Monday, April 14, 2008

Senyap

Tak seperti biasanya
ruang ini menjadi senyap
yang ada hanya aku dan derai daun yang tehempas angin
serta detik detik waktu yang tetap berhitung

Tak seperti biasanya
kursi di depanku itu kosong
tak ada mata yang memandang
atau senyum yang menyapa
yang ada hanya aku dan angin.

Menit demi menit aku lalui,
menanti dan menanti
hingga senja tenggelam
kursi didepanku tak kunjung isi

Senyap
hanya aku dan angin.
menanti dan menanti.
dan tak akan ada yang lain

Dalam senyap
kulantunkan lagu hati yang tak sempurna
menari dalam kaku gerak tubuh
kubiarkan tangan menuntun sebatang arang
menggores diatas putih kertas

Tercipta dalam senyap,
sebatang pohon bambu dengan bulan penuh
kisah sepi si rumpun bambu dalam kelam malam
yang sesekali berderai oleh angin
hantarkan kisahnya ke telinga seorang wanita
yang duduk sediri ditepi jendela memandang bulan.

Aku rindu akan senyap ini,
ketika bibir tak perlu bersuara
mata tak pelu melihat
dan telinga tak perlu mendengar
biarkan senyap antarkan naluri
bertemu titik hati yang lain
tanpa perlu berbisik atau menyentuh
hanya perlu memejamkan mata dan senyap.


D.purnami
11 April 2008

Friday, April 11, 2008

Rindu Lilin pada Obor

Dengan nyalanya yang kecil,
teguh ingin menerangi seluruh ruang
sesekali meredup diterpa tiupan angin
bersabar meleleh dalam hitungan waktu
hingga tak bersisa.


Dengan nyalanya yang kecil,
berjuang dalam pekat malam
membawa amanah tuk menerangi
walau luluh seiring detik

Dalam nyalanya yang kecil
dia begitu merindukan Obor
tempatnya dulu meminta api
yang menjadikannya lilin.

Obor sang panutan lilin
pernah menerangi seisi rumah yang tak hanya ruang saja
beri terang pada rumah yang bergempita
berdiri kokoh dengan nyala besar.

Ingin lilin seperti Obor
namun apa daya ia hanya sebatang lilin kecil
dengan nyala sebatas ruang
yang hanya mampu menampakkan bayang.

Kini lilin sendiri dalam ruang itu
menunggu waktu tuk meleleh.
dengan ditemani bayang.

Dalam pekat,
Lilin kecil begitu merindukan Obor.

d.purnami
11 April 2008
Miss u dad.

Sadar

Hingga hari ini,
aku masih belum tersadar
walau darah anjing telah basuh pertiwi
air suci dari sekian mata pancuran menyiram tubuhku
mantra dari tumpukan lontar telah dibacakan.


Belum juga aku tersadar,
empat puluh dua hari sudah aku berhitung
sekian malam terlewati
wujudmu sejatinya tak akan pernah nampak
hangat candamu tak lagi hiasi haru kehidupan.


Tersadarkah aku,
jika suaramu telah menghilang cukup lama
wajahmu makin memudar dalam benak
namamu semakin dilupakan
jejakmu telah terhapus waktu.


Kapankah aku akan tersadar,
Senyummu adalah dingin kabut
Jiwamu hanya derai angin
Baumu kini harum cendana


Tak ada yang menyadarkanku,
bahwa matahari tetap bersinar
waktu tetap berhitung
ruang semakin sempit
aku semakin terhimpit
dalam ketidak sadaran


Kepada siapa aku harus bertanya,
aku tak punya cermin
airpun keruh
bayanganku tak nampak


Hingga hari ini,
satu hal yang kusadari
kalau aku tak pernah lelah berharap
teguh hati ini bersetia menantinya disatu bintang
dikelam malam yang ditemani kunang-kunang
walau hingga tertidur dibawah embun.


Hingga hari ini,
aku tersadar
aku memang masih belum mau menyadarinya
bahwa kau adalah dingin kabut, derai angin dan harum cendana.


11 April 2008.
2 bulan setelah 11 februari

Wednesday, April 9, 2008

Berpulangnya Penglingsir Puri Ubud.


Ketika melintas di depan puri Ubud ada pemandangan yang tak biasa, karangan bunga tanda ungkapan bela sungkawa nampak menghiasi halaman depan gerbang puri. Penglingsir Puri Ubud - Tjokorda Gede Agung Suyasa orang yang dituakan dan dihormati telah berpulang. Ribuan orang datang hadir mengucapkan bela sungkawa, duduk bersimpuh dan bersila dihadapan jenasah, sebagai wujud bakti dan penghormatan terakhir atas segala jasa dan dharma baktinya selama hidup.

Nyaris seratus karangan bunga berjejer menjejali halaman puri sebagai tanda simpati dari keluarga, kolega, perusahaan, organisasi, pemerintahan, partai, sekolah, hotel hingga restaurant. Semua mengirimkan Karangan bunga. Setiap kali saya melintas fikiran saya selalu berhitung dengan karangan bunga tersebut. Bilang saja satu karangan bunga berukuran 2 x 1 meter seharga 350 ribu bayangkan saja jika da 100 buah akan menjadi 35 juta jumlah yang cukup banyak. Dana sebesar itu mungkin akan jauh lebih berguna jika seandainya itu disumbangkan dalam bentuk uang ataupun makanan. Sudah tentu akan sangat meringankan pihak puri dalam pengeluaran biaya ngaben. Fikiran saya masih berkutat dengan karangan bunga. Kini Ubud mempunyai media promosi baru. Halaman puri menjadi ajang promosi yang gratis, tidak dikenakan pajak. Semua perusahaan berlomba-lomba menaruh karangan bunga paling terdepan mengingat halaman gerbang yang sangat strategis sehingga setiap orang yang melintas tentu akan tertarik membaca nama-nama hotel atau perusahaan lainnya.

Beralih dari karangan bunga, dapat dipastikan akan ada sebuah perhelatan besar di Ubud pada tanggal 15 Juli 2008. Acara ngaben akan menjadi sangat istimewa. Ada 2 jenazah yang akan di kremasi. Dan ratusan keluarga akan menyertai pengabenan masal yang hadir tiap 5 tahun sekali. Momen yang sangat bagus sebagai daya tarik pariwisata. Tentunya hotel tak akan melewatkan masa panennya dengan membuat paket menginap plus dengan melihat budaya adiluhung. Liputan dari sekian stasiun TV dan media massa sangat memungkinkan untuk dijual dan menuai untung bagi berbagai pihak. Mungkin dengan seperti ini juga penglisir puri ubud memberikan jalan bagi yang ditinggalakan.

Kurang lebih 5 bulan jenazah dibaringkan, disuntikkan formalin dari hari ke hari agar awet, jenazahpun akan berangsur menghitam nyaris tak dapat dikenali. Keluarga puri pun mulai kelelahan, menyambut dan menjamu orang setiap malam yang turut menghibur puri. Kesedihan mendalam keluarga yang ditinggal semakin luntur oleh kesibukan dan kelelahan mempersiapkan semua itu. Judi pun menjadi di halalkan karena tradisi. Sekian karung kopi, gula, beras, juga sekian dus rokok dihabiskan. Belum juga tenaga dan fikiran untuk perhelatan besar ini dalam kurun waktu 150 malam mengantarkan jenazah ke tempat terakhir menuju rumah Tuhan. Dengan naga bande, bade yang menjulang tinggi dan lembu yang diusung ratusan orang semoga tidak ada pohon yang ditebang untuk memberi jalan pada bade yang membungbung tinggi menuju langit. Semua menjadi istimewa; orang yang meninggal, hari yang dilalui, tradisi, budaya, ribuan pelayat, ratusan media, serta paket hotel, semua memang menjadi sangat istimewa.

Dibalik itu semua,saya merenung mengingat beliau yang yang meninggal. Bagaimanakah perjalanan ruhnya menuju rumah Tuhan, adakah jiwanya telah terbebas, damai mencapai kesempurnaan dan kemurnian? Adakah beliau kini yang terbujur kaku akan dihapuskan segala dosa dengan semua yang dibuat istimewa sebagai wujud pengabdian dari keturunannya? Adakah dia sejatinya hanya membutuhkan selembar kain putih, 5 buah teratai putih serta doa tulus dari keturunnya dan abdinya untuk membebaskannya dari seluruh perjalanan masa lalu. Entahlah tak seorangpun akan tahu. Hanya ruhnya dan Tuhan yang akan tahu perjalannnya yang begitu istimewa.

Amor Ring Acintya Ratu Tjokorda Lingsir.

Hanya doa yang dapat tiang panjatkan, turut menghantarkan ruh Ida Ratu.

Ubud, 9 April 2008

Kadek Purnami