Friday, November 19, 2010

Sekuntum lily

Aku adalah sekuntum lily
Yang telah dipetik oleh seorang lelaki,
dijadikan hiasan dalam rumah itu.

Tak ada bunga lain, hanya aku sekuntum.

Hanya sesekali dia memandangku,
Atau mencium harumku.
Setelah itu dia pergi dan rumah itu kosong.

Tak pernah ada perempuan yang singgah pada rumah itu,
Hanya lelaki itu seorang diri.

Sering kumenanti diriku akan di bungkus dan dihiasi pita,
Menanti diriku dipersembahkan pada seorang wanita.
Aku akan menunjukkan wajah kesegaran merona, dan wangi terbaikku untuk perempuan yg dicinta lelaki itu.

Namun, sampai hari ini lelaki itu hanya mengganti air untukku, menciumnya sesekali, dan pergi meninggalkan rumah yg lenggang.
Mata lelaki itu selalu menerawang getir.
Adakah sejatinya wanita yg ia cinta
------

Aku adalah sekuntum lily
Yang dipetik oleh seorang wanita
Aku menghiasi meja makan yang berisikan 5 kursi.
Terkadang aku di ambil oleh si bocah lelaki 7 tahun yang memperlakukanku kasar untuk memukul adik perempuannya yg berusia 5 tahun atau dirampas kembarannya.

Dan wanita itu akan dengan cepat menyelamatkanku memasukkan aku ke dalam vas dan menciumku.
Terkadang ketika mereka duduk bersama, lelaki setengah baya dirumah yg ramai itu selalu menggeserku, dia tak begitu suka padaku.
Bahkan pernah membuangku ke tong sampah.

Saat bocah-bocah kecil itu bersekolah dan lelaki itu bekerja.
Hanya ada aku dan wanita itu dirumah.
Dia akan meluangkan waktunya begitu lama untuk memandangku kelam menerawang, menciumku dan menjagaku agar tak layu.
----------

Kami hanya sekuntum lily penghias rumah.

Ubud, 19 november 2010
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Thursday, November 18, 2010

Kelam malam

Malam itu diantara pohon pinus yang menjulang tinggi.
Diatas rumput kita terlentang, memandang bintang yg bertabur diangkasa.

Dari sela dedaunan, bulan begitu temarang.
Dan kau mencari ke dalam kelam mataku.
Tentang cinta yang kujanjikan selalu ada untukmu.

Aku berceloteh tentang hari yg luput dari pertemuan kita,
Menyesali waktu-waktu yg tak mempertemukan kita lebih cepat.

Dan kita berangan tentang esok, tentang lusa bahkan hari yg tak pastipun kita angankan.
Tanpa sadar bahwa hari inipun kita lalui dengan gigil dan ringkih.

Ah, andai waktu hadir lebih lama, atau terhenti sehingga membuatmu tak bergegas bangun,
Dan kembali pulang.

Akankah kau ingin mendengarkan lagi celotehku tentang esok yg tak pasti?

Jangkrik itu mengerik dingin, melengking menusuk telingaku,
Seperti kenyataan yg harus kita hadapi.

18 november 2010
Kadek Purnami


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tuesday, November 16, 2010

Persimpangan kota

Gemerlap cahaya kota malam itu begitu memukau
Di persimpangan aku terdiam
Menentukan arah mana yang akan kutuju

Deru suara mobil membuyarkan setiap kenangan yang coba kususun kembali
Aku memilih duduk pada bangku taman
Merapatkan jaketku

Angin dingin mencoba membekukan otakku
Mencoba mencari ingatan yang masih tersisa

Arah mana yang kutuju agar kurasakan cinta yang sama?

Pengemis jalanan meludahkan dahak di sampingku
Dan anak kecil menangis pilu
Satu lampu yang terlalu binar menyala berkelip kelip
Menarik hatiku tuk menyeberangi persimpangan ini.

Namun aku kembali
Membalikkan badan
Mengurungkan semua niat untuk mengingtmu

Karena aku tidak sedang ada dalam persimpangan yang sama
Biar kususun kisah baru yg lebih segar.

Kota ini, kau memang memukau

Ubud, 16 november 2010 ( kingcross)
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Bondi

Dulu, pernah ada dua cinta yang telah disatukan
Pada semenanjung pantai nan indah ini.

Kini dua cangkir kopi yang mengepul terhidang hangat pada pesisir pantai yang sama.

Remahan roti yang diserbu burung dara
Tak mengusik cerita kita

Tak ada awal dan akhir
Terbang begitu saja seperti angin yang ringan

Tak ada ingin tuk membuat cerita yang sama tentang cinta yg disatukan

Kau berkisah tentang masa lalu
Dan aku bercerita tentang masa kini
Dan masa depan tak akan menyatukan kita.

Debur ombak begitu indah mengantarkan buihnya
Aku tak sekokoh karang ditebing untuk menahan perasaanku
Juga tak selembek pasir yg digerus ombak

Aku adalah kedalaman laut yg mencoba tenang
Menyembunyikan riak riak kecil yg bergejolak

Kopi ini terlalu cepat dingin oleh udara sebelum sempat kuseruput
Dan matahari seolah ingin cepat tenggelam

Para peselancar telah pulang
Kedai kopi ini pun akan segera ditutup

Aku menuliskan sebuah nama pada pasir putih
Bukan kata cinta

"Bondi'
Aku tak ingin mengukir kisah yang sama.

Ubud, 16 november 2010
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Rosebay

Aku melintas senjalaka
Bersama desir hangat hatiku,
Menatap luas lautan biru

Diantara pohon rindang aku berdiri,
membiarkan daun yg berjatuhan menyentuh rambutku yg tergerai ringan.
melepas pandang pada sederetan perahu nan gagah.

Pada perahu yang mana kau sembunyikan cintamu?
Sehingga membuatku harus menebak melintas benua.

Rosebay terlalu biru untuk kau buat aku resah
Katakan, katakan saja
Atau biarkan aku tenggelam bersama birunya laut serupa langit yang kian memerah.

Karena perahu itu tak akan kita kayuh bersama

16 november 2010
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Monday, November 15, 2010

Pintu rahasia

Pintu rahasia

Ingatkah kau tentang rel tua di belakang rumah itu?

Besi merah yang tersamar dedaun kering.

Ribuan tapak kakiku tertinggal disana, lenyap terhempas angin dan sebagian menyusup pada pori tanah.

Pada pintu kecil itu aku akan menjentikkan jemariku, memainkan nada nada rahasia kita.

Jika nada itu tak terbalaskan oleh syahdu senandung mu,
Maka pot kecil itu akan penuh oleh kertas yang berisikan kisah yg ingin kuceritakan padamu.

