Friday, November 23, 2007

Sasih Kanem

Tahun 2007 ini hari kajeng kliwon sasih kanem (bulan keenam) jatuh pada 19 November, Menurut orang Hindu Bali, bulan ini menjadi hari yang keramat. Biasanya banyak sekali cerita mistis mulai merebak, semerbak wangi kemenyan dan kenanga..hi..hi.hi..

Apakah memang benar sekeramat itu sasih kanem?

Entah mitos atau memang benar seperti itu, namun sejak kecil saya memang sudah dicekoki informasi oleh para tetua tentang betapa keramat dan seramnya jika sasih kanem tiba. Cerita yang muncul beraneka ragam dan selalu berisikan intrik-intrik seram dan keramat, membuat merinding dan nyali menciut. Dulu, diceritakan banyak orang meninggal pada sasih kanem, tak hanya itu, kita juga sering diharuskan untuk tidur di bawah beralaskan tikar agar tak diambil oleh Ratu Bagus Gede Mecaling sebagai tumbal. Para tetua juga sering bilang kalau setiap sasih kanem dilangit kelam sering muncul sinar-sinar yang berkelebat yang merupakan peperangan antara para leak unjuk kesaktian.

Sebenarnya apakah memang seperti itu? Sayapun tak tau pasti. Namun hari ini saya tergerak untuk mengkait-kaitkan beberapa kejadian saja. Sasih kanem sering jatuh antara bulan November dan Desember yang dikenal sebagai musim penghujan, namun tak sepenuhnya hujan turun, cuaca terkadang panas terik dan tiba-tiba berubah hujan, angin kencang, petir ikut menyambar. Tak dielakkan beberapa daerah seperti Ketewel, Sukawati dan Denpasar tersapu angin puting beliung. Cuaca yang sangat tidak bersahabat atau musim pancaroba ini seringkali membuat penurunan kondisi fisik. Penyakit flu dan demam dengan mudah menyerang, keadaan diperparah dengan banyaknya lalat yang bertebangan kesana kemari menebar berbagai penyakit, alhasil kita menjadi diare. Jika memang watak sasih kanem seperti itu setiap tahunnya, kemungkinan dulu saat dikatakan banyak orang meninggal saat sasih kanem sebenarnya karena daya tahan tubuh yang lemah, sakit tanpa diobati dan kemudian meninggal.

Atau mitos lainnya lagi, konon kita sering diminta tidur di lantai beralaskan tikar saja agar kita tidak dijadikan tumbal oleh Ratu Bagus Gede Macaling, mungkin hal ini dikarenakan watak sasih kanem yang dipengaruhi oleh sasih katiga yang bersifat panas, sehingga setiap malam kita sering merasa gerah dan panas yang menyebabakan sulit tidur sehingga orang-orang merasa lebih sejuk tidur di lantai daripada diatas kasur, bukan seperti mitos yang dikatakan karena Ratu Bagus Gede Mecaling akan mengambil orang-orang yang tidur diatas kasur dan dijadikan tumbal, namun karena memang lebih sejuk tidur di lantai.

Tak ketinggalan cerita seram lainnya yang mengatakan tiap malam menjelang sasih kanem banyak ada sinar berkelebat dan itu adalah para leak yang sedang berperang mengadu kesaktian mereka, tapi jika dilihat dalam 2 hari belakangan ini saya memang sering bergadang untuk menyaksikan sinar yang berkelebat di langit kelam namun bukan untuk menyaksikan leak yang sedang berperang tapi menyaksikan serpihan meteorit yang bejatuhan mungkin sebenarnya para tertua kita dulu sebenarnya sedang menyaksikan bintang jatuh yang sering terjadi sekitar bulan November dan bukanlah leak yang sedang berperang.

Entahlah apakah itu benar atau mitos, saya juga tak tau pasti. Hanya satu yang pasti yang saya rasakan ketika memasuki awal sasih kanem, saya sangat disibukkan untuk melakukan ritual upacara.

Sebagai perempuan Bali yang tinggal di desa, masih sangat kental sekali ritual adat dan keagaamannya. Satu hari tersita untuk melakukan ritual. Ketika pagi menyongsong, saya awali untuk melakukan upacara kajeng kliwon dirumah sendiri, berkeliling rumah nyaris lebih dari tiga putaran, jongkok bangun menghaturkan segehan cukup membuat saya bercucuran keringat seperti aerobik. Mata perih karena asap dupa dan bau arak yang menyengat untuk sang bhuta kala. Dengan sarana itu diharapkan dapat menetralisir dan menjauhkan segala energi negatif yang ada dilingkungan rumah dan di dalam diri kita. Memang benar terbukti, energi negatif dari diri sayapun hilang, saya jadi tidak sempat marah atau berfikir yang tidak baik karena harus fokus pada ritual berikutnya dan fisik saya cukup kelelahan sehingga tak sempat menebarkan energi negatif dan memilih untuk minum kopi. (Berhasil kan ritualnya? J)

Siang hari di panas terik ritual dilanjutkan menuju pura di khayangan tiga yakni pura Desa, Puseh dan Dalem. Saya harus menjunjung 2 wadah banten yang cukup besar diatas kepala, cukup membuat leher terasa kaku. Bagaiaman tidak, banten itu berisikan beras, telur, kelapa, buah-buahan yang lebih dari 5 kilo yang dipersembahkan kembali kepada Ibu pertiwi, bumi tempat kita berpijak. Ritual upacara sebagai ungkapan terima kasih atas karunianya agar umat manusai selalu diberi keselamatan, dijauhkan dari mara bahaya, dan manusia disadarkan untuk menjaga keseimbangan alam agar tak murka. Walau keringat mengucur tak menghalangi ketulusan saya mempersembahkan dan menghaturkan bhakti kehahadapNya dalam bait doa yang tak henti saya panjatkan. Prosesi acara berlangsung hingga matahari tenggelam, setelah itu kembali kerumah untuk menghaturkan pecaruan di depan rumah untuk dipersembahakan kepada sang bhuta kala agar tak masuk kerumah.

Petang berganti malam, para sesuhunan-Ida Bhatara ( manifestasi Tuhan dalam bentuk Barong dan Rangda yang disakralakan ) tedun Ngunya - diusung berkeliling mengitari desa diikuti oleh seluruh warga untuk memberikan pemberkatan. Dentingan genta, semarak bunyi gamelan membuat hati riang, nyaring suara kidung membawa angan terbang menemui sang pencipta, semerbak wangi dupa menusuk sukma. Warga Desa dengan khusuk mengikuti, berjalan beriringan dalam doa mohon keselamatan untuk diri, keluarga, lingkungan dan alam semesta. Mohon kedamaian di jiwa, di dunia dan alam semesta.

Sesuhunan di usung melewati jalan dan gang kecil, menjadi tontonan yang menarik bagi para bule yang sedang duduk makan malam direstoran, bahkan lebih menarik dari makanan yang mereka pesan. Pada setiap persimpangan, sesuhunan berhenti sekitar 20 menit, dihaturkan pecaruan dengan ritual pemotongan ayam. entah berapa ekor Ayam yang mati pada hari itu di Bali untuk sebuah pelengkap upacara ritual, perlu kita ingat ayampun berperan untuk keselamatan semesta. Kemacetan yang begitu panjang tak terhindarkan, seluruh warga duduk sepanjang jalan.

Malam kian larut, posesi belum berakhir, kaki sudah mulai lelah, mata mengantuk dan perut keroncongan. Fikiran mulai tidak fokus dan bercabang, banyak godaan datang yang mengganggu bhakti saya. Ada satu hal berkelebat dalam benak saya ketika saya duduk di trotoar jalan menunggu pemangku menyelesaikan bait matranya. Kenapa sesuhunan desa kita bertandang ke desa sebelah (sebut saja desa T ) Tanya saya pada seorang tertua yang duduk disebelah saya, dijawabnya konon, bahan kayu dari sesuhunan di desa T tersebut diambil dari hutan kera di desa saya, sehingga secara otomatis sesuhunan tersebut memiliki kekerabatan persaudaraan. Benarkah seperti itu? Terus bagaimana dengan sesuhunan di desa tetangga lainnya sebut saja desa P yang juga kayunya diambil dari hutan kera? Seingat saya beberapa tahun yang lalu kami juga mengunjungi desa tersebut, namun kali ini tidak. Apakah karena wilayah yang harus dikunjungi terlalu jauh dan memakan waktu lama hingga subuh menjelang untuk ngunya? Tertua disebelah saya tak menyahut, sayapun diam. Kembali saya berfikir sendiri sembari mengusir rasa kantuk, teringat kejadian beberapa bulan sebelum sasih kanem tiba, ketika desa saya bersitegang dengan desa P mengenai urusan tapal batas desa yang hingga hari ini belum terselesaikan. Walau sekian kali terjadi pertemuan rahasia antara bapak bupati dan perwakilan pengurus desa tetap tidak ada titik temu. Hari ini sesuhunan tidak memberi pemberkatan ke wilayah desa P. Kenapa sesuhunan menjadi ikut terlibat dalam permasalahan ini? Sekala dan nisakala menjadi tanpa batas. Sebenarnya siapakah yang menentukan sesusuhan tersebut memberi pemberkatan ke desa tetangga? Apakah para pengurus mendapat pawisik dari sesuhunan atau para pengurus desa sendiri yang memutuskan?

Beberapa tahun belakangan ini nampaknya ada trend baru juga di bidang spiritual. Sesuhunan saling mengunjungi antara desa satu dengan desa lainnya. Tujuannya sangat mulia, memberikan pemberkatan untuk warga agar kita semua diberi keselamatan, rukun saling asah, asih dan asuh, mengingatkan bahwa kita semua adalah saudara, menatap matahari yang sama dan berpijak pada bumi yang sama. Tapi terkadang seperti ada kepala di balik udeng. Sesuhunan sepertinya dijadikan alat politik kekuasaan oleh para pengurus desa untuk menunjukkan kuasanya atas territorial wilayah tertentu. Semakin besar wilayah yang dituju semakin banyak memiliki massa. Kenapa sesuhunan dilibatkan dalam urusan ego manusia dan politik kekuasaan? Kenapa semua menjadi tiada batas dan bercampur aduk? Seperti fenomena persiapan pilkada saja, calon bupati AS ngayah menari kepura-pura yang bukan khayangan tiganya. Tak kalah juga dengan bupati B, walaupun tak bisa menari namun dia sangat rajin mebakti ke pura manapun, yang bukan pura khayangan tiganya juga. Mebakti dan menarikan sesuhunan pura khayangan tiga orang lain berarti pula mengambil hati warga yang menyungsung sesuhunan di pura tersebut. Fenomena sasih kanem yang memang aneh dan gerah.

Kaki saya sudah lelah sekali berkeliling, perut terasa keroncongan, dan tenggorakan terasa kering. Fikiran tidak bisa fokus kembali dalam bait doa-doa. Fikiran lain tersbersit kembali, bagaimana jika ternyata seluruh sesuhanan di Bali berkerabat, berarti setiap sasih kanem seluruh warga Bali akan berjalan berkeliling Bali ngunya ngiring ida betara, dapat dibayangkan betapa panjang deretan pengiringnya, angklung dari berbagai daerah mengiringi seperti festival PKB, butuh beberapa hari untuk berjalan, dan betapa macet seluruh jalan di Bali. Apakah akan ada kebijakan daerah libur 3 hari untuk menyambut sasih kanem? Seperti halnya tajen yang diusulkan untuk dibuyatkan perda?

Entahlah…

Mungkin tadi saya sempat tertidur sehingga saya mimpi buruk seperti diatas.

Saya butuh seteguk air, sesuap nasi dan istirahat

Bait matra telah diselesaikan oleh pemangku.

Sasih Kanem,

Mohon kami diselamatkan dari ego manusia yang semakin menjadi-jadi

Lindungi kami dari mara bahaya yang sejatinya diciptakan manusia

Jauhkan kami dari perang antar saudara

Manusialah bhuta kala itu

Manusialah Ida Ratu Bagus Gede Mecaling yang menjadikan saudara sendiri sebagai tumbal.

Sasih Kanem,

Selamatkan kami.

*** d.purnami

20 November 2007