Monday, December 15, 2008

Empang

Taxiku berjalan merayap menyusuri jalan kecil, dengan becak di kanan kiri. Mataku tertuju pada empang yang berkelok sepanjang jalan, berwarna hitam dan tentunya mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bangunan kumuh berderet sepanjang empang.

Aku berfikir bagaimana mereka bisa hidup dalam keadaan seperti itu, yang jauh dari rasa kenyamanan.
Namun aku perhatikan mereka tetap hidup seperti biasanya, mereka duduk ngobrol, ngopi dan makan dipinggir empang. Wajah mereka tak menampakkan rasa jijik ataupun sedih, wajah mereka ketika menikmati kopi sama nikmatanya dengan kita saat menghirup kopi di warung kopi berkelas.

Masih sepanjang empang dengan air berwarna hitam, aku melewati pasar yang ramai, para penjual berderet dipinggir empang. Seperti pasar pada umumnya mereka menjual daging ayam, sapi, ikan, sayur, buah dan sebagainya, pembelinya pun ramai. Transaksipun berjalan biasa layaknya di supermarket. Tak satupun mereka mmenutup hidung.

Mataku tertuju pada seorang anak kecil dan bapaknya yang berendam di dalam empang mencari botol bekas dan menjaring ikan.

Tidakkah mereka akan merasakan gatal dan sakit?
------------------------

Keesokan harinya aku melalui empang itu lagi, kali ini hujan begitu deras mengguyur sehingga membuat banjir dan air empang naik, aku bergidik di dalam taxi tak membayangkan jika aku terkena air hitam tersebut.

Mataku kembali terbelalak, menyaksikan anak kecil dan orang tua berhamburan keluar jalan bermain air dengan gembira. Mengambil air di jalan menyiramkannya ke tubuh temannya. Mereka tak peduli air itu sekotor apapun mereka tetap gembira. Sama gembiranya ketika aku melihat keluarga yang bermain air di waterboom.
-----------------------------------

Ah hidup, akan menjadi terbiasa oleh keadaan.

Surabaya
14 Desember 2008