Aku terus kembali menyusuri rel tua, menjentikan jemari pada pintu kayu,
Dan senandungmu tak pernah terdengar lagi

Pintu itu kian tersamar oleh semak belukar, dan pot kecil itu terlalu penuh oleh tumpukan kertas yg kian hilang hurufnya satu demi satu.

Kau tak pernah lagi membuka pintu rahasia itu,
Tak ada lagi senandungmu
Dan jemariku sudah tak ingat lagi menjentikkan nada-nada.

Hingga pada sebuah hari,
Aku tak mengetuk lagi pintu rahasia itu.

Apakah kau memikirkan aku yg sedang berjalan menyusuri besi tua dan melenyapkan setapak jalanku diantara daun kering?

Aku hanya ingin kau khawatir, dan menyusuri besi tua itu tuk mencari jejakku.

Tapi kau terlalu dingin untuk khawatir.

Ubud, 15 november 2010
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

kembali mengisi blog

Postingan terkahir saya bulan Mei, nyaris selama 5 bulan saya vakum sementara untuk menulis di blog ini. Kini november, sebuah bulan yang mengawali kesenggangan waktu saya. Mulai melihat segala sesuatu secara lebih detail.

mari berceloteh lagi.
Salam,
Kadek Purnami

Wednesday, June 2, 2010

Amarah - sebuah cerpen kadek purnami -terbit di Bali Post 31 Mei 2010

Ada amarah serupa bongkahan batu besar di dalam hatiku, kubenamkan dalam-dalam pada pertiwi, karena kuyakin ibu memiliki hati yang lapang tuk menjadikannya debu.
Aku terdiam saat Badra mendatangiku bersama seorang perempuan muda, nampan yang penuh berisikan sesaji kuletakkan, dupa yang menyala kumatikan. Aku menghampiri dengan jantung yang berdegup kencang, dan kaki yang lunglai, namun aku merasa kuat dan tak terkalahkan.

Perempuan itu duduk disamping Badra begitu dekat, tangannya tak lepas dari kain yang dikenakan Badra, ada kecemasan dan ketakutan bersemburat di wajahnya yang putih pucat. Perempuan yang lebih tinggi dari aku, lebih langsing, lebih putih, berparas lebih cantik dan ayu, dan sepuluh tahun lebih muda dariku.

Aku duduk dengan tenang, setidaknya aku tak memperlihatkan raut amarah atau luka. Dan mulutku masih terkunci. Saat ini bukan aku yang berkepentingan berbicara, tapi Badra yang merasa penting, sehingga merasa perlu untuk pulang setelah nyaris tiga bulan tak menginjakkan kaki di rumahnya sendiri.

“Mirah, aku akan menikah”

Kini aku mendengar dengan telinga sendiri dari mulut suamiku sendiri. Semua kabar yang selama ini tersebar di tetangga, di seluruh kampung, desas desus keinginan Badra menikahi perempuan yang lebih muda dariku sudah jelas benar adanya. Kini aku meihat sendiri perempuan itu terduduk disebelah suamiku. Aku merasakan jantungku berdegup semakin kencang, namun aku sangat yakin raut mukaku tidak menunjukkan perubahan apapun. Aku tak memberi ijin dan tak juga melarangnya

“ Ambilah semua barangmu yang masih tertinggal. Biar aku yang merawat kedua anak kita dan ibu”

Aku beranjak meninggalkan Badra yang masih terduduk, aku menyalakan dupa, wangi cendanapun tak mampu beri aku tenang. Senja sedang memancarkan semburat merah, jantungku masih bergetar menahan pedih, kuambil air dan membasuh muka siap menyapa Hyang Widhi dan menghaturkan sesaji.

Terdengar bantingan gelas ke dinding, dan teriakan yang berisi isak tangis. Kata-kata makian kasar keluar dari mulut ibu mertuaku untuk anaknya. Aku hanya berharap dia tidak mengutuk anak semata wayangnya. Disela isakan tangis yang penuh amarah dia menyebut nama suaminya, sang almarhum yang juga meninggalkannya dulu bersama Badra untuk menikah dengan perempuan lain.

“Badra!! Kamu telah mewarisi seluruh sifat ayahmu!! Dulu Ayahmu meninggalkan ibu beserta kamu demi perempuan lain, dan kini kamu pun seperti itu meninggalkan istri dan anak-anakmu. Pergi kamu dari rumah ini, ibu tak memiliki anak sepertimu”

Sekali lagi dilemparnya Badra dengan piring meninggalkan suara gaduh yang pecah. Aku meneruskan ritual sesajiku, tanpa turut campur dalam amarah ibu. Suara gaduh belum berhenti, entah apa lagi yang dilemparkan ibu. Aku membayangkan perempuan yang digandeng Badra, mungkin dia telah sembunyi di balik punggung Badra dengan muka yang semakin pucat pasi. Semoga dengan kegaduhan yang tercipta itu Badra tak akan berlama-lama dirumah ini.

Badra meninggalkan perempuannya di teras depan. Aku melihatnya memasuki kamar kami, dadaku berdesir hangat, kamar yang tak pernah aku rubah sedikitpun posisi barangnya semenjak kepergiannya. Ranjang bersepreikan putih dingin, foto pernikahan kami lima belas tahun lalu masih tetap tergantung di dinding kamar, bunga kering yang dia berikan saat hari pernikahan kami tiga tahun lalu masih tersimpan disisi tempat tidurku, lemari yang menyimpan baju-bajunya masih rapi dan bersih. Setiap hari kujaga kamar itu agar tetap tertinggal kenangan kami, aroma yang kami suka. Adakah dia terkenang akan masa indah yang pernah kami lalui saat dia memasuki kamar itu lagi, atau dia telah mampu lupakan semua itu. Saat Badra membuka lemari bajunya, pasti akan menemukan fotoku di pintu lemari, apakah dia akan ingat tentang permintaannya dulu.

“Mirah, mana foto tercantikmu, tempellah di dinding lemari pakaianku, agar jika aku berpakaian selalu tampil ganteng untukmu, agar kau selalu bangga denganku”
Begitulah dia memintaku diawal pernikahan kami. Aku begitu menjaga penampilan Badra, parfum beraroma musk selalu tercium dari tubuhnya, aroma yang kami sukai bersama. Setiap helai pakaian yang penuh sejarah yang kusiapkan penuh cinta. Banyak yang memujinya setelah menikah, dia nampak semakin elegan. Dan saat dia dipuji oeh temannya dia akan berkata

“Aku menjadi seperti ini, karena ada istriku” sembari merangkulku di depan teman-temannya.
Tiada kebanggaan yang menandingi saat-saat seperti itu, pada sebuah masa dia begitu menyanjung dan menghargaiku.

Badra mengambil baju dan semua barangnya kurang dari setengah jam, memasukkan ke dalam tas. Ibu mengeluarkan kata makian yang semakin kasar. Kulirik perempuan muda itu nampak begitu cemas dan sesekali menengok kedalam menanti Badra keluar dari kamar kami. Aku bersyukur anak kami sedang tidak dirumah sehingga tidak menyaksikan semua kejadian ini.

Aku tak beranjak sedikitpun dari sanggah, kulihat Badra menenteng tas dan bergegas berjalan menggandeng tangan perempuan itu dengan cepat, sebelum lemparan tongkat ibunya mengenai punggungnya.

Badra menatap mataku sekilas, aku masih diam tak bergeming hingga suara deru mobil terdengar menjauh. Jantungku berdegup tak beraturan, kaki kurasakan lemas dan air mataku tumpah. Aku terisak sendiri , merintih tanpa terdengar oleh siapapun.

“ Hyang Widhi apa gunaku memujamu setiap hari, derita baru saja kau tunjukkan padaku, mungkin Kau memang tak campur tangan dalam urusan seperti ini”
Isak tangis kucoba hentikan, saat aku mendengar ibu mertuaku menjerit memanggil namaku dengan lantang.

“Mirah, jangan kau biarkan Badra menginjakkan kaki dirumah ini lagi”

“Ibu, dia berhak pulang kapanpun, dia adalah anak ibu”

“Aku tak memiliki anak seperti dia, jangan kau berikan anak-anakmu makan dari uang pemberian dia, warisanku tak akan habis buat cucuku”

“Bu, Badra tetap ayah dari anak-anak saya bu”

“Aku akan menjual rumah ini, mungkin tanah ini telah dikutuk bagi semua lelaki yang ada di tanah in, aku tak mau cucu lelakiku seperti kakek dan ayahnya. Kita akan pindah ke desa lain”

Tak pernah kusangka ibu mertuaku akan semarah itu terhadap anaknya hingga mengambil keputusan menjual tanah warisan ini. Aku tak pernah mengenal mertua lelakiku. Konon katanya mertua lelakiku telah meninggal saat Badra berusia 13 tahun, sejak saat itu Ibu mertuaku membesarkan anaknya sendiri dan tinggal berdua dirumah ini. Tanah ini adalah tanah warisan dari orang tua ibu mertuaku, Ayah Badra ikut dengan keluarga perempuan, namun sejak Badra berusia 10 tahun Ayahnya telah meninggalkannya dengan perempuan lain. Aku yakin ibu mertuaku mempunyai trauma yang dalam terhadap suaminya, ketika melihat anaknya seperti suaminya.

Saat ini Ibu mertuaku telah berusia 55 tahun namun masih cukup kuat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Dia sangat menyayangiku dan menganggap aku sebagai anak sendiri.

“Mirah anakku, jika nanti rumah ini sudah terjual, kita akan membeli rumah baru yang cukup jauh dari desa ini, nanti rumah itu akan kuberikan atas namamu.”

Aku kembali kekamar melihat lemari Badra yang masih terbuka, tak sehelai bajupun ditinggalkannya, bahkan untuk kudekap saat aku gigil merindu dirinya. Parfum musk ditinggalkan olehnya serta foto diriku di pintu lemari. Hatiku semakin kosong dan hampa, sudah tak mungkin lagi Badra akan kembali kepelukanku, dia telah memilih jalan baru dalam hidupnya. Kami tak bercerai secara resmi, namun aku telah menekankan pada anak-anakku bahwa ayahnya telah membentuk keluarga baru.

Foto pernikahan kami yang di dinding tak aku turunkan, masih tetap kubiarkan menggantung seperti sediakala, aku masih tetap berharap Badra akan kembali suatu hari nanti mengecap rasa bahagia bersama. Aku tak menyalahkan Badra sepenuhnya menikah dengan perempuan yang lebih muda, salahku juga menjadikan Badra seorang lelaki yang menarik.

Aku teringat bagaimana kami menempa diri bersama, dan membimbingnya menjadi lelaki yang dewasa dan matang. Badra memang lebih muda dariku 5 tahun. Perusahaan yang kubangun telah kupercayakan padanya. Sakit yang sering menderaku menjadikan hubungan kami semakin renggang ditambah dengan kesibukan Badra yang semakin padat di kantor, mungkin perempuan muda telah memikat hatinya dan memberikan yang tak mampu kuberikan lagi.

Aku tak begitu dendam padanya, kutelan semua sakit dan derita ini, karena cintaku yang begitu besar terhadapnya.
Nyaris enam bulan rumah kami belum juga laku terjual, Badra juga sudah tak pernah datang lagi kerumah ini. Hingga pada sebuah sore saat aku minum teh bersama ibu dia datang sendiri. Dia bermaksud untuk meminta uang kepada ibunya.

“Pongah sekali kamu datang kerumah meminta uang pada ibumu yang sudah renta ini, apakah kekayaanmu telah habis digerus oleh perempuan muda itu?”

“Bu, perusahaanku mengalami kebangkrutan, bukan di kuras oleh istriku”

“Ah, lancang sekali kau menyebut dia istrimu di depan istri sah mu yang telah berkorban banyak padamu dan memberikan seluruh hidupnya untukmu”

“Sudahlah bu, tak perlu mengungkit hal yang sudah lewat, aku sudah tak mencintai Mirah lagi, aku mencintai istri baruku”

Hatiku seperti teriris mendengar perkataan Badra, sudah tidak ada lagi cinta untukku. Dia tak mencintaiku lagi, hanya aku yang terus menyimpan cintanya, berharap suatu hari nanti dia akan pulang kembali dan kami berkumpul bersama, hanya aku sendiri yang masih tinggal dengan cinta yang penuh, dengan harapanku.

Aku duduk mematung disamping Badra, dia menatap lurus ke teras. Ibu mertuaku menghela nafas dan beranjak ke dapur, kudengar suara gelas beradu dengan sendok. Mungkin dia tersadar tak bisa lagi memaksakan cinta anaknya untukku. Sadar bahwa anaknya telah memilih perempuan lain yang (mampu) membahagiakannya. Dia tak mengamuk seperti saat Badra datang berpamitan untuk menikah, tak ada amarah lagi yang keluar dari mulutnya setelah dengan jelas Badra menjelaskan bahwa dia tak mencintaiku lagi.

Ibu datang dengan segelas teh panas dari dapur,dia menyodorkan teh itu kepada anaknya. Anak dan ibu kini nampak melunak, Badra menyeruput teh buatan ibunya. Sedangkan hatiku begitu perih. Aku mmeninggalkan mereka berdua dan masuk kekamarku, menurunkan foto pernikahan kami yang tergantung di dinding lalu membakarnya bersama bunga kering. Biarlah cintaku hangus bersama kenyataan yan telah kudengar dari mulut Badra. Rumah ini harus segera terjual dan kami pergi dari desa ini.

Badra telah pulang tanpa sepeser uangpun dari ibunya. Malam terasa begitu dingin oleh hujan gerimis yang turun sedari petang. Aku akan tidur untuk terakhir kalinya di kamar kami yang penuh kenangan. Lolongan anjing membuatku merinding, hujan turun semakin deras membuatku terlelap. Aku bermimpi tentang Badra, aku melihat dia datang dengan wajah kuyu dan pakaian lusuh.

“Mirah maafkan aku”

Aku terbangun oleh suara seorang perempuan yang memanggil-manggil di depan pintu rumah, aku bergegas bangun dengan dada yang berdegup kencang, dan hati yang miris oleh mimpiku, kenapa aku memimpikan Badra dan dia meminta maaf. Aku membuka pintu rumah dengan wajah yang kaget, melihat perempuan muda itu datang dengan panik dan tangis. Dia berbicara tersendat diiringi isak tangis.

“Badra meninggal”

Aku terdiam mematung, membiarkan air mataku meleleh. Dan kuminta perempuan muda itu membawa jasad Badra kembali kerumah kami. Ibu mertuaku terbangun dan menghampiriku memelukku tanpa kecemasan sedikitpun.

“Kapan jasad Badra akan dibawa pulang kerumah ini anakku?”

“Ibu sudah tahu, kalau Badra meninggal?”

“Aku yang telah membuatkannya teh sore tadi”


Ubud, 25 Maret 2010

Tuesday, May 25, 2010

Kemuning - sebuah cerpen

Kami nampak seperti pasukan kecil dan tak saling mengenal satu sama lain. Sandhi kala, saru muka, walau mata dipicingkan untuk melihat lebih jelas dan lamat, tetap tak membuahkan hasil. Wajah-wajah di sampingku tetap tidak kukenali. Mata kufokuskan pada sosok lelaki jangkung didepanku, dan mencermati setiap katanya.

Senja telah tenggelam, langit tak lagi merah, danau dihadapan kami masih bisu dan tenang, dingin telah menampar kulit mukaku, dan kabut semakin menyamarkan wajah-wajah kami. Burung-burung terbang landai setelah lelah terbang sehari penuh, dan hinggap di pohon-pohon cemara yang berayun lembut.

Aku mengkerut dalam keheningan, kami masih tetap tak menyapa, memilih diam dalam tanda tanya. Danau Tamblingan seperti menenggelamkan kami. Hanya Purnama yang mulai muncul memberi hangat pada hati, memberi terang pada kelam malam.
Tak pernah kumenyangka akan hadir beberapa orang yang tak kukenal dalam pertemuan ini.

“Purnama kapat, kita bertemu malam ini di Danau Tamblingan”
Begitulah pesan yang kuterima pagi ini.
Sebagai murid, aku tak akan pernah mempertanyakan lagi untuk apa pertemuan itu. Kewajibanku hanya datang saat diminta dan mengikuti perintahnya itupun saat aku memang ingin.

Kami berjejer berempat, hanya aku perempuan di deret itu, entah dari mana ketiga lelaki di deretanku berasal. Rambut mereka telah memutih sebagian, aku tidak bisa mengenali asal daerah mereka, karena tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, kami masih bisu dan berdiri menatap mata Paman Guru yang menggelung rambutnya keatas menunggunya membuka suara. Satu perempuan lebih muda dariku berdiri di hadapanku serjajar dengan Paman Guru.

“Anak-anakku, malam ini purnama kapat, aku ingin kalian meningkatkan semedi dan mengurangi nafsu duniawi sesaat. Menyebarlah kalian ke empat penjuru mata angin, berjalanlah menyusuri pantai dan beristirahatlah pada pura yang kalian temui. Lakukan brata makan hanya nasi putih , kacang dan sayur, jangan makan yang bernyawa. Makanlah saat matahari terbit, tengah hari dan sandhi kala, janganlah lebih dari tiga kepel. Purnama Kelima kita akan bertemu di Besakih”
Paman Guru kemudian memerciki kami tirtha. Satu persatu dipanggil dan mereka kemudian pergi. Aku adalah orang yang dipanggil terakhir.

“ Kemuning, apakah kau masih menyangkalNya? Sudah enam bulan kau tak pernah menyembahNya, menyangkal semua kekuatanNya, dan membenci diriku. Hari ini kau datang kembali memenuhi undanganku, apakah kau sudah lelah berlari?”
Aku tertunduk diam, tak menyahut sepatah katapun, mata Paman Guru seperti menguliti setiap fikiranku. Dia memintaku duduk, dan kami duduk berhadapan. Dulu kami selalu duduk seperti segitiga sama sisi, Paman Guru, Ayahku, dan Aku. Ayah sebagai teman seperjalanan Paman Guru kini tak bersama kami lagi, dan hanya Paman Guru yang terus melanjutkan membimbing murid-muridnya.
Langit makin kelam dan bintang nampak bersinar, wajah Paman Guru semakin nyata oleh terang rembulan, begitu pula wajah perempuan disampingnya. Perempuan muda itu kini membakar dupa dan menancapkannya ke pertiwi. Aku tak pernah bertemu dengannya sebelumnya, mungkin dia bergabung saat aku menghilang.

“ Anakku, aku tahu kesedihanmu yang begitu mendalam sejak kepergian Ayahmu. Bukankah aku sudah memberitahumu tiga bulan sebelum kepergiannya? agar kamu menyiapkan diri dan mampu melepas ikatan-ikatan bathinmu, hingga saat dia pergi kamu mampu tegar dan menghanghantarkan kepergiannya dengan doa ?”

“Paman Guru, aku tak mampu, aku tak kuat melepasnya, ikatan kami terlalu kuat dan dalam. Aku masih ingin bersamanya”

“Kamu tak pernah memilikinya, kamu tak punya apa-apa. Sekarang Ayahmu sudah bersih, kewajibanmu telah kamu jalankan, upacara pengabenan dan mendak nuntun sudah kamu laksanakan. Ayahmu sudah menjadi Hyang Guru. Namun, masih ada hal-hal yang belum sempat diselesaikan Ayahmu. Ada hutang janji yang dia tinggalkan. Aku tak akan memintamu menyusuri pesisir laut timur dan berhenti di tiap pura seperti yang aku perintahkan kepada ketiga teman seperjalananmu itu.”

“Jadi untuk apakah Paman Guru memintaku datang kemari?”

“ Aku sering mendatangimu melalui mimpi-mimpi, memberi isyarat-isyarat yang rupanya memang selalu kamu sangkal”

“ Maafkan aku Paman Guru aku memang tak ingin mempercayai lagi dengan apa yang sudah aku jalani selama ini. Kepergian Ayahku adalah sebuah isyarat nyata untukku, dia begitu taqwa, rajin bersemedi, taat melakukan tapa brata, dan berlatih yoga setiap hari. Namun apa yang aku dapatkan? Tuhan juga tetap mengambilnya. Jadi untuk apa aku melakukan semua ini Paman Guru? Jika pada akhirnya semua usaha menjadi sia-sia.”

“ Begitu dalam kekecewaanmu anakku, sehingga kamu lupa tentang apa intisari perjalananmu selama ini, kamu begitu sedih dan merana, apakah kamu pernah berfikir bahwa Ayahmu bahagia meninggalakn jasadnya? Tidakkah kamu sadar bahwa semua tapa brata yang dilakukannya adalah bertujuan untuk mempercepat jalan kepulangannya ke rumah asal? Rasa bahagia abadi yang dia tuju.”

“Aku tak percaya lagi pada semua ini Paman Guru”

“ Kamu memang tak akan bisa menerima dan percaya, aku hanya ingin mengingatkanmu, jika Ayahmu masih hingga saat ini, kamu akan selalu berada di bawah bayang-bayangnya, dan tidak akan pernah berjalan pada jalanmu. Misimu dan misi Ayahmu berbeda, juga denganku. Hanya waktu yang mempertemukan kita, saat ini kita berjalan di jalan yang sama, esok lusa kamu akan berjalan pada jalanmu sendiri, jalan yang akan kamu tempuh seorang diri. Sebelum kita berjalan lagi, ada satu hal yang ingin aku sampaikan. Ayahmu meninggalkan sebuah hutang janji, sudikah kamu membayarkan hal-hal yang masih belum terselesaikan oleh Ayahmu”

“ Demi cintaku padanya, akan aku laksanakan Paman Guru”

“Pergilah kamu sekarang kearah timur, Luh Manik akan menemani perjalananmu. Ngayahlah di Pura Watu klotok selama sebulan, nyapuh dan ngayahin Ida pemangku, Purnama Kelima kamu boleh menemuiku di Besakih, tapi jika tidak ingin menemuiku lagi, kau boleh memilih jalanmu. Apapun jalan yang kamu pilih nanti, yakinilah”

“Baiklah Paman Guru, saya akan menjalankannya”
Malam semakin pekat, dingin telah menusuk tulangku, aku menuntaskan perenunganku hingga subuh. Paman Guru telah pergi, dan hanya Luh Manik yang sedang berjongkok di sisi api unggun. Aku berjalan ke tepian danau, membasuh muka, aku tertegun sesaat melihat bayanganku sendiri yang terpantul, aku masih melihat kedukaan pada wajah itu yang kemudian bayanganku sirna oleh kelebat seekor ikan.
Luh Manik tak banyak bicara, dia sangat betah berdiam diri, sesekali memilin-milin rambutnya dengan mata yang selalu menerawang. Kami memulai perjalanan setelah 3 kepal nasi pertama kami lahap dengan sujud syukur. Hingga tengah hari akhirnya kami sampai di Pura Watu Klotok. Debur ombak yang bergemuruh menyambut kami, matahari begitu terik, dan kemilau air laut menyilaukan mata.
Seorang pemangku menyambut kami, dan memberikan segelas air putih.

“ Kamukah yang akan ngayah di pura ini?”

“Inggih, titiang”

Dia hanya tersenyum dan pergi untuk melayani umat yang sedang bersembahyang.
Jero mangku kembali membawa nasi putih dan kacang saur lungsuran. Kami membasuh muka, sembahyang dan kemudian nunas. Aku termenung lama, disinilah aku akan menghabiskan satu purnama bersama Luh Manik. Aku menatap daun waru yang terlepas dari ranting, satu demi satu berjatuhan, kemudian diterbangkan oleh angin dan saat sore menjelang aku menyapunya dan membakarnya. Begitulah aku menjalankan hariku setiap hari, menghayati waktu dan menyaksikan terlepasnya sehelai daun waru dari rantingnya. Sakitkah atau dia merasakan sukacita terlepas dari ikatan?

Aku mulai menghapal debur ombak yang memecah kesunyian, membenturkan diri pada batu, menyeret pasir kemudian bergumul meleburkan diri menjadi satu dan terhempas kembali. Seperti gemuruh hatiku yang bergumul dengan kedukaan. Di tempat inilah aku akan membayarkan hutang janji sang Ayah, tempat aku membuktikan dalamnya cintaku padanya, satu purnama pengabdianku padanya. Setiap malam aku berjalan menyusuri pantai, sesekali buih ombak menyapa kakiku dan pasir menghisapnya hingga mata kaki.

Kepada Baruna aku memohon ijin menyapa Ayah, pada abunya yang dititipkan kepada Ibu samudra. Adakah kau merindukanku? Atau hanya aku yang selalu sepihak merindukanmu? Apakah karena aku masih mempunyai wujud kepala menjadikanku yang kerapkali memikirkanmu, dan karena kau telah berwujud abu, kau abadi menjadi partikel terkecil? Tak ada lagi sisa rindu untukku.

Pada senja yang menjelang aku berjalan menyusuri pantai ini untuk memepertanyakan tentang dirimu, tentang ketidakadilan, tentang cintaku yang terlalu besar. Pada cintamulah aku bertumbuh bersama semua ingatan, pada derai waktu yang selalu kukenangkan, pada penyesalan bahwa kau tak pernah mengajarkan aku arti perpisahan.

Luh Manik, masih tetap tak banyak bicara, dia telah menjadi tukang sapuh terbaik. Namun pada malam yang pekat ini, dia berjalan mendekatiku.

“Mbok Kemuning, Hari ini malam Tilem, waktu tiang untuk menemani mbok tinggal lima belas hari lagi, Purnama kelima tiang akan kembali ke Besakih menemui Ajung Guru”

Aku tertegun, tak pernah menyangka perempuan muda berparas ayu bersih ini adalah anak dari Paman Guru. Dia memang pantas jika menjadi penerus Paman Guru, dua puluh tahun lagi dia akan menjadi wanita matang yang penuh kebijaksanaan dan kerendahan hati dalam laku. Dia masih sangat muda, namun telah mengabdikan diri untuk menjalankan semua ritual ini. Aku berfikir apakah Luh Manik mempunyai kecintaan yang sama kepada ayahnya seperti besarnya cintaku terhadap ayahku. Apakah jika diusia 27 tahun dia akan jauh lebih dewasa dan tegar menerima kepergian ayahnya. Entahlah, aku masih mempunyai sisa beberapa hari untuk membayarkan semua piutang Ayahku, yang akan aku lakukan dengan sebaik mungkin.

Aku duduk di tepian pantai bersama Luh Manik memandang surya yang tenggelam, ini adalah senja terakhir yang kita tatap di sini, esok adalah Purnama kelima.

“Luh Manik, Kau esok akan menemui Ayahmu pagi-pagi di Besakih?”

“Nggih mbok, Tiang akan berangkat subuh setelah matahari terbit”

“ Bagaimana dengan mbok kemuning sendiri”

“Maaf luh, mbok tidak bisa kembali ke Besakih, mbok akan melanjutkan jalan mbok sendiri. Sampaikan salam hormat mbok dengan Paman Guru”

“Baik, tiang sampaikan”

Matahari telah terbit di ufuk timur, aku menatap kepergian Luh Manik dengan kebaya putih untuk bertemu Paman Guru. Dan akupun menuju pantai, menyapa kembali abu Ayahku pada Ibu Samudra.

“Ibu Samudra, ijinkan aku bertemu ayahku, pertemukan kami, walau aku tak akan menemuinya dalam bentuk abu, tapi dalam wujud badan kasar, aku ingin bertemu dengannya dan menyampaiakan bahwa hutang janjinya telah aku lunasi. Kini biarkanlah aku bersamanya selamanya”

Debur ombak menggulungku, menyeretku dan aku tak merasakan apa-apa lagi, aku melihat Ayah yang tersenyum padaku membuka sebuah pintu besar bertahta emas.

Ubud, 11 Februari 2010
Kadek Purnami

Tuesday, May 18, 2010

Berhenti merasa memiliki sehingga tak kehilangan

Apa yang kita rasakan saat kedua ujung bibir tertarik melebar dengan mata terpicing, tersenyum bahagia, bahkan tebahak oleh hal yang membuat kita senang luar biasa?

Dan apa pula yang dirasakan saat mata nanar berusaha membendung air mata agar tak tumpah, dan bibir menjadi kelu dalam diam?

Dua rasa yang bertolak belakang: senang memiliki sesuatu, dan sedih saat kehilangan.

Memiliki dan kehilangan.

Apa sejatinya yang kita miliki?

Apa pula yang sebenarnya hilang dari kita?

Bukankah tak pernah ada yang kita miliki juga hilang?

Bahkan nafas dan nyawa kita sekalipun tak pernah kita miliki.

Mari berhenti merasa memiliki agar tak pernah merasa kehilangan.


Kadek purnami
Ubud, 18 mei 2010.

Thursday, May 13, 2010

Saat membenci kita kehilangan kesempatan mencintai

“ Aku begitu benci jika harus bangun pagi; akupun kehilangan kesempatan mencintai embun pagi dan kicau burung”

Bukalah mata dan hati, banyak hal indah pada setiap hal yang mungkin awalnya kita benci!


love,
Kadek purnami

Tak ada keberhasilan yang hanya disebabkanoleh diri sendiri.

Mungkin pernah suatu ketika kita merasa sangat bangga pada diri sendiri; baik itu keberhasilan akan sebuah prestasi atau kesuksesan dalam karier.

Kerapkali kita hidup dilingkupi rasa ego akan kebanggaan diri, sehingga lupa perjalanan panjang yg kita tempuh hingga pada akhirnya sampai berdiri pada posisi puncak.

Misalkan semua kebanggaan anda pada diri anda capai pasa usia 35 tahun, saat merasa mapan akan semua hal dalam hidup anda, baik itu pola fikir, prinsip hidup, materi dan keluarga.

Namun, pernahkah anda membayangkan bahwa 35 tahun yang anda lalui itu menghabiskan nyaris 12775 hari, dan 306600 jam! Bayangkan berapa orang yang pernah kita temui sepanjang perjalanan itu?

Saya ingin berbagi bersama anda tentang sekelumit hal yang ada dalam kepala saya. Pernah satu hari saya habiskan untuk berfikir dan membayangkan berapa orang yang sudah berperan dalam hidup saya sehingga saya menjadi seperti sekarang ini.
Orang-orang yang memahatkan sejarah dalam hidup saya dan hal ini pasti terjadi pada anda juga.

Dalam lingkup terkecil adalah keluarga dekat yang sudah pasti sangat berperan, sejak lahir hingga tumbuh kembang menjadi balita, saat kita berada pada titik nol pelajaran pertama untuk hidup. Bagaimana mereka membesarkan kita.
Saya kadang ingin tahu kata apa yang mampu saya ucapkan pertama kali, atau siapa yang menuntun saya saat pertama kali berdiri dan melangkah, bahkan saya ingin tahu apa yang mereka bisikkan pertama kali pada saya.

Bahkan saya ingin tahu siapa guru yang mengajari saya mengenal huruf, membaca dan menulis, siapa orang pertama yang saya anggap teman atau musuh, orang yang pertama saya cintai dan benci.

Terlalu banyak dan memang terlalu banyak orang yang berpapasan dalam perjalanan hidup kita, entah itu hanya sekedar lewat, berhenti dan bercakap hingga menorehkan makna yang dalam pada hidup kita.
Tak dapat dihitung!

Saya kembali berfikir, apa yang menyebabkan kita bertemu dengan orang-orang, ada yang membuat kita tertarik melanjutkan hubungan yang lebih jauh, ada juga yang tidak.
Sehingga, saya sangat menyadari bahwa tak pernah ada sebuah keberhasilan yan disebabkan oleh diri sendiri.

Walau saat anda berhasil anda memang berusaha keras dengan kemampuan diri untuk menjadi berhasil. Tapi jika orang-orang tidak memberikan kesempatan untuk anda, apakah anda bisa ada pada jalan itu?

Semua memberi andil pada sejarah hidup anda. Jadi pantaskah kita menjadi ego dan membanggakan diri sendiri?

Kadek Purnami
Ubud, 13 Mei 2010.

Friday, April 23, 2010

Sebuah perayaan musim 29 tahun hidupku...

Anak Alam brings joy to children of Blandingan
22 Apr 2010

I Wayan Juniartha
THE JAKARTA POST/KINTAMANI

It was arguably the most touching birthday party Kadek Purnami had ever had. She struggled to fight her tears back as she looked at a group of around 50 children sitting before her. The children were dressed in worn-out clothes and most of them apparently hadnt taken a bath for quite some time. Water is a precious commodity in that village and taking a bath regularly is a luxury most of the villagers cannot afford.

Standing next to Purnami was Pande Putu Setiawan, the founder of Anak Alam Community (www. anakalam.org). The children obviously adored this tall, dark-skinned young man. When Pande asked them about their day at school, the children answered spiritedly.

Pande turned to a little girl in the corner and asked her whether she would continue going to. school. The girl, who was carrying her kid brother on her waist, had just finished her elementary education. In an almosfc inaudible voice, the girls answered. "I want to enroll in the juniorhigh school, but I dont think it will be possible. My father will not allow me to [continue going to school]," she said as she tried to comfort her kid-brother.

At that point, Purnami couldnt hold her tears. She turned her face away in a vain attempt to hide the tears. Celebrating ones birthday is supposed to be joyful affair. Yet, this year the native of Padangtegal, Ubud, wanted to celebrate her 29th birthday in a different, more meaningful way. She asked her friends to donate books, foods and used clothes for Anak Alam Community. Purnami admires the works that Pande has done for the children through his Anak Alam Community.

"He is so passionate about helping the kids and I want to do my share," Purnami said. On a cloudy Saturday afternoon, "Purnami and his friends embarked on a trip from Ubud, that would eventually bring them face with face with the less celebrated reality of Bali, a reality comprises of poverty and suffering.

Upon reaching Kintamani, a tourist destination popular for its scenic view, they descended to Lake Batur, the giant caldera of a mighty volcano in ancient times. The villages surrounding the lake are populated by the descendants of proud warriors, whose rebellious nature was thesource of constant headaches for the occupying troops of the might Majapahit empire in the 14lh century.

The decent road ends in Songan, but their trip didnt end in that village, where Pande was born and his father is a well-known and well-respected public medical officer. The small group passed Songan, criss-crossed patches of cultivated land where the locals grow shallots and other seasonal plants, their primary source of income.

The road became narrower and steeper but Pande, standing on the open back of mini-truck, insisted that they must see the children. "I have told the children we will be here. It is very difficult to bring them together because most of the time they will be scattered outside the village, helping their parents Rnd the farm or collecting firewood," Pande said.

The group finally arrived at Blandingan, a small village perched on the northern rim of Lake Batur. Pande called Blandingan "one of the most underdeveloped villages in Batur", Brick houses are a rare sight, most of the houses have woven bamboo walls, dirt floors and thatched roofs.

"There are around 300 households in this village, most of them shallot farmers," an old man with untrimmed moustache and dirty clothes said, also the secretary to thevillage chief. The awaiting children gathered at the village hall and took turns performing before their guests. Some recited poems, a little girl sung a popular love song, others performed a play.

"They are talented, hard-working children. The main problem is they dont have access to education, the only thing that would enable them to break free from the bounds of poverty," Pande said. "There are around 3,000 children in villages spread along the rim of Lake Batur. So far, we have only managed to reach 200 children in Blandingan," he sighed.

Pande, who holds a master degree, has traveled abroad and pub-lished a literary trilogy, believes that bringing education to these children is the only way to give them a better future. One year ago he founded the Anak Alam Community, an organization of concerned individuals, who have put together various educational programs for the Blandingan children, from an English course to a photography workshop. Anak Alam now runs a small children library in Songan and is preparing to launch a computer course.

"All those programs were made possible by donations from generous individuals and institutions across the island. Several people have came here, spent two weeks with the children, teaching them the skills theyuse in their profession and in turn learning from the children about the various aspects of this beautiful place," Pande said.

Now, concerned young men in Sumbawa, Riau and Semarang have established their own Anak Alam Community. A thin curtain of mist descended upon Blandingan when the group prepared to leave. The children shouted and yelled when the car roared. In unison they screamed "I love you". Purnami silently waved at them. "This is the most meaningful birthday I have ever had. I will be back," she said. Photos by I Wayan Juniartha

Tuesday, April 13, 2010

Pada Sebungkus Nasi

Aku membukanya dengan rasa lapar, dan ingin segera menikmatinya. Bau masakan khas padang ini menyeruak menyergap hidungku. Sepotong daging rendang dengan bumbu yang pekat. Aku bersiap menyantap dengan lahap. Pada suapan pertama aku tertegun.
Kepada padi yang telah menjadi beras dan nasi, pada musim manakah dia telah tumbuh, dipetik hingga di panen. Berapa peluh petani telah jatuh berbulir-bulir pada pertiwi yang basah.Mungkin suaranya nyaris hilang serak saat mengusir burung yang ingin memakan bulir padinya.
Kepada sapi yang telah menjelma menjadi daging begitu gurih pada mulutku, berapakah usiamu saat disembelihnya? Seberapa besar ketakutanmu saat pisau penjagal menyayat urat nadimu? Rintihanmu tak sebanding dengan gurih dimulutku. Adakah kau hidup bahagia semasa hidupmu menjadi sapi?
Pada cabai, bumbu rempah, sayur dan semua yang melengkapi. Seberapa jauh perjalananmu yang telah kau tempuh hingga kau bersatu disini, adakah kau tumbuh dalam kekeringan dan dikelilingi hama wereng? Namun kau melewati, berjuang menjadi unggulan.
Adakah dia yang menjual nasi ini dalam keadaan bahagia membungkus untukku?
Pada semua mahluk yang telah berkorban pada sebungkus nasi ini. Padamu aku ucapkan terima kasih dan telah menjadikannya ada untuk aku bersantap siang.

Ubud, 12 April 2010
Kadek Purnami

Sunday, February 14, 2010

Valentine !

Sebagian orang begitu peduli dengan hari Valentine, sebuah hari yang sepakat diperingati sebagai hari cinta kasih.

Yup! selama 24 jam, bertabur rona merah muda, bahasa kasih sayang dan perlakuan romantis serta kado manis.

Kaum hawa begitu menikmati penghargaan ini, menjadi begitu berbunga.
Kaum adam pun tak kalah menikmati, kerapkali meminta yang paling berharga sebagai wujud pernyataan cinta.

Begitu meluap bagai air mendidih, mereka menanti dan menikmati.

Semua atas nama kasih sayang.
_______

Seorang ibu tua memungut kayu bakar di pegunungan, tak tau apa itu hari valentine. Yang dia tau adalah hari dimulai saat mentari terbit, bergegas memungut kayu bakar sebanyak mungkin untuk dijual, mendapat uang utk menghidupi anak.

Semua dia lakukan penuh cinta, yang dipersembahkan untuk orang terkasihnya.

Begitulah arti mencintai dengan penuh kasih baginya.

_______

Apapun yang anda lakukan saat hari valentine penuh kasih ini, lakukanlah dengan cinta.

Berikan cinta dan kasih sayang anda selagi sempat, selagi masih ada waktu.

Jangan pernah lupa, untuk menghargai diri anda terlebih dahulu. Karena jika anda tak tau bagaimana menghargai diri anda, anda tak akan mengerti bagaimana membahagiakan orang lain.

Selamat hari kasih sayang!

14 february 2010
D.purnami
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Friday, February 12, 2010

Perjalanan tanpa peta

Kami nampak seperti pasukan kecil dan tak saling kenal.
Hanya satu hal yang membuat kami bersama pada waktu yang sama.
Kami bersama-sama di bawah komando dan pemimpin yang sama.
Kami berdiri mematung
Terdiam seksama mendengar perintah-perintah yang tak jelas.
Dibagikannya sebuah ransel dengan perlengkapannya
Tiap orang dari kami diberikan satu teman yang tak pernah kami temui sebelumnya.
Kami berempat terdiam, tak kenal tak menyapa mencoba mencerna perintah.

Air suci penuh sugesti diperciki, tanda sebuah pemberkatan.
Dilepaslah kami tanpa petunjuk jelas, tanpa peta.
Hanya satu pesan
“Berjalanlah, kita akan bertemu dan berkumpul lagi pada suatu hari”
Tak ada petunjuk kami harus berjalan kemana, dan akan bertemu kapan.

Aku pergi didampingi seorang teman yang begitu pasif.
Tak pernah bicara jika tak ditanya,
tak pernah member pertimbangan walau begitu diperlukan.
Selalu berkata
“Maaf, Tugas saya hanya menemani”
Berjalanlah aku kearah yang tak aku tahu pasti, tanpa petunjuk, tanpa peta.
Sebuah perjalanan dimulai, dengan keyakinan kita akan bertemu pada suatu hari nanti.

11 Februari 2010.
Terima kasih untuk pertandanya.

Thursday, February 11, 2010

Penutur yg tertinggal

Rambutnya kian memutih
Kerut kedukaan tegaris jelas pada dahinya.

Mungkin hatinya telah sesak oleh kisah hidupnya.
Hanya ingatan kuat yang dibanggakannya,
Hal yang mampu mengenangkan perjalanannya.

Dia seorang yang tersisa dari sebuah garis keturunan.
Ayah, ibu, kakak dan adiknya semua telah dipujanya sebagai leluhur.

Dia merasa tak cukup adil kenapa dia menjadi yang terakhir. Bersama sisa keluarga yang diturunkan.

Dia merasa dihianati dan ditinggal.
Dengan mata yang basah dia bertutur tentang waktu yang dikenangkannya selalu.

Memang ada yang harus ditinggal untuk mengenang.

Begitulah penutur tua yang tertinggal, tak menikmati hari ini, namun menghabiskan waktu mengenangkan masa lampaunya.

Ambi-ambilah aku,
Agar dapat berkumpul dengan mereka.

Begitulah doanya setiap saat.

Ubud 11 februari 2010
Untuk pamanku.

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Mengenangmu

Relung ini masih saja kosong
Seperti luka menganga
Yang tak ingat untuk merekat lagi.

Kini akupun terbiasa dengan kekosongan ini,
Tak lagi aku mengejar tuk mengisinya.

Biarlah aku mengingatnya selalu.

Hanya sedikit rintihan pilu
Bertalu talu dalam sepi.

semakin aku sadar
Terlalu besar aku mencintaimu
Tak berkurang sedikitpun
Walau waktu semakin menyamarkan ingatan lampau.

Kubiarkan kaki melangkah menyusuri sudut-sudut kenangan dirumah ini.
Tempatku bertumbuh,
Mengenal arti cinta dan kasih sayang.

Aku selalu mengenangmu penuh cinta.
11 Februari 2010
D.purnami
Untuk ayahanda.


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Wednesday, February 10, 2010

Senja

Apa yang dinantikan burung jika bukan senja
Petunjuk baginya untuk kembali menyapa pohon yang memberinya teduh.

D.purnami
10 february 2010
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Friday, January 29, 2010

Waktu

Semua berubah oleh waktu
Cinta yang bertumbuh makin besar.
Pula cinta yang sirna.

Dulu, sekarang dan kini begitu waktu disebutnya.

Gigil merasakan ketakutan akan waktu yg semakin berkurang.
Berhitung dikurangi detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun.

Hingga hitungan tiba pada kulit keriput, ingatan pudar, kaki gemetar yang tak mampu melangkah.

Hanya tersisa nafas satu satu yg makin berat.

Maka pada waktu pun kujanjikan akhir nafas yang akan menunjukkan waktu kita senyatanya habis.

Tubuh kembali pada tanah.
Jiwa kembali pada sejatinya cinta.

Pada waktu itulah, kita dijanjikan kekelan cinta yang satu.

Kita akan bahagia.

D.purnami
29 januari 2010
Purnama
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Saturday, January 16, 2010

Ruang kita

Kini aku tahu kenapa kau selalu berlari keruangan kecil dipojok studio mu itu.

Ruangan yg tak lebih dari 1, 5 X 2 meter.
Tempat kau bersembunyi kala luka, sedih, kecewa, maupun haru.

Ruang yang kedap suara, yang tak kan memperdengarkan jeritanmu, isakmu ataupun amarahmu.

Ruangan yang kau ciptakan sendiri, kau isi dengan semua keluh kesah hatimu, yang kemudian kau tinggal kosong.

Ruang yang kini hampa tanpa sisa, hanya lelehan lilin yang tak juga mampu terangi hatimu yg sering luka.

Ruang yang kau tinggal, yang kini aku kunjungi.

Aku merasa senang diruang sempit ini.
Aku pun melakukan hal yang sama.

Aku berlari kesana dan tertawa saat aku tak mampu mengangkat tangan kiriku dengan baik, menampar pipi sendiri yang tak hentinya kebas. Tak akan keluar satu patah kata kesakitan diruang itu.

Ruang kita,
Tempat merintih sendiri, terpuruk di sudut mati diterangi sebatang lilin yg semakin meleleh dan mati oleh tetes air mata.
Tempat kau memohon kematian yang dipercepat.

Kini aku paham kenapa kau tak mau berjuang dan memilih pergi.

Maafkan aku yang sempat mencacimu sebagai pecundang kalah yang tak berani berjuang, karena akupun tak berbeda nemilih jalan sepertimu.

jika kau melihatku sekarang,
Tunggu aku, kita akan bersulang untuk sebatang lilin yang meleleh.


Ubud,16 Januari 2010.
D.purnami

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Sunday, January 10, 2010

Melepas senja

Melepas senja dengan hati yang hangat,
Burung pulang pada pohon yang memberinya rumah.
Langit menggelamkan diri dari jingga.
Semilir angin, sapukan daun kering, berpindah ringan.

Lelah disambut hangat oleh mereka yang punya naungan jiwa
Bagi yang tidak, gigil sunyi akan menjadi sahabat setia.

Malam datang menggantikan waktu yang begitu haru.

Aku duduk memandang langit.

D.purnami
10 januari 2010
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT