Monday, February 25, 2008

Obituari Perupa Made Subrata

Menggurat Pesona Puitik Perempuan Bali

Oleh Wayan Kun Adnyana

Tidak banyak perupa Bali yang intens menyusuri sisi karismatik wajah ayu perempuan Bali. Andaikan pun ada, barangkali tak sedalam bagaimana perupa kelahiran Padangtegal Kaja, Ubud, (18 Oktober 1950), Drs. I Made Subrata, menyusuri tepian kedalaman puitik dari wajah-wajah berkarisma perempuan berkulit sawo matang ini. Paras perempuan Bali dalam kanvas-kanvas alumnus PSRD Universitas Udayana itu, tidak saja memancarkan kecantikan fisikal yang gampang terkenali secara kasat mata, melainkan pula ‘’cantik’’ dalam laksananya sebagai energi puisi yang senantiasa memancar. Perempuan Bali, sebagaimana diamini banyak pengamat sosial-budaya, memang digambarkan sebagai sosok yang memiliki kecantikan berasa; suatu kondisi menyempurna antara kecantikan wadak dan psikis: entah karena kulitnya yang tidak terlalu putih dan juga tidak gelap, rambut berombak, hidung merekah, dan juga pancaran mata yang menusuk pandang; pula melekat kecerdasan intuitif yang mengundang kagum. Singkatnya—kalau boleh memuji—perempuan Bali adalah senyata puisi indah yang hidup dan selalu menyentuh.

Oleh perupa Made Subrata, cantik perempuan Bali teramu dalam kecakapan mengolah dan mengurat warna; menyusuri nilai psikologis dari warna-warna, berikut memoleskan kembali keindahan wajah perempuan Bali dengan sentuhan personal yang kuat. Perupa yang sekaligus pendidik di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) kini SMKN 1 Sukawati itu memang tidak memakai teknik realistik biasa (fotografis), melainkan menunjuk ke arah eksplorasi kreasi teknik ekspresionistik; menggapai impresi nyata tentang karakter perempuan cantik dengan polesan-polesan pisau palet yang bebas dan ekspresif. Hanya pada beberapa sentuhan akhir—terutama pada garis wajah, dan ornamen-ornamen pakaian Bali: motif Tenganan, Asak-Bungaya—tetap terjaga lewat polesan kuas yang terkontrol. Hingga lahirlah karya-karya bersubjek ‘’Perempuan Bali’’ yang tidak saja cantik secara wadak, melainkan juga memancarkan impresi psikologis yang menyentuh.

Biasanya, Made Subrata menjadikan anak perempuannya Kadek Sri Purnami—perempuan Bali yang menjadi salah satu penggerak Ubud Writers Festival—sebagai model karya-karyanya. Bahkan sedari Kadek baru menginjak remaja. Barangkali oleh dua perempuan yakni, istrinya Ni Ketut Rini, dan anak perempuan satu-satunya itulah Made Subrata berhasrat untuk selalu menghormati perempuan, menempatkannya sebagai sosok yang memesona dan luhur.

Pada era 1980-an adalah masa di mana karya-karya Made Subrata menuai puncak pengakuan. Melenggang dalam berbagai forum pameran bergengsi di berbagai kota di Indonesia. Begitu pula diamini pasar seni rupa yang menggema sebagai boom seni lukis Indonesia pertama pada masa itu. Keberhasilan meraih reputasi dan juga karya-karyanya yang senantiasa diburu, toh tak membuat perupa yang aktif bermasyarakat sebagai Ketua Sabha Desa Pakraman Padangtegal, termasuk pula pernah memangku kepercayaan sebagai wakil bendesa adat itu, tak hadir sebagai sosok perupa yang obsesif, meledak-ledak, apalagi harus eksentrik. Made Subrata adalah sosok perupa berkepribadian tenang, menyikapi tiap persoalan kreatif dengan rasa empati, hingga di ruang kelas, bagi murid-muridnya—penulis adalah salah satu murid bimbingannya sewaktu di SMSR dulu—adalah sosok yang menginspirasi, sekaligus guru yang berwibawa.

Sebagai perupa, Made Subrata memang hanya menjalankan keinginan intuisinya. Dia bekerja, selama cita-cita artistiknya menghendaki. Walau pasar memburu, dia tak sudi berpaling, kalau memang saat itu keinginannya hanya untuk merawat tanaman angrek yang kini marak menghiasi pekarangan rumahnya yang asri di Padangtegal, Ubud, dia akan melakukannya dengan penuh setia. Memang tak ada kata setengah hati bagi perupa yang menata rapi brewoknya itu. Begitu pula ketika berkehendak untuk melukis, sudah pasti tak ada yang mampu menghentikannnya. Begitulah jalan seniman menuaikan fitrah hidupnya; berjalan tanpa ada yang bisa menyangkal.

Kabar duka, Senin, 11 Februari 2008, pukul 12.00 wita, datang lewat sms, mengabarkan perupa yang juga guru dengan pribadi memesona itu telah berpulang. Betapa terkejutnya saya membaca kabar yang tiba-tiba itu, apalagi bagi keluarga yang ditinggalkan. Namun di atas segala-galanya begitulah Ida Sang Hyang Widhi berkehendak atas perupa yang di masa hidupnya telah memberi sumbangsih artistik bagi khasanah perupaan seni rupa Bali itu untuk kembali padaNya. Selamat jalan Pak Made, publik seni rupa Bali pasti akan selalu mengenangmu…

Wayan Kun Adnyana, pengajar di FSRD ISI Denpasar, mahasiswa Paska Sarjana ISI Yogyakarta.

No comments: