september 2009
D.purnami
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT