Wednesday, September 9, 2009

Aku dan jejak-jejak

Aku dan jejak-jejak.

Kau tinggalkan begitu banyak jejak dalam hidupku.

Dan aku adalah manusia yang hidup dengan ingatan.

Malam ini aku tak ingin tidur apalagi memimpikanmu. Aku ingin menghabiskan malam ini dengan mengenang jejak-jejak kita bersama sisa-sisa keberanianku.

-----

Pada sebuah batu lempeng besar ditengah sungai,
dulu kau pernah mengajaku duduk sembari merendam kaki.

Kau memulai kisah tentang para dewa yang tak mendapat stana yang bertahta emas.

Kau bilang pada batu lempeng besar inilah para dewa itu berstana. Kau memintaku menaruh sepasang canangsari untuk pijakan para dewa setelah merendam kakinya.

Kini aku kembali menyusuri sungai itu, duduk di batu lempeng besar dan menaruh canangsari berisikan sekar kamboja, agar saat kau sesekali menyusuri sungai ini kembali dan ingin merendam kakimu, telah kusiapkan pijakan untukmu, agar wangi kamboja balur kakimu saat kau kembali ke stanamu yang bertahta emas.

-----

Pada sebuah danau,
kau juga tinggalkan kisah.

Pernah kau ajak aku duduk juga sambil merendam kakimu, sesekali ikan mujair melintasi kakimu. Kita bercakap sambil mereka-reka dalamnya danau ini dan jauhnya tepian danau.
Kau berkata padaku sambil menyulut rokokmu.
' Nak, tahukah kau kenapa ikan mujair itu selalu melintasi kaki kita?'
Akupun menggeleng.
' Ikan itu bilang 'halo' padamu, lihatlah mulutnya selalu membentuk huruf O'

Leluconmu itu sebenarnya tak lucu, tapi kau selalu membuatku tertawa.

Setelah puas kau merendam kaki, kau menunjuk sebuah bale diatas berbukitan.
'Nak, jarak bale itu dari sini sekitar tiga kilo, dan kita akan kesana'

Kau bangkit dan mulai berjalan menyusuri jalan setapak, tak hentinya kau bercakap tentang pohon tua.

Kepalakupun terantuk batang pohon, kau berhenti sesaat dan melihat sekeliling. Kau tersadar bahwa kita tersesat. Tak sedikitpun kau nampak panik. Kau duduk dan memintaku diam.

' Nak dengarkan, jika ada suara burung berteriak lantang, perhatikan kemana arah suara itu'

Tak selang berapa lama suara burung itu terdengar, entah darimana datangnya, berteriak lantang menuju utara, maka kaupun melanjutkan kangkahmu.

Surya mulai tenggelam, petang datang menggantikannya. Kau tak menghentikan langkahmu terus berjalan.

'Jangan takut oleh gelap, lihatlah keatas, bulan akan memberi sinar pada jalanmu'

Akupun menurut, memang tak terasa gelap, hanya rasa nyaman yang ada.

Kami sampai pada sebuah bale, akupun duduk melepas lelah.

' Nak, Kita akan bermalam disini'
Jika kau mengantuk tidurlah, jika kau tak bisa tidur, hitunglah bintang yang ada dilangit. Pasti nanti kau terlelap.

Seperti itulah kau meninggalkan jejak-jejak malam padaku.

Hari ini, dari tepi jendela kamarku, kumenatap bintang, mengenang kita pernah menatap bahkan menghitung bintang sama.

--------

Pada sebuah meru bertumpang sembilan. Kau berkata padaku
' Disanalah para leluhur kita tinggal'
Kau merapalkan nama para leluhur yang tak kukenal, sangat asing ditelingaku, namun kau begitu fasih menyebutnya. Lambaikan tanganmu pada meru itu, agar para leluhur itu melihat kita. Akupun melambai, tapi kulihat kau tak melambai malah menyulut sebatang rokok.

Setelah nyaris 2 tahun kau pergi, aku kembali memandang meru itu.
Adakah kau di dalam sana bersama para leluhurmu?
Apakah kau melihatku dari atas sana jika aku melambai?

Aku tak mampu merapalkan nama para leluhurmu dengan baik seperti kehebatanmu.

Kini aku tak yakin apa yang kau rapalkan saat itu, mungkin saja bahasa latin yang tak kukenal. Kuyakin saat itu kau hanya ingin nampak jauh lebih pintar dariku.

Tapi hari ini, aku bisa merapalakan mantra cintaku padamu dengan fasih melebihi kefasihanmu merapalkan nama leluhurmu.

-------
Dengan sisa cintamu aku menyusuri jejak-jejak yang pernah kita lalui bersama.

Karena aku dan jejak-jejakmu akan selalu bersama.


Ubud
090909
D.purnami
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Hanya kerinduan sepihak

Ini hanya kerinduan sepihak.

Kau tak kan pernah tahu bagaimana aku mengurai setiap rasa dalam hatiku ini.

Butuh berapa kali tarikan nafas yang dalam agar aku bisa merasa tenang.

Melapangkan hati untuk sadar bahwa kau sejatinya tak pernah tau bahwa aku merindumu.

Kemana aku harus menemuimu?
Kepada siapa aku menyampaikan?

Kau tak pernah ingin tahu.

Ini hanya rindu sepihak.

Aku mencoba mencari baumu, diantara bau baru yg menghampiri hidungku.

Aku mencoba mencari sapaanmu yang khas diantara sekian banyak orang yg menyapaku.

Aku pun terus mencari kehangatan yg pernah kita bagi dulu diantara pelukan yg berusaha menyamankanku.

Kau tak ada disana, dan tak pernah sama dengan semua yang baru.

Andai kau tau bahwa aku sedang merindumu begitu dalam.

Tapi ini memang rindu sepihak.

Rinduku bukan rindu kumbang pada sang bunga,

Bukan pula rindu malam pada sang bulan.

rinduku memang rindu sepihak. Dan kau tak kan pernah meraskan lagi rindu seperti ini yang akan membuatmu menderita.

rasaku dan rasamu sudah terpisahkan oleh waktu.

ingatan tentang cinta yang kian terkikis.

Tak ada lagi kita berjejak pada waktu yang sama.

Dan tak akan pernah terulang lagi.

Berandai adalah sebuah sesal.

Yang tersisa hanya rindu sepihak.

Bau yang kau tinggalkan terakhir adalah bau cendana.

Pada abu kau lenyap bersama semua cintaku.

Kini semua terasa tak adil, karena hanya aku yang mengenangmu.

Rindu yang hanya sepihak.


Ubud,9 09 09
D.purnami
Untuk sebuah keberanian merindukanmu kembali.





Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Terpujilah.

Aku hanya seekor ikan teri yang sedang hamil.

Dikehidupan laut, pilihan yang ada adalah menjadi pemangsa atau dimangsa. Dan kau sudah tau nasib seekor ikan teri akan berada dimana. Di meja makan. Mereka tak peduli aku sedang hamil.


Aku adalah pohon pinus yang tumbuh di dekat gunung. Dikehidupanku yg ada adalah tumbuh terus atau ditebang.
Nasib pilihanku adalah menjadi rumah para burung dan tupai atau menjadi kayu utk rumah manusia atau kayu bakar.


Aku adalah seekor anjing jalanan, Kehidupanku hanya dijalanan mengais makanan, sesekali diserempet motor, ditendang dan diusir. Kematian kerapkali dekat denganku. Pilihan nasibku antara hidup dan mati.


Aku adalah seorang gadis remaja, punya orang tua, punya rumah, punya kehidupan seperti orang biasa. Tapi itu dulu..

Kini aku adalah seorang gadis remaja yg tak punya siapa-siapa dan apapun. Hidup sendiri tanpa rumah dan tanpa sanak saudara. Bencana mengambil semua hartaku.


Aku makan ikan teri, tinggal dihutan memungut bunga pinus dan terkadang berebut makanan bersama seekor anjing.


Hari ini aku mendekati sebuah rumah penduduk, aku duduk agak jauh, (mengamati tepatnya) mencari kelengahan seorang ibu tua.

Dia sedang memasak dan aku menunggu dia selesai memasak dan mandi.

Cuman satu hal yg aku fikirkan waktu yg tepat untuk mencuri makanannya. Biarlah anjing, kucing dan tikus yg akan menjadi sasaran kemarahannya.

Ibu itu menyetel radio,begitu kencang tp aku tak mendengarkan lagu dan musik, seperti orang yg sedang berbicara terus.

Berbunyi seperti ini
" Terpujilah kau yang menyembahnya, tuhan akan memberkati kehidupan rumah tanggamu, memudahkan jalan rejekimu, memberkati keuanganmu"


Aku berfikir: jika aku menyembahnya apakah aku akan punya rumah dan punya uang?


Dimanakah dia sekarang? Aku ingin bertemu dan minta rumah dan uang.

Apakah tuhan benar-benar berfikir akan memberiku? Apakah tuhan juga mendengar permohonan si ikan teri yg sedang hamil agar tak masuk jaring dan jadi santapanku? Apakah juga mendengar keinginan si pohon pinus utk tak ditebang? Apakah juga melihat si anjing yg kelaparan?


Apa tuhan sempat memperhatikan hal-hal kecil seperti ini? Diantara sekian juta permohonan yg diajukan setiap hari?

Kurasa tuhan tak sempat memperhatikan urusan remeh temeh seperti ini.

Akupun mengendap masuk untuk mencuri makanan si ibu tua.
Dan tuhan tak melindungi makanan si ibu tua dari pencuri kecil sepertiku.

Terpujilah ibu tua yg lengah itu.

Ubud, 8 september 2009
O9.00
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Ego dan telur

Sebesar apa egomu?

Apakah sebesar telur angsa?
Atau seperti telur penyu?
Besar tapi lembek?

Atau mungkin sebesar telur ayam?,telur puyuh? Bahkan telur cicak?

Sebesar apapun egomu tetap namanya egois.

Psssttt....memangnya ego sama dengan telur?

Tentu tidak!

Tapi boleh saja kan aku menyebutnya ego sama dengan telur?.

Kalau sepakat, mari kita lanjutkan baca, jika tidak sepakat, bisakah diukur kembali egomu sudah sebesar telur apa?

Jangan-jangan sudah sebesar telur burung unta?

Tapi aku yakin telurmu tak sebesar telur burung unta, ( mustahil ah!)

Andai kau telah sepakat denganku bahwa ego sama dengan telur, tetap ada syaratnya.
Gampang kok.
Cuman satu pula.

"Maukah kau memecahkan ego yang kau punya?"

Ego apapun itu, dan sebesar apapun.

Maukah kau memecahkan?

Bukankah membawa ego kemana-mana susah?
Sama susahnya seperti membawa telur. Sangat rentan.

telur dan ego sama, jika dibiarkan terus akan membusuk.

Kita sudah ada di garis kesepakatan yang sama bukan?

Aku akan mulai berhitung,mari kita bersama-sama memecahkan ego.

1

2

3

Teplokkkkk ( omelet apa mata sapi?)

Ahh aku lega, ego tak lagi membelenguku dan membuatku merasa paling hebat. Aku hanya manusia biasa yg punya salah.


Nah bagaimana dengan egomu?
mau dipecahkan atau tidak?

semua adalah pilihanmu.

Sepakat dalam memandang hal yang sama bukan berarti harus melakukan hal yang sama kan?

Telur ditanganmu tergantung pada pilihanmu.

Memecahkan telur memang membutuhkan kerendahan hati.


D.purnami
3 september 2009
Muter-muter tersesat.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT