Tuesday, May 25, 2010

Kemuning - sebuah cerpen

Kami nampak seperti pasukan kecil dan tak saling mengenal satu sama lain. Sandhi kala, saru muka, walau mata dipicingkan untuk melihat lebih jelas dan lamat, tetap tak membuahkan hasil. Wajah-wajah di sampingku tetap tidak kukenali. Mata kufokuskan pada sosok lelaki jangkung didepanku, dan mencermati setiap katanya.

Senja telah tenggelam, langit tak lagi merah, danau dihadapan kami masih bisu dan tenang, dingin telah menampar kulit mukaku, dan kabut semakin menyamarkan wajah-wajah kami. Burung-burung terbang landai setelah lelah terbang sehari penuh, dan hinggap di pohon-pohon cemara yang berayun lembut.

Aku mengkerut dalam keheningan, kami masih tetap tak menyapa, memilih diam dalam tanda tanya. Danau Tamblingan seperti menenggelamkan kami. Hanya Purnama yang mulai muncul memberi hangat pada hati, memberi terang pada kelam malam.
Tak pernah kumenyangka akan hadir beberapa orang yang tak kukenal dalam pertemuan ini.

“Purnama kapat, kita bertemu malam ini di Danau Tamblingan”
Begitulah pesan yang kuterima pagi ini.
Sebagai murid, aku tak akan pernah mempertanyakan lagi untuk apa pertemuan itu. Kewajibanku hanya datang saat diminta dan mengikuti perintahnya itupun saat aku memang ingin.

Kami berjejer berempat, hanya aku perempuan di deret itu, entah dari mana ketiga lelaki di deretanku berasal. Rambut mereka telah memutih sebagian, aku tidak bisa mengenali asal daerah mereka, karena tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, kami masih bisu dan berdiri menatap mata Paman Guru yang menggelung rambutnya keatas menunggunya membuka suara. Satu perempuan lebih muda dariku berdiri di hadapanku serjajar dengan Paman Guru.

“Anak-anakku, malam ini purnama kapat, aku ingin kalian meningkatkan semedi dan mengurangi nafsu duniawi sesaat. Menyebarlah kalian ke empat penjuru mata angin, berjalanlah menyusuri pantai dan beristirahatlah pada pura yang kalian temui. Lakukan brata makan hanya nasi putih , kacang dan sayur, jangan makan yang bernyawa. Makanlah saat matahari terbit, tengah hari dan sandhi kala, janganlah lebih dari tiga kepel. Purnama Kelima kita akan bertemu di Besakih”
Paman Guru kemudian memerciki kami tirtha. Satu persatu dipanggil dan mereka kemudian pergi. Aku adalah orang yang dipanggil terakhir.

“ Kemuning, apakah kau masih menyangkalNya? Sudah enam bulan kau tak pernah menyembahNya, menyangkal semua kekuatanNya, dan membenci diriku. Hari ini kau datang kembali memenuhi undanganku, apakah kau sudah lelah berlari?”
Aku tertunduk diam, tak menyahut sepatah katapun, mata Paman Guru seperti menguliti setiap fikiranku. Dia memintaku duduk, dan kami duduk berhadapan. Dulu kami selalu duduk seperti segitiga sama sisi, Paman Guru, Ayahku, dan Aku. Ayah sebagai teman seperjalanan Paman Guru kini tak bersama kami lagi, dan hanya Paman Guru yang terus melanjutkan membimbing murid-muridnya.
Langit makin kelam dan bintang nampak bersinar, wajah Paman Guru semakin nyata oleh terang rembulan, begitu pula wajah perempuan disampingnya. Perempuan muda itu kini membakar dupa dan menancapkannya ke pertiwi. Aku tak pernah bertemu dengannya sebelumnya, mungkin dia bergabung saat aku menghilang.

“ Anakku, aku tahu kesedihanmu yang begitu mendalam sejak kepergian Ayahmu. Bukankah aku sudah memberitahumu tiga bulan sebelum kepergiannya? agar kamu menyiapkan diri dan mampu melepas ikatan-ikatan bathinmu, hingga saat dia pergi kamu mampu tegar dan menghanghantarkan kepergiannya dengan doa ?”

“Paman Guru, aku tak mampu, aku tak kuat melepasnya, ikatan kami terlalu kuat dan dalam. Aku masih ingin bersamanya”

“Kamu tak pernah memilikinya, kamu tak punya apa-apa. Sekarang Ayahmu sudah bersih, kewajibanmu telah kamu jalankan, upacara pengabenan dan mendak nuntun sudah kamu laksanakan. Ayahmu sudah menjadi Hyang Guru. Namun, masih ada hal-hal yang belum sempat diselesaikan Ayahmu. Ada hutang janji yang dia tinggalkan. Aku tak akan memintamu menyusuri pesisir laut timur dan berhenti di tiap pura seperti yang aku perintahkan kepada ketiga teman seperjalananmu itu.”

“Jadi untuk apakah Paman Guru memintaku datang kemari?”

“ Aku sering mendatangimu melalui mimpi-mimpi, memberi isyarat-isyarat yang rupanya memang selalu kamu sangkal”

“ Maafkan aku Paman Guru aku memang tak ingin mempercayai lagi dengan apa yang sudah aku jalani selama ini. Kepergian Ayahku adalah sebuah isyarat nyata untukku, dia begitu taqwa, rajin bersemedi, taat melakukan tapa brata, dan berlatih yoga setiap hari. Namun apa yang aku dapatkan? Tuhan juga tetap mengambilnya. Jadi untuk apa aku melakukan semua ini Paman Guru? Jika pada akhirnya semua usaha menjadi sia-sia.”

“ Begitu dalam kekecewaanmu anakku, sehingga kamu lupa tentang apa intisari perjalananmu selama ini, kamu begitu sedih dan merana, apakah kamu pernah berfikir bahwa Ayahmu bahagia meninggalakn jasadnya? Tidakkah kamu sadar bahwa semua tapa brata yang dilakukannya adalah bertujuan untuk mempercepat jalan kepulangannya ke rumah asal? Rasa bahagia abadi yang dia tuju.”

“Aku tak percaya lagi pada semua ini Paman Guru”

“ Kamu memang tak akan bisa menerima dan percaya, aku hanya ingin mengingatkanmu, jika Ayahmu masih hingga saat ini, kamu akan selalu berada di bawah bayang-bayangnya, dan tidak akan pernah berjalan pada jalanmu. Misimu dan misi Ayahmu berbeda, juga denganku. Hanya waktu yang mempertemukan kita, saat ini kita berjalan di jalan yang sama, esok lusa kamu akan berjalan pada jalanmu sendiri, jalan yang akan kamu tempuh seorang diri. Sebelum kita berjalan lagi, ada satu hal yang ingin aku sampaikan. Ayahmu meninggalkan sebuah hutang janji, sudikah kamu membayarkan hal-hal yang masih belum terselesaikan oleh Ayahmu”

“ Demi cintaku padanya, akan aku laksanakan Paman Guru”

“Pergilah kamu sekarang kearah timur, Luh Manik akan menemani perjalananmu. Ngayahlah di Pura Watu klotok selama sebulan, nyapuh dan ngayahin Ida pemangku, Purnama Kelima kamu boleh menemuiku di Besakih, tapi jika tidak ingin menemuiku lagi, kau boleh memilih jalanmu. Apapun jalan yang kamu pilih nanti, yakinilah”

“Baiklah Paman Guru, saya akan menjalankannya”
Malam semakin pekat, dingin telah menusuk tulangku, aku menuntaskan perenunganku hingga subuh. Paman Guru telah pergi, dan hanya Luh Manik yang sedang berjongkok di sisi api unggun. Aku berjalan ke tepian danau, membasuh muka, aku tertegun sesaat melihat bayanganku sendiri yang terpantul, aku masih melihat kedukaan pada wajah itu yang kemudian bayanganku sirna oleh kelebat seekor ikan.
Luh Manik tak banyak bicara, dia sangat betah berdiam diri, sesekali memilin-milin rambutnya dengan mata yang selalu menerawang. Kami memulai perjalanan setelah 3 kepal nasi pertama kami lahap dengan sujud syukur. Hingga tengah hari akhirnya kami sampai di Pura Watu Klotok. Debur ombak yang bergemuruh menyambut kami, matahari begitu terik, dan kemilau air laut menyilaukan mata.
Seorang pemangku menyambut kami, dan memberikan segelas air putih.

“ Kamukah yang akan ngayah di pura ini?”

“Inggih, titiang”

Dia hanya tersenyum dan pergi untuk melayani umat yang sedang bersembahyang.
Jero mangku kembali membawa nasi putih dan kacang saur lungsuran. Kami membasuh muka, sembahyang dan kemudian nunas. Aku termenung lama, disinilah aku akan menghabiskan satu purnama bersama Luh Manik. Aku menatap daun waru yang terlepas dari ranting, satu demi satu berjatuhan, kemudian diterbangkan oleh angin dan saat sore menjelang aku menyapunya dan membakarnya. Begitulah aku menjalankan hariku setiap hari, menghayati waktu dan menyaksikan terlepasnya sehelai daun waru dari rantingnya. Sakitkah atau dia merasakan sukacita terlepas dari ikatan?

Aku mulai menghapal debur ombak yang memecah kesunyian, membenturkan diri pada batu, menyeret pasir kemudian bergumul meleburkan diri menjadi satu dan terhempas kembali. Seperti gemuruh hatiku yang bergumul dengan kedukaan. Di tempat inilah aku akan membayarkan hutang janji sang Ayah, tempat aku membuktikan dalamnya cintaku padanya, satu purnama pengabdianku padanya. Setiap malam aku berjalan menyusuri pantai, sesekali buih ombak menyapa kakiku dan pasir menghisapnya hingga mata kaki.

Kepada Baruna aku memohon ijin menyapa Ayah, pada abunya yang dititipkan kepada Ibu samudra. Adakah kau merindukanku? Atau hanya aku yang selalu sepihak merindukanmu? Apakah karena aku masih mempunyai wujud kepala menjadikanku yang kerapkali memikirkanmu, dan karena kau telah berwujud abu, kau abadi menjadi partikel terkecil? Tak ada lagi sisa rindu untukku.

Pada senja yang menjelang aku berjalan menyusuri pantai ini untuk memepertanyakan tentang dirimu, tentang ketidakadilan, tentang cintaku yang terlalu besar. Pada cintamulah aku bertumbuh bersama semua ingatan, pada derai waktu yang selalu kukenangkan, pada penyesalan bahwa kau tak pernah mengajarkan aku arti perpisahan.

Luh Manik, masih tetap tak banyak bicara, dia telah menjadi tukang sapuh terbaik. Namun pada malam yang pekat ini, dia berjalan mendekatiku.

“Mbok Kemuning, Hari ini malam Tilem, waktu tiang untuk menemani mbok tinggal lima belas hari lagi, Purnama kelima tiang akan kembali ke Besakih menemui Ajung Guru”

Aku tertegun, tak pernah menyangka perempuan muda berparas ayu bersih ini adalah anak dari Paman Guru. Dia memang pantas jika menjadi penerus Paman Guru, dua puluh tahun lagi dia akan menjadi wanita matang yang penuh kebijaksanaan dan kerendahan hati dalam laku. Dia masih sangat muda, namun telah mengabdikan diri untuk menjalankan semua ritual ini. Aku berfikir apakah Luh Manik mempunyai kecintaan yang sama kepada ayahnya seperti besarnya cintaku terhadap ayahku. Apakah jika diusia 27 tahun dia akan jauh lebih dewasa dan tegar menerima kepergian ayahnya. Entahlah, aku masih mempunyai sisa beberapa hari untuk membayarkan semua piutang Ayahku, yang akan aku lakukan dengan sebaik mungkin.

Aku duduk di tepian pantai bersama Luh Manik memandang surya yang tenggelam, ini adalah senja terakhir yang kita tatap di sini, esok adalah Purnama kelima.

“Luh Manik, Kau esok akan menemui Ayahmu pagi-pagi di Besakih?”

“Nggih mbok, Tiang akan berangkat subuh setelah matahari terbit”

“ Bagaimana dengan mbok kemuning sendiri”

“Maaf luh, mbok tidak bisa kembali ke Besakih, mbok akan melanjutkan jalan mbok sendiri. Sampaikan salam hormat mbok dengan Paman Guru”

“Baik, tiang sampaikan”

Matahari telah terbit di ufuk timur, aku menatap kepergian Luh Manik dengan kebaya putih untuk bertemu Paman Guru. Dan akupun menuju pantai, menyapa kembali abu Ayahku pada Ibu Samudra.

“Ibu Samudra, ijinkan aku bertemu ayahku, pertemukan kami, walau aku tak akan menemuinya dalam bentuk abu, tapi dalam wujud badan kasar, aku ingin bertemu dengannya dan menyampaiakan bahwa hutang janjinya telah aku lunasi. Kini biarkanlah aku bersamanya selamanya”

Debur ombak menggulungku, menyeretku dan aku tak merasakan apa-apa lagi, aku melihat Ayah yang tersenyum padaku membuka sebuah pintu besar bertahta emas.

Ubud, 11 Februari 2010
Kadek Purnami

Tuesday, May 18, 2010

Berhenti merasa memiliki sehingga tak kehilangan

Apa yang kita rasakan saat kedua ujung bibir tertarik melebar dengan mata terpicing, tersenyum bahagia, bahkan tebahak oleh hal yang membuat kita senang luar biasa?

Dan apa pula yang dirasakan saat mata nanar berusaha membendung air mata agar tak tumpah, dan bibir menjadi kelu dalam diam?

Dua rasa yang bertolak belakang: senang memiliki sesuatu, dan sedih saat kehilangan.

Memiliki dan kehilangan.

Apa sejatinya yang kita miliki?

Apa pula yang sebenarnya hilang dari kita?

Bukankah tak pernah ada yang kita miliki juga hilang?

Bahkan nafas dan nyawa kita sekalipun tak pernah kita miliki.

Mari berhenti merasa memiliki agar tak pernah merasa kehilangan.


Kadek purnami
Ubud, 18 mei 2010.

Thursday, May 13, 2010

Saat membenci kita kehilangan kesempatan mencintai

“ Aku begitu benci jika harus bangun pagi; akupun kehilangan kesempatan mencintai embun pagi dan kicau burung”

Bukalah mata dan hati, banyak hal indah pada setiap hal yang mungkin awalnya kita benci!


love,
Kadek purnami

Tak ada keberhasilan yang hanya disebabkanoleh diri sendiri.

Mungkin pernah suatu ketika kita merasa sangat bangga pada diri sendiri; baik itu keberhasilan akan sebuah prestasi atau kesuksesan dalam karier.

Kerapkali kita hidup dilingkupi rasa ego akan kebanggaan diri, sehingga lupa perjalanan panjang yg kita tempuh hingga pada akhirnya sampai berdiri pada posisi puncak.

Misalkan semua kebanggaan anda pada diri anda capai pasa usia 35 tahun, saat merasa mapan akan semua hal dalam hidup anda, baik itu pola fikir, prinsip hidup, materi dan keluarga.

Namun, pernahkah anda membayangkan bahwa 35 tahun yang anda lalui itu menghabiskan nyaris 12775 hari, dan 306600 jam! Bayangkan berapa orang yang pernah kita temui sepanjang perjalanan itu?

Saya ingin berbagi bersama anda tentang sekelumit hal yang ada dalam kepala saya. Pernah satu hari saya habiskan untuk berfikir dan membayangkan berapa orang yang sudah berperan dalam hidup saya sehingga saya menjadi seperti sekarang ini.
Orang-orang yang memahatkan sejarah dalam hidup saya dan hal ini pasti terjadi pada anda juga.

Dalam lingkup terkecil adalah keluarga dekat yang sudah pasti sangat berperan, sejak lahir hingga tumbuh kembang menjadi balita, saat kita berada pada titik nol pelajaran pertama untuk hidup. Bagaimana mereka membesarkan kita.
Saya kadang ingin tahu kata apa yang mampu saya ucapkan pertama kali, atau siapa yang menuntun saya saat pertama kali berdiri dan melangkah, bahkan saya ingin tahu apa yang mereka bisikkan pertama kali pada saya.

Bahkan saya ingin tahu siapa guru yang mengajari saya mengenal huruf, membaca dan menulis, siapa orang pertama yang saya anggap teman atau musuh, orang yang pertama saya cintai dan benci.

Terlalu banyak dan memang terlalu banyak orang yang berpapasan dalam perjalanan hidup kita, entah itu hanya sekedar lewat, berhenti dan bercakap hingga menorehkan makna yang dalam pada hidup kita.
Tak dapat dihitung!

Saya kembali berfikir, apa yang menyebabkan kita bertemu dengan orang-orang, ada yang membuat kita tertarik melanjutkan hubungan yang lebih jauh, ada juga yang tidak.
Sehingga, saya sangat menyadari bahwa tak pernah ada sebuah keberhasilan yan disebabkan oleh diri sendiri.

Walau saat anda berhasil anda memang berusaha keras dengan kemampuan diri untuk menjadi berhasil. Tapi jika orang-orang tidak memberikan kesempatan untuk anda, apakah anda bisa ada pada jalan itu?

Semua memberi andil pada sejarah hidup anda. Jadi pantaskah kita menjadi ego dan membanggakan diri sendiri?

Kadek Purnami
Ubud, 13 Mei 2010.