Wednesday, June 2, 2010

Amarah - sebuah cerpen kadek purnami -terbit di Bali Post 31 Mei 2010

Ada amarah serupa bongkahan batu besar di dalam hatiku, kubenamkan dalam-dalam pada pertiwi, karena kuyakin ibu memiliki hati yang lapang tuk menjadikannya debu.
Aku terdiam saat Badra mendatangiku bersama seorang perempuan muda, nampan yang penuh berisikan sesaji kuletakkan, dupa yang menyala kumatikan. Aku menghampiri dengan jantung yang berdegup kencang, dan kaki yang lunglai, namun aku merasa kuat dan tak terkalahkan.

Perempuan itu duduk disamping Badra begitu dekat, tangannya tak lepas dari kain yang dikenakan Badra, ada kecemasan dan ketakutan bersemburat di wajahnya yang putih pucat. Perempuan yang lebih tinggi dari aku, lebih langsing, lebih putih, berparas lebih cantik dan ayu, dan sepuluh tahun lebih muda dariku.

Aku duduk dengan tenang, setidaknya aku tak memperlihatkan raut amarah atau luka. Dan mulutku masih terkunci. Saat ini bukan aku yang berkepentingan berbicara, tapi Badra yang merasa penting, sehingga merasa perlu untuk pulang setelah nyaris tiga bulan tak menginjakkan kaki di rumahnya sendiri.

“Mirah, aku akan menikah”

Kini aku mendengar dengan telinga sendiri dari mulut suamiku sendiri. Semua kabar yang selama ini tersebar di tetangga, di seluruh kampung, desas desus keinginan Badra menikahi perempuan yang lebih muda dariku sudah jelas benar adanya. Kini aku meihat sendiri perempuan itu terduduk disebelah suamiku. Aku merasakan jantungku berdegup semakin kencang, namun aku sangat yakin raut mukaku tidak menunjukkan perubahan apapun. Aku tak memberi ijin dan tak juga melarangnya

“ Ambilah semua barangmu yang masih tertinggal. Biar aku yang merawat kedua anak kita dan ibu”

Aku beranjak meninggalkan Badra yang masih terduduk, aku menyalakan dupa, wangi cendanapun tak mampu beri aku tenang. Senja sedang memancarkan semburat merah, jantungku masih bergetar menahan pedih, kuambil air dan membasuh muka siap menyapa Hyang Widhi dan menghaturkan sesaji.

Terdengar bantingan gelas ke dinding, dan teriakan yang berisi isak tangis. Kata-kata makian kasar keluar dari mulut ibu mertuaku untuk anaknya. Aku hanya berharap dia tidak mengutuk anak semata wayangnya. Disela isakan tangis yang penuh amarah dia menyebut nama suaminya, sang almarhum yang juga meninggalkannya dulu bersama Badra untuk menikah dengan perempuan lain.

“Badra!! Kamu telah mewarisi seluruh sifat ayahmu!! Dulu Ayahmu meninggalkan ibu beserta kamu demi perempuan lain, dan kini kamu pun seperti itu meninggalkan istri dan anak-anakmu. Pergi kamu dari rumah ini, ibu tak memiliki anak sepertimu”

Sekali lagi dilemparnya Badra dengan piring meninggalkan suara gaduh yang pecah. Aku meneruskan ritual sesajiku, tanpa turut campur dalam amarah ibu. Suara gaduh belum berhenti, entah apa lagi yang dilemparkan ibu. Aku membayangkan perempuan yang digandeng Badra, mungkin dia telah sembunyi di balik punggung Badra dengan muka yang semakin pucat pasi. Semoga dengan kegaduhan yang tercipta itu Badra tak akan berlama-lama dirumah ini.

Badra meninggalkan perempuannya di teras depan. Aku melihatnya memasuki kamar kami, dadaku berdesir hangat, kamar yang tak pernah aku rubah sedikitpun posisi barangnya semenjak kepergiannya. Ranjang bersepreikan putih dingin, foto pernikahan kami lima belas tahun lalu masih tetap tergantung di dinding kamar, bunga kering yang dia berikan saat hari pernikahan kami tiga tahun lalu masih tersimpan disisi tempat tidurku, lemari yang menyimpan baju-bajunya masih rapi dan bersih. Setiap hari kujaga kamar itu agar tetap tertinggal kenangan kami, aroma yang kami suka. Adakah dia terkenang akan masa indah yang pernah kami lalui saat dia memasuki kamar itu lagi, atau dia telah mampu lupakan semua itu. Saat Badra membuka lemari bajunya, pasti akan menemukan fotoku di pintu lemari, apakah dia akan ingat tentang permintaannya dulu.

“Mirah, mana foto tercantikmu, tempellah di dinding lemari pakaianku, agar jika aku berpakaian selalu tampil ganteng untukmu, agar kau selalu bangga denganku”
Begitulah dia memintaku diawal pernikahan kami. Aku begitu menjaga penampilan Badra, parfum beraroma musk selalu tercium dari tubuhnya, aroma yang kami sukai bersama. Setiap helai pakaian yang penuh sejarah yang kusiapkan penuh cinta. Banyak yang memujinya setelah menikah, dia nampak semakin elegan. Dan saat dia dipuji oeh temannya dia akan berkata

“Aku menjadi seperti ini, karena ada istriku” sembari merangkulku di depan teman-temannya.
Tiada kebanggaan yang menandingi saat-saat seperti itu, pada sebuah masa dia begitu menyanjung dan menghargaiku.

Badra mengambil baju dan semua barangnya kurang dari setengah jam, memasukkan ke dalam tas. Ibu mengeluarkan kata makian yang semakin kasar. Kulirik perempuan muda itu nampak begitu cemas dan sesekali menengok kedalam menanti Badra keluar dari kamar kami. Aku bersyukur anak kami sedang tidak dirumah sehingga tidak menyaksikan semua kejadian ini.

Aku tak beranjak sedikitpun dari sanggah, kulihat Badra menenteng tas dan bergegas berjalan menggandeng tangan perempuan itu dengan cepat, sebelum lemparan tongkat ibunya mengenai punggungnya.

Badra menatap mataku sekilas, aku masih diam tak bergeming hingga suara deru mobil terdengar menjauh. Jantungku berdegup tak beraturan, kaki kurasakan lemas dan air mataku tumpah. Aku terisak sendiri , merintih tanpa terdengar oleh siapapun.

“ Hyang Widhi apa gunaku memujamu setiap hari, derita baru saja kau tunjukkan padaku, mungkin Kau memang tak campur tangan dalam urusan seperti ini”
Isak tangis kucoba hentikan, saat aku mendengar ibu mertuaku menjerit memanggil namaku dengan lantang.

“Mirah, jangan kau biarkan Badra menginjakkan kaki dirumah ini lagi”

“Ibu, dia berhak pulang kapanpun, dia adalah anak ibu”

“Aku tak memiliki anak seperti dia, jangan kau berikan anak-anakmu makan dari uang pemberian dia, warisanku tak akan habis buat cucuku”

“Bu, Badra tetap ayah dari anak-anak saya bu”

“Aku akan menjual rumah ini, mungkin tanah ini telah dikutuk bagi semua lelaki yang ada di tanah in, aku tak mau cucu lelakiku seperti kakek dan ayahnya. Kita akan pindah ke desa lain”

Tak pernah kusangka ibu mertuaku akan semarah itu terhadap anaknya hingga mengambil keputusan menjual tanah warisan ini. Aku tak pernah mengenal mertua lelakiku. Konon katanya mertua lelakiku telah meninggal saat Badra berusia 13 tahun, sejak saat itu Ibu mertuaku membesarkan anaknya sendiri dan tinggal berdua dirumah ini. Tanah ini adalah tanah warisan dari orang tua ibu mertuaku, Ayah Badra ikut dengan keluarga perempuan, namun sejak Badra berusia 10 tahun Ayahnya telah meninggalkannya dengan perempuan lain. Aku yakin ibu mertuaku mempunyai trauma yang dalam terhadap suaminya, ketika melihat anaknya seperti suaminya.

Saat ini Ibu mertuaku telah berusia 55 tahun namun masih cukup kuat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Dia sangat menyayangiku dan menganggap aku sebagai anak sendiri.

“Mirah anakku, jika nanti rumah ini sudah terjual, kita akan membeli rumah baru yang cukup jauh dari desa ini, nanti rumah itu akan kuberikan atas namamu.”

Aku kembali kekamar melihat lemari Badra yang masih terbuka, tak sehelai bajupun ditinggalkannya, bahkan untuk kudekap saat aku gigil merindu dirinya. Parfum musk ditinggalkan olehnya serta foto diriku di pintu lemari. Hatiku semakin kosong dan hampa, sudah tak mungkin lagi Badra akan kembali kepelukanku, dia telah memilih jalan baru dalam hidupnya. Kami tak bercerai secara resmi, namun aku telah menekankan pada anak-anakku bahwa ayahnya telah membentuk keluarga baru.

Foto pernikahan kami yang di dinding tak aku turunkan, masih tetap kubiarkan menggantung seperti sediakala, aku masih tetap berharap Badra akan kembali suatu hari nanti mengecap rasa bahagia bersama. Aku tak menyalahkan Badra sepenuhnya menikah dengan perempuan yang lebih muda, salahku juga menjadikan Badra seorang lelaki yang menarik.

Aku teringat bagaimana kami menempa diri bersama, dan membimbingnya menjadi lelaki yang dewasa dan matang. Badra memang lebih muda dariku 5 tahun. Perusahaan yang kubangun telah kupercayakan padanya. Sakit yang sering menderaku menjadikan hubungan kami semakin renggang ditambah dengan kesibukan Badra yang semakin padat di kantor, mungkin perempuan muda telah memikat hatinya dan memberikan yang tak mampu kuberikan lagi.

Aku tak begitu dendam padanya, kutelan semua sakit dan derita ini, karena cintaku yang begitu besar terhadapnya.
Nyaris enam bulan rumah kami belum juga laku terjual, Badra juga sudah tak pernah datang lagi kerumah ini. Hingga pada sebuah sore saat aku minum teh bersama ibu dia datang sendiri. Dia bermaksud untuk meminta uang kepada ibunya.

“Pongah sekali kamu datang kerumah meminta uang pada ibumu yang sudah renta ini, apakah kekayaanmu telah habis digerus oleh perempuan muda itu?”

“Bu, perusahaanku mengalami kebangkrutan, bukan di kuras oleh istriku”

“Ah, lancang sekali kau menyebut dia istrimu di depan istri sah mu yang telah berkorban banyak padamu dan memberikan seluruh hidupnya untukmu”

“Sudahlah bu, tak perlu mengungkit hal yang sudah lewat, aku sudah tak mencintai Mirah lagi, aku mencintai istri baruku”

Hatiku seperti teriris mendengar perkataan Badra, sudah tidak ada lagi cinta untukku. Dia tak mencintaiku lagi, hanya aku yang terus menyimpan cintanya, berharap suatu hari nanti dia akan pulang kembali dan kami berkumpul bersama, hanya aku sendiri yang masih tinggal dengan cinta yang penuh, dengan harapanku.

Aku duduk mematung disamping Badra, dia menatap lurus ke teras. Ibu mertuaku menghela nafas dan beranjak ke dapur, kudengar suara gelas beradu dengan sendok. Mungkin dia tersadar tak bisa lagi memaksakan cinta anaknya untukku. Sadar bahwa anaknya telah memilih perempuan lain yang (mampu) membahagiakannya. Dia tak mengamuk seperti saat Badra datang berpamitan untuk menikah, tak ada amarah lagi yang keluar dari mulutnya setelah dengan jelas Badra menjelaskan bahwa dia tak mencintaiku lagi.

Ibu datang dengan segelas teh panas dari dapur,dia menyodorkan teh itu kepada anaknya. Anak dan ibu kini nampak melunak, Badra menyeruput teh buatan ibunya. Sedangkan hatiku begitu perih. Aku mmeninggalkan mereka berdua dan masuk kekamarku, menurunkan foto pernikahan kami yang tergantung di dinding lalu membakarnya bersama bunga kering. Biarlah cintaku hangus bersama kenyataan yan telah kudengar dari mulut Badra. Rumah ini harus segera terjual dan kami pergi dari desa ini.

Badra telah pulang tanpa sepeser uangpun dari ibunya. Malam terasa begitu dingin oleh hujan gerimis yang turun sedari petang. Aku akan tidur untuk terakhir kalinya di kamar kami yang penuh kenangan. Lolongan anjing membuatku merinding, hujan turun semakin deras membuatku terlelap. Aku bermimpi tentang Badra, aku melihat dia datang dengan wajah kuyu dan pakaian lusuh.

“Mirah maafkan aku”

Aku terbangun oleh suara seorang perempuan yang memanggil-manggil di depan pintu rumah, aku bergegas bangun dengan dada yang berdegup kencang, dan hati yang miris oleh mimpiku, kenapa aku memimpikan Badra dan dia meminta maaf. Aku membuka pintu rumah dengan wajah yang kaget, melihat perempuan muda itu datang dengan panik dan tangis. Dia berbicara tersendat diiringi isak tangis.

“Badra meninggal”

Aku terdiam mematung, membiarkan air mataku meleleh. Dan kuminta perempuan muda itu membawa jasad Badra kembali kerumah kami. Ibu mertuaku terbangun dan menghampiriku memelukku tanpa kecemasan sedikitpun.

“Kapan jasad Badra akan dibawa pulang kerumah ini anakku?”

“Ibu sudah tahu, kalau Badra meninggal?”

“Aku yang telah membuatkannya teh sore tadi”


Ubud, 25 Maret 2010