Tuesday, September 13, 2011

Sebuah Cerpen - Ranting.

Ranting
Oleh : Kadek Purnami
Langit senja nampak merah bersemburat abu, jembatan kayu ini masih terasa basah oleh sisa hujan. Lelaki itu membungkuk memetik setangkai bunga rumput liar, dia terdiam, tersenyum, lalu menciumi bunga tersebut, menempelkan ke dada kirinya, kemudian menghembuskan nafasnya dengan berat, dilemparkannya bunga rumput liar itu ke sungai sebelum beranjak memasuki kedai disisi jembatan.
Meja di teras yang menghadap sungai adalah meja langganannya, meja untuk dua orang dengan dua kursi yang berhadapan. Seiring tenggelamnya senja dia akan terduduk sendiri tanpa pernah membawa siapapun. Dua buah kopi selalu dipesannya, satu untukknya dan secangkir lagi hanya diletakkan di depannya tanpa pernah disentuhnya. Lelaki itu menyulut dan menghirup dalam-dalam tembakau yang digulungnya sendiri dengan kertas. Dia memanggilku untuk memesan satu kue coklat dan meletakkan di samping kopi yang dipesankan untuk kursi yang kosong, dan kembali menghisap tembakaunya dalam.
Bulan purnama yang muncul sempurna disela pohon bambu adalah puncak waktu yang ditunggu. Lelaki itu terdiam kelu, matanya menerawang jauh kemudian mengambil tas kecil berbahan kulit, mengeluarkan semua isinya. Dia membaca lembar demi lembar kertas yang usang dan lusuh, melipatnya kembali, menegak kopi lalu sembari tersenyum ringan dia mengeluarkan serpihan bunga mawar yang kering, kerang, bahkan seruas ranting bambu dan dia akan kembali melinting tembakau untuk kesekian kalinya.
Kedai kami sudah akan tutup, tidak banyak pengunjung malam ini, tinggal tiga meja lagi, satu meja yang diisi oleh keluarga, satu meja pasangan muda dan meja kecil di pojok oleh lelaki itu. Dalam sayup-sayup lagu yang kuputar lelaki itu memanggilku.
“ Apakah kedai sudah mau tutup?”
“Belum, mau pesan lagi?”
“Satu cangkir kopi lagi, mungkin dia akan datang malam ini”
Aku kembali membuatkannya secangkir kopi lagi. Dia tersenyum dan kembali melinting tembakau. Meja yang diisi oleh keluarga telah meninggalkan kedai. Suasana malam ini sedikit sepi, angin bertiup dingin. Purnama hilang ditelan kabut malam, gerimispun turun membasahi tanah. Lelaki itu kembali memanggil saya, membentuk kotak di udara. Dia sudah hendak pulang, meminta bon nya.
Tinggal satu meja lagi yang ditempati pasangan muda sebelum kedai ini kututup. Meja kubersihkan dan memadamkan lilin-lilin yang temaram. Sejenak saat mengangkat gelas kopi lelaki itu, aku melihat seruas ranting bambu miliknya tertinggal di samping kopi yang yang tak diminumnya. Aku mengambil dan melihat keluar kedai menyusurnya, mungkin dia masih berjalan-jalan di piggir jembatan. Sosok lelaki itu telah pergi.
Seruas ranting bambu nampak sangat biasa, berwarna coklat muda dan kering. Lamat-lamat kuamati mencoba mencari apa yang membuat dia selalu membawanya. Hanya ada satu goresan kecil berbentuk bintang, selebihnya hanya ranting bambu biasa. Aku menyimpannya di meja kecil samping tempat tidur dekat foto, jikalau dia nanti kembali lagi untuk mengambilnya.
Dalam kamar kurebahkan diri, hayalku telah terlempar jauh puluhan tahun yang lampau, saat pernah ada satu cinta yang kurasa indah. Aku tersenyum, dan memandang foto di meja kecil sebelah tempat tidurku, ah adakah kau selalu bersamaku walau wujudmu adalah kabut dingin dan harum cendana. Biar kukenang kau dengan indah dalam setiap dupa yang kubakar, dalam doa-doa yang kupanjatkan dari relung jiwaku. Kini aku adalah perempuan paruh baya yang hidup sendiri dengan cinta yang selalu hangat dalam setiap detik waktu saat mengenangmu.
Kedai ini adalah wujud cinta kita, kerapkali aku teringat, saat menyeduhkan kopi untukmu dalam kepulan asap yang tersamar kau memberikan ciuman sayang padaku, begitupun pada setiap adonan kue yang kubuat, kau selalu berbisik padaku
“ Kue itu akan menjadi sangat manis dimulutku, kau begitu banyak menuangkan senyuman termanismu, janganlah bagikan kue itu ke orang lain biar kunikmati sendiri”
Kedai kopi ini kubangun tepat setelah setahun kepergianmu, agar selalu kukenang dirimu. Senang rasanya saat melihat para tamu yang datang ke kedai menikmati kopi dan kue yang kubuat, mungkin kau akan iri dengan mereka. Ruangan yang penuh aroma cendana dari dupa-dupa yang ku bakar, kurasakan adanya dirimu bersamaku. Malam telah larut, aku tertidur bersama kenangan akan dirimu.
Hari ini hingga beberapa bulan ke depan kedai ini akan tutup, aku akan mengunjungi tempat kenangan kita di belahan selatan pulau ini, sebuah rumah yang sempat kita bangun bersama dipinggir pantai. Kedai ini adalah tanah idamanmu dulu yang kubeli dari tabungan kita. Pemandangan sawah yang sejuk, sungai dengan air gemericik yang jernih sebuah suasana pedesaan yang asri adalah tempat yang memang selalu kau sukai, tapi aku lebih menyukai pantai, dan kau mengalah untuk membangun rumah dipinggir pantai dan bukan di sawah tempat idamanmu, semua karena cintamu.
Barang-barang kukemas dalam tas, terakhir aku memasukkan foto dirimu. Aku tertegun saat melihat seruas ranting bambu itu, kuambil dan kuletakkan kembali. Aku menimang apakah akan aku bawa atau kutinggal. Mungkin ini adalah barang berharga bagi lelaki itu, dan akupun memutuskan membawa serta agar dapat kujaga, dan kukembalikan jika suatu hari nanti dia kembali ke kedai ini.
Pengumuman kedai tutup untuk dua bulan ke depan aku tempelkan pada pintu kedai sebelum aku mengunci rapat. Aku berjalan menuju jembatan kayu, melihat air jernih yang mengalir di bawahnya. Dan mengunjungi sebuah warung nasi tetanggaku untuk pamit dan menitipkan untuk menjaga kedai. Biasanya jika kedai tutup cukup lama, beberapa pelangganku akan datang dan kadang-kadang mereka menitipkan pesan maupun barang. Kedai ini sudah menjadi tempat para orang tua paruh baya mengisi waktunya untuk sekedar bercengkrama bersama keluarga maupun sahabatnya.
Mobil melaju dengan pelan, kuputar lagu-lagu kenangan kita, mungkin aku memang selalu hidup dengan kenangan, keluargaku sering menjadi kesal olehku, dan menganggap aku yang tak pernah sadar realitas, dan terlalu setia mencintaimu yang telah tiada. Usiaku memang masih pantas untuk menikah kembali saat kau tinggalkan, tapi aku memilih untuk tetap mengenang cinta kita dengan segala keindahannya. Tak sedikit lelaki yang mencoba mendekatiku dan mengutarakan niat untuk meminangku. Namun mereka tak punya cinta sepertimu. Sering pula kukatakan pada keluarga, jika suatu hari nanti ada yang menawarkan cinta seindah dirimu akan kupertimbangkan untuk kuterima.
Aku berhenti sejenak pada rumah mungil di tengah kota, aku turun membawa sekotak kue yang biasa kukirimkan untuk adik perempuanmu. Perempuan kedua yang kau cintai selain diriku. Kami menghabiskan waktu sore hari itu dengan bercengkrama, dan kembali mengenangkan dirimu. Dia juga perempuan kedua yang mencintaimu dengan sangat. Entahlah kau melihat atau tidak, keponakanmu tumbuh semakin dewasa dan menjaga ibunya dengan sangat baik, bahkan mereka sangat menyayangiku juga, mereka kerapkali menemaniku di rumah pada saat liburan karena mereka juga mencintai pantai, sama sepertiku.
Aku tiba dirumah kita saat petang, debur ombak terdengar bergemuruh, angin bertiup sedikit kencang. Dan aku menuju rumah tetanggaku untuk membawaknnya kue, tentu kau masih ingat dengan tetangga kita yang selalu iri melihat kita dulu selalu mesra dan minum kopi bersama di beranda depan, sementara dia selalu bertengkar bersama suaminya yang jarang dirumah. Tapi rasa iri mereka terhadapku mungkin lenyap saat mereka selalu kukirimkan kue-kue manis buatanku yang sembunyi-sembunyi kubagikan, karena kau tak ingin kue yang menurutmu dalam adonan itu terlalu banyak senyuman termanisku bercampur didalamnya.
Menyenangkan bagiku kembali ke rumah ini, hari-hariku hanya akan dihabiskan dengan memasak, berjalan di pantai, dan membaca bertumpuk-tumpuk buku yang kugemari. Entah mengapa walaupun kenyataannya aku hidup seorang diri, aku tak pernah merasa kesepian, aku selalu merasakan bahwa dirimu selalu ada menemaniku. Mungkin aku memang sedikit mulai nampak gila karena berbincang denganmu, dan di dalam benakku kau terdengar menjawabnya. Dan akupun tersenyum oleh itu, aku sering tertawa geli jika kulotarkan beberapa lelucon yang konyol dan aku mereka reka jawabanmu yang tak akan kalah konyol dariku. Ah mungkin terlalu banyak hal yang kita lewati bersama, dan semua hal itu membuatku begitu nyaman. Kau mencintaiku dan menerimaku begitu baik dengan segala kekurangan dan keterbatasanku. Mungkin itu yang membuatku nyaman bersamamu, dan belum bisa kutemukan pada lelaki manapun sebagai penggantimu. Sesuatu yang kurasa mahal di jaman seperti sekarang.
Setelah sebulan lebih dirumah ini aku merasa begitu nyaman dan enggan untuk kembali ke kedai, tapi aku harus tetap kembali ke kedai untuk menemui para pelanganku dan tentu hanya dari kedai itulah penghasilanku satu-satunya, yang aku butuhkan untuk biaya pengobatanku. Aku sering ingat pesan-pesanmu agar tak bekerja terlalu keras, dan berusaha meliburkan diri sebulan sampai tiga bulan dari waktuku dalam setahun hanya untuk melakukan hal-hal yang ingin kulakukan, agar aku tetap bisa menikmati hidup ini dengan seimbang.
Sore ini aku memasak kue labu kuning, labu yang diberikan oleh adikmu dari kebun mertuanya. Sembari menunggu petang aku berjalan-jalan sebentar menyusuri tepian pantai yang berpasir putih ini. Ini hari minggu, banyak keluarga dan pasangan muda mudi yang kepantai untuk berekreasi. Mereka terdengar bersuka cita, bercengkrama, bermain air, membuat istana pasir serperti yang sering kita lakukan bersama dulu, kau selalu buatkan aku istana pasir dengan buaya disekelilingnya, yang terus-terusan aku protes, kenapa harus buaya ? kau akan menjawab
“Agar kau tak berani keluar istana dan terus menemaniku sebagai sang raja”
Aku menyusuri pantai yang ramai, dan sebagian besar hanya duduk di kafetaria untuk memandang lepas ke lautan luas. Langkahku terhenti pada sebuah sosok yang kukenali namun aku begitu ragu dan mencoba untuk mengingat. Ya itu adalah lelaki yang sering datang ke kedai saat purnama. Akupun menghampirinya
“ Sore, uhhmm mungkin kamu tidak ingat denganku”
“Iya kurasa tidak asing, tapi dimana aku melihatmu”
“Kamu sering datang ke kedaiku untuk meminum kopi”
“Oooohhhh iya iya aku ingat sekarang, tempo hari aku datang ke kedaimu tapi sayang sedang tutup, tak disangka kita bertemu disini”
Ya, purnama baru saja lewat, dia pasti datang pada saat purnama, tiba-tiba aku teringat tentang seruas ranting bambu yang dia tinggalkan. Akupun mengutarakan padanya tetang ranting bambu tersebut.
“Iya, aku datang ke kedaimu memang untuk menanyakan ranting bambu yang tertinggal itu, apakah mungkin kau melihat dan menyimpannya untukku atau mungkin sudah kau buang. Aku semakin tua, dan semakin pelupa, seringkali kumeninggalkan barang-barang berharga”
Sudah kuduga bahwa ranting bambu itu termasuk bagian dari barang berharga miliknya.
“ Ranting bambu itu telah ku simpan dengan baik, jika mau mengambilnya bisa ikut denganku kerumah yang tak jauh dari sini, aku juga sedang membuat kue labu kuning, jika mau, mungkin bisa sambil ngopi dirumahku? tapi maaf aku sedang tidak membuat kue coklat yang biasa kamu pesan di kedai”
Kami akhirnya menuju rumah, minum kopi bersama. Ah, suamiku di surga, mungkin kau akan sangat marah padaku hari ini, karena aku membawa lelaki ke rumah kita, dan lelaki itu tidak digigit oleh buaya-buaya yang kau buat di sekeliling istana pasir. Aku hanya membuatkannya kopi dan memberinya kue labu tidak berbuat lebih. Aku yakin kau akan tetap marah padaku. Karena aku membuatkannya kopi dirumah kita. Tapi jika aku boleh jujur lelaki itu mencuri perhatianku sejak dia datang ke kedai setiap purnama. Jika kau marah dari surga sana, janganlah beri aku hukuman yang berat.
Kami pun bercengkarama hingga larut, tak hanya kopi yang kusuguhkan, tapi aku memasak makan malam untuknya, menuangkan anggur dan kami terus bercengkrama semakin akrab hingga larut.
“ Kuperhatikan kau senang sekali datang pada saat purnama ke kedaiku?”
“ Ya, kau memperhatikannya? “ ( sambil menghela nafas berat)
“ Ya aku memperhatikannya, kau datang setiap purnama, berjalan menuju jembatan kayu, memetik bunga rumput liar, melemparnya ke sungai, memesan dua cangkir kopi, kue coklat dan membuka tas kulit beserta semua isinya. Kau nampak begitu khidmat melakukan semua proses itu”
“Ah, kau telah melihat semua detail yang kulakukan, tak ada yang harus kusembunyikan lagi. Kekasihku dulu pernah berjanji padaku, untuk menemuiku di jembatan kayu pada saat purnama jauh sebelum kau buka kedai itu”
“ Uhmm itu sebabnya kau selalu datang pada saat purnama dan memesan dua cangkir kopi?”
“Ya, dan sampai hari ini dia tak datang menemuiku di jembatan itu sampai puluhan tahun berlalu aku tak menerima kabar darinya. Dia telah bersuami dan mereka tinggal di luar negeri, dan hingga hari ini aku masih menunggunya datang pada saat purnama”
“ Dan ranting bambu itu pasti darinya?”
“ Ya pada purnama yang bertahun-tahun lalu aku menyatakan cinta di jembatan kayu itu, di pinggir sungai itu masih masih banyak sekali pohon bambu kuning, aku menebas sedikit batangnya, kami menggores jari dengan bambu itu dan mengisap darah agar mengalir dia dalam darahku, dan aku dalam darahnya, dan dia membuat satu bintang pada ranting bambu itu, agar aku selalu menjadi bitang di hatinya. Dan untuk pertama kalinya aku meninggalkan ranting bambu itu dikedaimu, mungkin itu pertanda aku memang sudah harus melupakannya, dan ranting bambu itu telah kembali ke asal, dimana tempatnya dulu tumbuh di kedai mu itu”
Entah apa yang harus kutanggapai dari cerita lelaki itu, dimatanya terlihat dia begitu mencintai kekasihnya. Ah tak hanya dia yang menuai kisah pada jembatan itu, kedai ku pun ada karena cinta, dan entah siapa lagi orang-orang yang pernah mengutarakan cinta diatas jembatan itu, dan akan ada sekian banyak kisah yang mengharukan. Kami diam hening, malam makin larut, udara semakin dingin, aku memberikan dia selembar selimut.
“Dirumah ini tidak ada siapa-siapa, jika kau ingin menginap, rumah ini terbuka untukmu.”
“ Terima kasih, jika boleh apakah aku bisa tetap datang ke kedaimu walaupun itu tidak purnama?” ( ada nada tulus yang kurasakan, yang menggetarkan jiwaku)
“ Biar aku buatkan kopi setiap hari, dan kue kesukaanmu”
“ Dari awal aku ke kedaimu, kopi mu memang luar biasa”
Ah, telah lama tak kurasakan getar hati dan rasa nyaman ini. Mungkin kau sedang marah padaku dari surga sana, atau mungkin juga tersenyum melihatku ada yang menemani, sehingga kau tak sedih melihatku sendiri. Apakah kau yang mengirim lelaki ini untuk menghangatkan hatiku kembali? aku tak bisa mendengar jawabanmu yang pasti, bahkan aku tak mampu merekanya. Namun hatiku merasa begitu nyaman sama seperti saat mencintaimu.
Entahlah, ombak berdebur semakin keras, subuh sebentar lagi datang.
Ubud, 20 Juli 2011
Terbit di Balipost, 11 September 2011

Tuesday, April 5, 2011

Mengemis Waktu

Tak malu menatapmu,
Mengemis waktu,

Walau terlalu lusuh untuk menyapamu
Hati yang sobek penuh compang camping
Tubuh anyir penuh kotor
Tapi tak malu menghadapmu

Mengemis,
Memohon belas kasihanmu
Berikanlah waktu lebih panjang
Untuk selesaikan jalan takdir yg tergores.
Maka aku dg tegar akan menjalaninya.

aku akan terus mengemis padaMu.

RS- 27 feb 2010
Kadek purnami

Tanpa Pesan

Saat berada pada titik terendah hidup.
Semua menjadi berarti atau tiada arti.
Antara jalan terus atau berhenti.
Keyakinan lenyap,
Kepercayaan sirna,

Adakah yg berati saat itu?
Adakah yg akan menolong ?
Perjuangan adalah kata yg berat, tak ingin mengerti, bahkan mengucapkannya.

Saat titik terendah dalam hidup
Ingatan begitu tumpul
Tak paham tentang hidup
Tak merasa apa yg indah
Tak ada logika

Detik detik waktu dipenuhi rasa khawatir.
Fikiran dilintasi gambar-gambar yg berlalu lalang yg berusaha mengais ingatan diantara perjuangan waktu.
Lidah kelu tak ingin bicara.

Waktu terasa kian habis dan berarti..
Berjuang dengan skenario terburuk hidup
Nafas pendek-pendek mencekat ditenggorokan
Telinga mendenging,pandangan menjadi hablur, tubuh menggigil, merasakan dingin yg amat menjalar dari ujung jari kaki merambat naik mendekati jantung
Mencoba mencari nadi, menghitung denyut yg ada dan tiada sesaat menghilang dan muncul lagi,
Fikiran membuat skenario terburuk inikah saatnya berpulang?

Ah..
Tunggu sebentar..
Saya sedang sendiri
Beri waktu sedikit lagi

Tiba-tiba dengan waktu yg begitu sedikit, ingin rasanya melakukan banyak hal.
Saya ingin mendengar suara yg seindah beledu yg memberi rasa nyaman seperti morfin.
" Sayang, katakan kau mencintaiku "
Dan aku akan membalasnya
" terima kasih telah mencintaiku dengan baik"

Apakah hanya itu yg ingin dilakukan?
Tentu tidak,
Aku ingin menghubungi ibu, kakak, keponakan, sahabat dan bilang pada mereka semua bahwa aku mencintai mereka.
Tapi apakah waktunya cukup ?

Tak hanya cinta yg ingin kukatakan
aku ingin menyelesaikan lukisanku
Ingin pergi ketempat yg aku suka
Harus mendelegasikan pekerjaan
Dan banyak lagi yg ingin kulakukan..
Tapi waktu tak ada..

Jika waktu sedikit cukup meninggalkan pesan singkat saja.. Minimal sempat memberi tanda..

Aku menimang
Dalam skenario terburuk,
Aku harus pergi..
Ada ayahku yg menunggu jadi tak perlu khawatir, matipun aku akan baik-baik saja bersama ayah.
Ah ayah tak punya cinta seperti belahan jiwaku..

Semua menjadi begitu kacau,
Nafas menjadi semakin pendek,
Tubuh semakin dingin
Dan aku berkata pada diri
" Boleh kok pergi tanpa meninggalkan pesan, tanpa menyelesaikan yg belum selesai tanpa pamit pada siapapun,
Membawa semua rahasia, ingin, dan cinta bersama diri"
Lahir sendiri, pulangpun sendiri..
Kulepas semua resah,
Dan semua menjadi begitu terang,
Nafas menjadi ringan, tubuh menjadi hangat dan senyumpun tersungging dari bibir.

Tak perlu ada pesan untuk siapa-siapa.

Ubud, 21 februari 2011
Kadek purnami

bukan orang biasa

Aku melawan,
Ringkihnya tubuh ini
Rapuhnya jiwa yang gigil
Lemahnya mental seorang pecundang
Fikiran yg liar tak berbatas
Rasa takut yg berlebih
Khawatir yang tak mengenal logika
Kecemasan yg membunuhku pelan.
Aku melawan karena aku bukan orang biasa,

Aku menerima,
Menelan belasan butir pil setiap harinya
Meminum bertakar-takar sendok obat
Bergelas -gelas ramuan pahit
Aku menerima karena aku bukan orang biasa.

Aku menghindari kedai kopi,bar,
cukup segelas air putih hangat saja untukku,
Aku mengindari Berbagai makanan enak yang menggiurkan biar kutelan ludah saja..
Aku menghindar karena aku bukan orang biasa

Aku tak beraktivitas energik seperti kalian, nyaris enam dari bagian organ tubuhku tak berfungsi dengan baik,
Aku tak bisa banyak bicara dan tertawa harus lebih banyak diam,
Dan kau tahu, banyak hal yg tidak bisa aku lakukan dengan normal,
Karena aku bukan orang biasa.


Ubud, 20 februari 2011
Kadek purnami

Wednesday, January 26, 2011

Merindu galau

Aku kering,
tak ingat kapan tetes terakhir itu membasahi

Aku redup,
Nyala pematik yang begitu kecil dan tak berkobar

Aku hampa
Tak ditinggalkan, pun tak diisinya penuh

Aku rindu akan galaunya merindu

Ubud, 26 januari 2011
Kadek purnami


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Friday, November 19, 2010

Sekuntum lily

Aku adalah sekuntum lily
Yang telah dipetik oleh seorang lelaki,
dijadikan hiasan dalam rumah itu.

Tak ada bunga lain, hanya aku sekuntum.

Hanya sesekali dia memandangku,
Atau mencium harumku.
Setelah itu dia pergi dan rumah itu kosong.

Tak pernah ada perempuan yang singgah pada rumah itu,
Hanya lelaki itu seorang diri.

Sering kumenanti diriku akan di bungkus dan dihiasi pita,
Menanti diriku dipersembahkan pada seorang wanita.
Aku akan menunjukkan wajah kesegaran merona, dan wangi terbaikku untuk perempuan yg dicinta lelaki itu.

Namun, sampai hari ini lelaki itu hanya mengganti air untukku, menciumnya sesekali, dan pergi meninggalkan rumah yg lenggang.
Mata lelaki itu selalu menerawang getir.
Adakah sejatinya wanita yg ia cinta
------

Aku adalah sekuntum lily
Yang dipetik oleh seorang wanita
Aku menghiasi meja makan yang berisikan 5 kursi.
Terkadang aku di ambil oleh si bocah lelaki 7 tahun yang memperlakukanku kasar untuk memukul adik perempuannya yg berusia 5 tahun atau dirampas kembarannya.

Dan wanita itu akan dengan cepat menyelamatkanku memasukkan aku ke dalam vas dan menciumku.
Terkadang ketika mereka duduk bersama, lelaki setengah baya dirumah yg ramai itu selalu menggeserku, dia tak begitu suka padaku.
Bahkan pernah membuangku ke tong sampah.

Saat bocah-bocah kecil itu bersekolah dan lelaki itu bekerja.
Hanya ada aku dan wanita itu dirumah.
Dia akan meluangkan waktunya begitu lama untuk memandangku kelam menerawang, menciumku dan menjagaku agar tak layu.
----------

Kami hanya sekuntum lily penghias rumah.

Ubud, 19 november 2010
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Thursday, November 18, 2010

Kelam malam

Malam itu diantara pohon pinus yang menjulang tinggi.
Diatas rumput kita terlentang, memandang bintang yg bertabur diangkasa.

Dari sela dedaunan, bulan begitu temarang.
Dan kau mencari ke dalam kelam mataku.
Tentang cinta yang kujanjikan selalu ada untukmu.

Aku berceloteh tentang hari yg luput dari pertemuan kita,
Menyesali waktu-waktu yg tak mempertemukan kita lebih cepat.

Dan kita berangan tentang esok, tentang lusa bahkan hari yg tak pastipun kita angankan.
Tanpa sadar bahwa hari inipun kita lalui dengan gigil dan ringkih.

Ah, andai waktu hadir lebih lama, atau terhenti sehingga membuatmu tak bergegas bangun,
Dan kembali pulang.

Akankah kau ingin mendengarkan lagi celotehku tentang esok yg tak pasti?

Jangkrik itu mengerik dingin, melengking menusuk telingaku,
Seperti kenyataan yg harus kita hadapi.

18 november 2010
Kadek Purnami


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tuesday, November 16, 2010

Persimpangan kota

Gemerlap cahaya kota malam itu begitu memukau
Di persimpangan aku terdiam
Menentukan arah mana yang akan kutuju

Deru suara mobil membuyarkan setiap kenangan yang coba kususun kembali
Aku memilih duduk pada bangku taman
Merapatkan jaketku

Angin dingin mencoba membekukan otakku
Mencoba mencari ingatan yang masih tersisa

Arah mana yang kutuju agar kurasakan cinta yang sama?

Pengemis jalanan meludahkan dahak di sampingku
Dan anak kecil menangis pilu
Satu lampu yang terlalu binar menyala berkelip kelip
Menarik hatiku tuk menyeberangi persimpangan ini.

Namun aku kembali
Membalikkan badan
Mengurungkan semua niat untuk mengingtmu

Karena aku tidak sedang ada dalam persimpangan yang sama
Biar kususun kisah baru yg lebih segar.

Kota ini, kau memang memukau

Ubud, 16 november 2010 ( kingcross)
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Bondi

Dulu, pernah ada dua cinta yang telah disatukan
Pada semenanjung pantai nan indah ini.

Kini dua cangkir kopi yang mengepul terhidang hangat pada pesisir pantai yang sama.

Remahan roti yang diserbu burung dara
Tak mengusik cerita kita

Tak ada awal dan akhir
Terbang begitu saja seperti angin yang ringan

Tak ada ingin tuk membuat cerita yang sama tentang cinta yg disatukan

Kau berkisah tentang masa lalu
Dan aku bercerita tentang masa kini
Dan masa depan tak akan menyatukan kita.

Debur ombak begitu indah mengantarkan buihnya
Aku tak sekokoh karang ditebing untuk menahan perasaanku
Juga tak selembek pasir yg digerus ombak

Aku adalah kedalaman laut yg mencoba tenang
Menyembunyikan riak riak kecil yg bergejolak

Kopi ini terlalu cepat dingin oleh udara sebelum sempat kuseruput
Dan matahari seolah ingin cepat tenggelam

Para peselancar telah pulang
Kedai kopi ini pun akan segera ditutup

Aku menuliskan sebuah nama pada pasir putih
Bukan kata cinta

"Bondi'
Aku tak ingin mengukir kisah yang sama.

Ubud, 16 november 2010
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Rosebay

Aku melintas senjalaka
Bersama desir hangat hatiku,
Menatap luas lautan biru

Diantara pohon rindang aku berdiri,
membiarkan daun yg berjatuhan menyentuh rambutku yg tergerai ringan.
melepas pandang pada sederetan perahu nan gagah.

Pada perahu yang mana kau sembunyikan cintamu?
Sehingga membuatku harus menebak melintas benua.

Rosebay terlalu biru untuk kau buat aku resah
Katakan, katakan saja
Atau biarkan aku tenggelam bersama birunya laut serupa langit yang kian memerah.

Karena perahu itu tak akan kita kayuh bersama

16 november 2010
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Monday, November 15, 2010

Pintu rahasia

Pintu rahasia

Ingatkah kau tentang rel tua di belakang rumah itu?

Besi merah yang tersamar dedaun kering.

Ribuan tapak kakiku tertinggal disana, lenyap terhempas angin dan sebagian menyusup pada pori tanah.

Pada pintu kecil itu aku akan menjentikkan jemariku, memainkan nada nada rahasia kita.

Jika nada itu tak terbalaskan oleh syahdu senandung mu,
Maka pot kecil itu akan penuh oleh kertas yang berisikan kisah yg ingin kuceritakan padamu.

Aku terus kembali menyusuri rel tua, menjentikan jemari pada pintu kayu,
Dan senandungmu tak pernah terdengar lagi

Pintu itu kian tersamar oleh semak belukar, dan pot kecil itu terlalu penuh oleh tumpukan kertas yg kian hilang hurufnya satu demi satu.

Kau tak pernah lagi membuka pintu rahasia itu,
Tak ada lagi senandungmu
Dan jemariku sudah tak ingat lagi menjentikkan nada-nada.

Hingga pada sebuah hari,
Aku tak mengetuk lagi pintu rahasia itu.

Apakah kau memikirkan aku yg sedang berjalan menyusuri besi tua dan melenyapkan setapak jalanku diantara daun kering?

Aku hanya ingin kau khawatir, dan menyusuri besi tua itu tuk mencari jejakku.

Tapi kau terlalu dingin untuk khawatir.

Ubud, 15 november 2010
Kadek purnami
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

kembali mengisi blog

Postingan terkahir saya bulan Mei, nyaris selama 5 bulan saya vakum sementara untuk menulis di blog ini. Kini november, sebuah bulan yang mengawali kesenggangan waktu saya. Mulai melihat segala sesuatu secara lebih detail.

mari berceloteh lagi.
Salam,
Kadek Purnami

Wednesday, June 2, 2010

Amarah - sebuah cerpen kadek purnami -terbit di Bali Post 31 Mei 2010

Ada amarah serupa bongkahan batu besar di dalam hatiku, kubenamkan dalam-dalam pada pertiwi, karena kuyakin ibu memiliki hati yang lapang tuk menjadikannya debu.
Aku terdiam saat Badra mendatangiku bersama seorang perempuan muda, nampan yang penuh berisikan sesaji kuletakkan, dupa yang menyala kumatikan. Aku menghampiri dengan jantung yang berdegup kencang, dan kaki yang lunglai, namun aku merasa kuat dan tak terkalahkan.

Perempuan itu duduk disamping Badra begitu dekat, tangannya tak lepas dari kain yang dikenakan Badra, ada kecemasan dan ketakutan bersemburat di wajahnya yang putih pucat. Perempuan yang lebih tinggi dari aku, lebih langsing, lebih putih, berparas lebih cantik dan ayu, dan sepuluh tahun lebih muda dariku.

Aku duduk dengan tenang, setidaknya aku tak memperlihatkan raut amarah atau luka. Dan mulutku masih terkunci. Saat ini bukan aku yang berkepentingan berbicara, tapi Badra yang merasa penting, sehingga merasa perlu untuk pulang setelah nyaris tiga bulan tak menginjakkan kaki di rumahnya sendiri.

“Mirah, aku akan menikah”

Kini aku mendengar dengan telinga sendiri dari mulut suamiku sendiri. Semua kabar yang selama ini tersebar di tetangga, di seluruh kampung, desas desus keinginan Badra menikahi perempuan yang lebih muda dariku sudah jelas benar adanya. Kini aku meihat sendiri perempuan itu terduduk disebelah suamiku. Aku merasakan jantungku berdegup semakin kencang, namun aku sangat yakin raut mukaku tidak menunjukkan perubahan apapun. Aku tak memberi ijin dan tak juga melarangnya

“ Ambilah semua barangmu yang masih tertinggal. Biar aku yang merawat kedua anak kita dan ibu”

Aku beranjak meninggalkan Badra yang masih terduduk, aku menyalakan dupa, wangi cendanapun tak mampu beri aku tenang. Senja sedang memancarkan semburat merah, jantungku masih bergetar menahan pedih, kuambil air dan membasuh muka siap menyapa Hyang Widhi dan menghaturkan sesaji.

Terdengar bantingan gelas ke dinding, dan teriakan yang berisi isak tangis. Kata-kata makian kasar keluar dari mulut ibu mertuaku untuk anaknya. Aku hanya berharap dia tidak mengutuk anak semata wayangnya. Disela isakan tangis yang penuh amarah dia menyebut nama suaminya, sang almarhum yang juga meninggalkannya dulu bersama Badra untuk menikah dengan perempuan lain.

“Badra!! Kamu telah mewarisi seluruh sifat ayahmu!! Dulu Ayahmu meninggalkan ibu beserta kamu demi perempuan lain, dan kini kamu pun seperti itu meninggalkan istri dan anak-anakmu. Pergi kamu dari rumah ini, ibu tak memiliki anak sepertimu”

Sekali lagi dilemparnya Badra dengan piring meninggalkan suara gaduh yang pecah. Aku meneruskan ritual sesajiku, tanpa turut campur dalam amarah ibu. Suara gaduh belum berhenti, entah apa lagi yang dilemparkan ibu. Aku membayangkan perempuan yang digandeng Badra, mungkin dia telah sembunyi di balik punggung Badra dengan muka yang semakin pucat pasi. Semoga dengan kegaduhan yang tercipta itu Badra tak akan berlama-lama dirumah ini.

Badra meninggalkan perempuannya di teras depan. Aku melihatnya memasuki kamar kami, dadaku berdesir hangat, kamar yang tak pernah aku rubah sedikitpun posisi barangnya semenjak kepergiannya. Ranjang bersepreikan putih dingin, foto pernikahan kami lima belas tahun lalu masih tetap tergantung di dinding kamar, bunga kering yang dia berikan saat hari pernikahan kami tiga tahun lalu masih tersimpan disisi tempat tidurku, lemari yang menyimpan baju-bajunya masih rapi dan bersih. Setiap hari kujaga kamar itu agar tetap tertinggal kenangan kami, aroma yang kami suka. Adakah dia terkenang akan masa indah yang pernah kami lalui saat dia memasuki kamar itu lagi, atau dia telah mampu lupakan semua itu. Saat Badra membuka lemari bajunya, pasti akan menemukan fotoku di pintu lemari, apakah dia akan ingat tentang permintaannya dulu.

“Mirah, mana foto tercantikmu, tempellah di dinding lemari pakaianku, agar jika aku berpakaian selalu tampil ganteng untukmu, agar kau selalu bangga denganku”
Begitulah dia memintaku diawal pernikahan kami. Aku begitu menjaga penampilan Badra, parfum beraroma musk selalu tercium dari tubuhnya, aroma yang kami sukai bersama. Setiap helai pakaian yang penuh sejarah yang kusiapkan penuh cinta. Banyak yang memujinya setelah menikah, dia nampak semakin elegan. Dan saat dia dipuji oeh temannya dia akan berkata

“Aku menjadi seperti ini, karena ada istriku” sembari merangkulku di depan teman-temannya.
Tiada kebanggaan yang menandingi saat-saat seperti itu, pada sebuah masa dia begitu menyanjung dan menghargaiku.

Badra mengambil baju dan semua barangnya kurang dari setengah jam, memasukkan ke dalam tas. Ibu mengeluarkan kata makian yang semakin kasar. Kulirik perempuan muda itu nampak begitu cemas dan sesekali menengok kedalam menanti Badra keluar dari kamar kami. Aku bersyukur anak kami sedang tidak dirumah sehingga tidak menyaksikan semua kejadian ini.

Aku tak beranjak sedikitpun dari sanggah, kulihat Badra menenteng tas dan bergegas berjalan menggandeng tangan perempuan itu dengan cepat, sebelum lemparan tongkat ibunya mengenai punggungnya.

Badra menatap mataku sekilas, aku masih diam tak bergeming hingga suara deru mobil terdengar menjauh. Jantungku berdegup tak beraturan, kaki kurasakan lemas dan air mataku tumpah. Aku terisak sendiri , merintih tanpa terdengar oleh siapapun.

“ Hyang Widhi apa gunaku memujamu setiap hari, derita baru saja kau tunjukkan padaku, mungkin Kau memang tak campur tangan dalam urusan seperti ini”
Isak tangis kucoba hentikan, saat aku mendengar ibu mertuaku menjerit memanggil namaku dengan lantang.

“Mirah, jangan kau biarkan Badra menginjakkan kaki dirumah ini lagi”

“Ibu, dia berhak pulang kapanpun, dia adalah anak ibu”

“Aku tak memiliki anak seperti dia, jangan kau berikan anak-anakmu makan dari uang pemberian dia, warisanku tak akan habis buat cucuku”

“Bu, Badra tetap ayah dari anak-anak saya bu”

“Aku akan menjual rumah ini, mungkin tanah ini telah dikutuk bagi semua lelaki yang ada di tanah in, aku tak mau cucu lelakiku seperti kakek dan ayahnya. Kita akan pindah ke desa lain”

Tak pernah kusangka ibu mertuaku akan semarah itu terhadap anaknya hingga mengambil keputusan menjual tanah warisan ini. Aku tak pernah mengenal mertua lelakiku. Konon katanya mertua lelakiku telah meninggal saat Badra berusia 13 tahun, sejak saat itu Ibu mertuaku membesarkan anaknya sendiri dan tinggal berdua dirumah ini. Tanah ini adalah tanah warisan dari orang tua ibu mertuaku, Ayah Badra ikut dengan keluarga perempuan, namun sejak Badra berusia 10 tahun Ayahnya telah meninggalkannya dengan perempuan lain. Aku yakin ibu mertuaku mempunyai trauma yang dalam terhadap suaminya, ketika melihat anaknya seperti suaminya.

Saat ini Ibu mertuaku telah berusia 55 tahun namun masih cukup kuat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Dia sangat menyayangiku dan menganggap aku sebagai anak sendiri.

“Mirah anakku, jika nanti rumah ini sudah terjual, kita akan membeli rumah baru yang cukup jauh dari desa ini, nanti rumah itu akan kuberikan atas namamu.”

Aku kembali kekamar melihat lemari Badra yang masih terbuka, tak sehelai bajupun ditinggalkannya, bahkan untuk kudekap saat aku gigil merindu dirinya. Parfum musk ditinggalkan olehnya serta foto diriku di pintu lemari. Hatiku semakin kosong dan hampa, sudah tak mungkin lagi Badra akan kembali kepelukanku, dia telah memilih jalan baru dalam hidupnya. Kami tak bercerai secara resmi, namun aku telah menekankan pada anak-anakku bahwa ayahnya telah membentuk keluarga baru.

Foto pernikahan kami yang di dinding tak aku turunkan, masih tetap kubiarkan menggantung seperti sediakala, aku masih tetap berharap Badra akan kembali suatu hari nanti mengecap rasa bahagia bersama. Aku tak menyalahkan Badra sepenuhnya menikah dengan perempuan yang lebih muda, salahku juga menjadikan Badra seorang lelaki yang menarik.

Aku teringat bagaimana kami menempa diri bersama, dan membimbingnya menjadi lelaki yang dewasa dan matang. Badra memang lebih muda dariku 5 tahun. Perusahaan yang kubangun telah kupercayakan padanya. Sakit yang sering menderaku menjadikan hubungan kami semakin renggang ditambah dengan kesibukan Badra yang semakin padat di kantor, mungkin perempuan muda telah memikat hatinya dan memberikan yang tak mampu kuberikan lagi.

Aku tak begitu dendam padanya, kutelan semua sakit dan derita ini, karena cintaku yang begitu besar terhadapnya.
Nyaris enam bulan rumah kami belum juga laku terjual, Badra juga sudah tak pernah datang lagi kerumah ini. Hingga pada sebuah sore saat aku minum teh bersama ibu dia datang sendiri. Dia bermaksud untuk meminta uang kepada ibunya.

“Pongah sekali kamu datang kerumah meminta uang pada ibumu yang sudah renta ini, apakah kekayaanmu telah habis digerus oleh perempuan muda itu?”

“Bu, perusahaanku mengalami kebangkrutan, bukan di kuras oleh istriku”

“Ah, lancang sekali kau menyebut dia istrimu di depan istri sah mu yang telah berkorban banyak padamu dan memberikan seluruh hidupnya untukmu”

“Sudahlah bu, tak perlu mengungkit hal yang sudah lewat, aku sudah tak mencintai Mirah lagi, aku mencintai istri baruku”

Hatiku seperti teriris mendengar perkataan Badra, sudah tidak ada lagi cinta untukku. Dia tak mencintaiku lagi, hanya aku yang terus menyimpan cintanya, berharap suatu hari nanti dia akan pulang kembali dan kami berkumpul bersama, hanya aku sendiri yang masih tinggal dengan cinta yang penuh, dengan harapanku.

Aku duduk mematung disamping Badra, dia menatap lurus ke teras. Ibu mertuaku menghela nafas dan beranjak ke dapur, kudengar suara gelas beradu dengan sendok. Mungkin dia tersadar tak bisa lagi memaksakan cinta anaknya untukku. Sadar bahwa anaknya telah memilih perempuan lain yang (mampu) membahagiakannya. Dia tak mengamuk seperti saat Badra datang berpamitan untuk menikah, tak ada amarah lagi yang keluar dari mulutnya setelah dengan jelas Badra menjelaskan bahwa dia tak mencintaiku lagi.

Ibu datang dengan segelas teh panas dari dapur,dia menyodorkan teh itu kepada anaknya. Anak dan ibu kini nampak melunak, Badra menyeruput teh buatan ibunya. Sedangkan hatiku begitu perih. Aku mmeninggalkan mereka berdua dan masuk kekamarku, menurunkan foto pernikahan kami yang tergantung di dinding lalu membakarnya bersama bunga kering. Biarlah cintaku hangus bersama kenyataan yan telah kudengar dari mulut Badra. Rumah ini harus segera terjual dan kami pergi dari desa ini.

Badra telah pulang tanpa sepeser uangpun dari ibunya. Malam terasa begitu dingin oleh hujan gerimis yang turun sedari petang. Aku akan tidur untuk terakhir kalinya di kamar kami yang penuh kenangan. Lolongan anjing membuatku merinding, hujan turun semakin deras membuatku terlelap. Aku bermimpi tentang Badra, aku melihat dia datang dengan wajah kuyu dan pakaian lusuh.

“Mirah maafkan aku”

Aku terbangun oleh suara seorang perempuan yang memanggil-manggil di depan pintu rumah, aku bergegas bangun dengan dada yang berdegup kencang, dan hati yang miris oleh mimpiku, kenapa aku memimpikan Badra dan dia meminta maaf. Aku membuka pintu rumah dengan wajah yang kaget, melihat perempuan muda itu datang dengan panik dan tangis. Dia berbicara tersendat diiringi isak tangis.

“Badra meninggal”

Aku terdiam mematung, membiarkan air mataku meleleh. Dan kuminta perempuan muda itu membawa jasad Badra kembali kerumah kami. Ibu mertuaku terbangun dan menghampiriku memelukku tanpa kecemasan sedikitpun.

“Kapan jasad Badra akan dibawa pulang kerumah ini anakku?”

“Ibu sudah tahu, kalau Badra meninggal?”

“Aku yang telah membuatkannya teh sore tadi”


Ubud, 25 Maret 2010

Tuesday, May 25, 2010

Kemuning - sebuah cerpen

Kami nampak seperti pasukan kecil dan tak saling mengenal satu sama lain. Sandhi kala, saru muka, walau mata dipicingkan untuk melihat lebih jelas dan lamat, tetap tak membuahkan hasil. Wajah-wajah di sampingku tetap tidak kukenali. Mata kufokuskan pada sosok lelaki jangkung didepanku, dan mencermati setiap katanya.

Senja telah tenggelam, langit tak lagi merah, danau dihadapan kami masih bisu dan tenang, dingin telah menampar kulit mukaku, dan kabut semakin menyamarkan wajah-wajah kami. Burung-burung terbang landai setelah lelah terbang sehari penuh, dan hinggap di pohon-pohon cemara yang berayun lembut.

Aku mengkerut dalam keheningan, kami masih tetap tak menyapa, memilih diam dalam tanda tanya. Danau Tamblingan seperti menenggelamkan kami. Hanya Purnama yang mulai muncul memberi hangat pada hati, memberi terang pada kelam malam.
Tak pernah kumenyangka akan hadir beberapa orang yang tak kukenal dalam pertemuan ini.

“Purnama kapat, kita bertemu malam ini di Danau Tamblingan”
Begitulah pesan yang kuterima pagi ini.
Sebagai murid, aku tak akan pernah mempertanyakan lagi untuk apa pertemuan itu. Kewajibanku hanya datang saat diminta dan mengikuti perintahnya itupun saat aku memang ingin.

Kami berjejer berempat, hanya aku perempuan di deret itu, entah dari mana ketiga lelaki di deretanku berasal. Rambut mereka telah memutih sebagian, aku tidak bisa mengenali asal daerah mereka, karena tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, kami masih bisu dan berdiri menatap mata Paman Guru yang menggelung rambutnya keatas menunggunya membuka suara. Satu perempuan lebih muda dariku berdiri di hadapanku serjajar dengan Paman Guru.

“Anak-anakku, malam ini purnama kapat, aku ingin kalian meningkatkan semedi dan mengurangi nafsu duniawi sesaat. Menyebarlah kalian ke empat penjuru mata angin, berjalanlah menyusuri pantai dan beristirahatlah pada pura yang kalian temui. Lakukan brata makan hanya nasi putih , kacang dan sayur, jangan makan yang bernyawa. Makanlah saat matahari terbit, tengah hari dan sandhi kala, janganlah lebih dari tiga kepel. Purnama Kelima kita akan bertemu di Besakih”
Paman Guru kemudian memerciki kami tirtha. Satu persatu dipanggil dan mereka kemudian pergi. Aku adalah orang yang dipanggil terakhir.

“ Kemuning, apakah kau masih menyangkalNya? Sudah enam bulan kau tak pernah menyembahNya, menyangkal semua kekuatanNya, dan membenci diriku. Hari ini kau datang kembali memenuhi undanganku, apakah kau sudah lelah berlari?”
Aku tertunduk diam, tak menyahut sepatah katapun, mata Paman Guru seperti menguliti setiap fikiranku. Dia memintaku duduk, dan kami duduk berhadapan. Dulu kami selalu duduk seperti segitiga sama sisi, Paman Guru, Ayahku, dan Aku. Ayah sebagai teman seperjalanan Paman Guru kini tak bersama kami lagi, dan hanya Paman Guru yang terus melanjutkan membimbing murid-muridnya.
Langit makin kelam dan bintang nampak bersinar, wajah Paman Guru semakin nyata oleh terang rembulan, begitu pula wajah perempuan disampingnya. Perempuan muda itu kini membakar dupa dan menancapkannya ke pertiwi. Aku tak pernah bertemu dengannya sebelumnya, mungkin dia bergabung saat aku menghilang.

“ Anakku, aku tahu kesedihanmu yang begitu mendalam sejak kepergian Ayahmu. Bukankah aku sudah memberitahumu tiga bulan sebelum kepergiannya? agar kamu menyiapkan diri dan mampu melepas ikatan-ikatan bathinmu, hingga saat dia pergi kamu mampu tegar dan menghanghantarkan kepergiannya dengan doa ?”

“Paman Guru, aku tak mampu, aku tak kuat melepasnya, ikatan kami terlalu kuat dan dalam. Aku masih ingin bersamanya”

“Kamu tak pernah memilikinya, kamu tak punya apa-apa. Sekarang Ayahmu sudah bersih, kewajibanmu telah kamu jalankan, upacara pengabenan dan mendak nuntun sudah kamu laksanakan. Ayahmu sudah menjadi Hyang Guru. Namun, masih ada hal-hal yang belum sempat diselesaikan Ayahmu. Ada hutang janji yang dia tinggalkan. Aku tak akan memintamu menyusuri pesisir laut timur dan berhenti di tiap pura seperti yang aku perintahkan kepada ketiga teman seperjalananmu itu.”

“Jadi untuk apakah Paman Guru memintaku datang kemari?”

“ Aku sering mendatangimu melalui mimpi-mimpi, memberi isyarat-isyarat yang rupanya memang selalu kamu sangkal”

“ Maafkan aku Paman Guru aku memang tak ingin mempercayai lagi dengan apa yang sudah aku jalani selama ini. Kepergian Ayahku adalah sebuah isyarat nyata untukku, dia begitu taqwa, rajin bersemedi, taat melakukan tapa brata, dan berlatih yoga setiap hari. Namun apa yang aku dapatkan? Tuhan juga tetap mengambilnya. Jadi untuk apa aku melakukan semua ini Paman Guru? Jika pada akhirnya semua usaha menjadi sia-sia.”

“ Begitu dalam kekecewaanmu anakku, sehingga kamu lupa tentang apa intisari perjalananmu selama ini, kamu begitu sedih dan merana, apakah kamu pernah berfikir bahwa Ayahmu bahagia meninggalakn jasadnya? Tidakkah kamu sadar bahwa semua tapa brata yang dilakukannya adalah bertujuan untuk mempercepat jalan kepulangannya ke rumah asal? Rasa bahagia abadi yang dia tuju.”

“Aku tak percaya lagi pada semua ini Paman Guru”

“ Kamu memang tak akan bisa menerima dan percaya, aku hanya ingin mengingatkanmu, jika Ayahmu masih hingga saat ini, kamu akan selalu berada di bawah bayang-bayangnya, dan tidak akan pernah berjalan pada jalanmu. Misimu dan misi Ayahmu berbeda, juga denganku. Hanya waktu yang mempertemukan kita, saat ini kita berjalan di jalan yang sama, esok lusa kamu akan berjalan pada jalanmu sendiri, jalan yang akan kamu tempuh seorang diri. Sebelum kita berjalan lagi, ada satu hal yang ingin aku sampaikan. Ayahmu meninggalkan sebuah hutang janji, sudikah kamu membayarkan hal-hal yang masih belum terselesaikan oleh Ayahmu”

“ Demi cintaku padanya, akan aku laksanakan Paman Guru”

“Pergilah kamu sekarang kearah timur, Luh Manik akan menemani perjalananmu. Ngayahlah di Pura Watu klotok selama sebulan, nyapuh dan ngayahin Ida pemangku, Purnama Kelima kamu boleh menemuiku di Besakih, tapi jika tidak ingin menemuiku lagi, kau boleh memilih jalanmu. Apapun jalan yang kamu pilih nanti, yakinilah”

“Baiklah Paman Guru, saya akan menjalankannya”
Malam semakin pekat, dingin telah menusuk tulangku, aku menuntaskan perenunganku hingga subuh. Paman Guru telah pergi, dan hanya Luh Manik yang sedang berjongkok di sisi api unggun. Aku berjalan ke tepian danau, membasuh muka, aku tertegun sesaat melihat bayanganku sendiri yang terpantul, aku masih melihat kedukaan pada wajah itu yang kemudian bayanganku sirna oleh kelebat seekor ikan.
Luh Manik tak banyak bicara, dia sangat betah berdiam diri, sesekali memilin-milin rambutnya dengan mata yang selalu menerawang. Kami memulai perjalanan setelah 3 kepal nasi pertama kami lahap dengan sujud syukur. Hingga tengah hari akhirnya kami sampai di Pura Watu Klotok. Debur ombak yang bergemuruh menyambut kami, matahari begitu terik, dan kemilau air laut menyilaukan mata.
Seorang pemangku menyambut kami, dan memberikan segelas air putih.

“ Kamukah yang akan ngayah di pura ini?”

“Inggih, titiang”

Dia hanya tersenyum dan pergi untuk melayani umat yang sedang bersembahyang.
Jero mangku kembali membawa nasi putih dan kacang saur lungsuran. Kami membasuh muka, sembahyang dan kemudian nunas. Aku termenung lama, disinilah aku akan menghabiskan satu purnama bersama Luh Manik. Aku menatap daun waru yang terlepas dari ranting, satu demi satu berjatuhan, kemudian diterbangkan oleh angin dan saat sore menjelang aku menyapunya dan membakarnya. Begitulah aku menjalankan hariku setiap hari, menghayati waktu dan menyaksikan terlepasnya sehelai daun waru dari rantingnya. Sakitkah atau dia merasakan sukacita terlepas dari ikatan?

Aku mulai menghapal debur ombak yang memecah kesunyian, membenturkan diri pada batu, menyeret pasir kemudian bergumul meleburkan diri menjadi satu dan terhempas kembali. Seperti gemuruh hatiku yang bergumul dengan kedukaan. Di tempat inilah aku akan membayarkan hutang janji sang Ayah, tempat aku membuktikan dalamnya cintaku padanya, satu purnama pengabdianku padanya. Setiap malam aku berjalan menyusuri pantai, sesekali buih ombak menyapa kakiku dan pasir menghisapnya hingga mata kaki.

Kepada Baruna aku memohon ijin menyapa Ayah, pada abunya yang dititipkan kepada Ibu samudra. Adakah kau merindukanku? Atau hanya aku yang selalu sepihak merindukanmu? Apakah karena aku masih mempunyai wujud kepala menjadikanku yang kerapkali memikirkanmu, dan karena kau telah berwujud abu, kau abadi menjadi partikel terkecil? Tak ada lagi sisa rindu untukku.

Pada senja yang menjelang aku berjalan menyusuri pantai ini untuk memepertanyakan tentang dirimu, tentang ketidakadilan, tentang cintaku yang terlalu besar. Pada cintamulah aku bertumbuh bersama semua ingatan, pada derai waktu yang selalu kukenangkan, pada penyesalan bahwa kau tak pernah mengajarkan aku arti perpisahan.

Luh Manik, masih tetap tak banyak bicara, dia telah menjadi tukang sapuh terbaik. Namun pada malam yang pekat ini, dia berjalan mendekatiku.

“Mbok Kemuning, Hari ini malam Tilem, waktu tiang untuk menemani mbok tinggal lima belas hari lagi, Purnama kelima tiang akan kembali ke Besakih menemui Ajung Guru”

Aku tertegun, tak pernah menyangka perempuan muda berparas ayu bersih ini adalah anak dari Paman Guru. Dia memang pantas jika menjadi penerus Paman Guru, dua puluh tahun lagi dia akan menjadi wanita matang yang penuh kebijaksanaan dan kerendahan hati dalam laku. Dia masih sangat muda, namun telah mengabdikan diri untuk menjalankan semua ritual ini. Aku berfikir apakah Luh Manik mempunyai kecintaan yang sama kepada ayahnya seperti besarnya cintaku terhadap ayahku. Apakah jika diusia 27 tahun dia akan jauh lebih dewasa dan tegar menerima kepergian ayahnya. Entahlah, aku masih mempunyai sisa beberapa hari untuk membayarkan semua piutang Ayahku, yang akan aku lakukan dengan sebaik mungkin.

Aku duduk di tepian pantai bersama Luh Manik memandang surya yang tenggelam, ini adalah senja terakhir yang kita tatap di sini, esok adalah Purnama kelima.

“Luh Manik, Kau esok akan menemui Ayahmu pagi-pagi di Besakih?”

“Nggih mbok, Tiang akan berangkat subuh setelah matahari terbit”

“ Bagaimana dengan mbok kemuning sendiri”

“Maaf luh, mbok tidak bisa kembali ke Besakih, mbok akan melanjutkan jalan mbok sendiri. Sampaikan salam hormat mbok dengan Paman Guru”

“Baik, tiang sampaikan”

Matahari telah terbit di ufuk timur, aku menatap kepergian Luh Manik dengan kebaya putih untuk bertemu Paman Guru. Dan akupun menuju pantai, menyapa kembali abu Ayahku pada Ibu Samudra.

“Ibu Samudra, ijinkan aku bertemu ayahku, pertemukan kami, walau aku tak akan menemuinya dalam bentuk abu, tapi dalam wujud badan kasar, aku ingin bertemu dengannya dan menyampaiakan bahwa hutang janjinya telah aku lunasi. Kini biarkanlah aku bersamanya selamanya”

Debur ombak menggulungku, menyeretku dan aku tak merasakan apa-apa lagi, aku melihat Ayah yang tersenyum padaku membuka sebuah pintu besar bertahta emas.

Ubud, 11 Februari 2010
Kadek Purnami

Tuesday, May 18, 2010

Berhenti merasa memiliki sehingga tak kehilangan

Apa yang kita rasakan saat kedua ujung bibir tertarik melebar dengan mata terpicing, tersenyum bahagia, bahkan tebahak oleh hal yang membuat kita senang luar biasa?

Dan apa pula yang dirasakan saat mata nanar berusaha membendung air mata agar tak tumpah, dan bibir menjadi kelu dalam diam?

Dua rasa yang bertolak belakang: senang memiliki sesuatu, dan sedih saat kehilangan.

Memiliki dan kehilangan.

Apa sejatinya yang kita miliki?

Apa pula yang sebenarnya hilang dari kita?

Bukankah tak pernah ada yang kita miliki juga hilang?

Bahkan nafas dan nyawa kita sekalipun tak pernah kita miliki.

Mari berhenti merasa memiliki agar tak pernah merasa kehilangan.


Kadek purnami
Ubud, 18 mei 2010.

Thursday, May 13, 2010

Saat membenci kita kehilangan kesempatan mencintai

“ Aku begitu benci jika harus bangun pagi; akupun kehilangan kesempatan mencintai embun pagi dan kicau burung”

Bukalah mata dan hati, banyak hal indah pada setiap hal yang mungkin awalnya kita benci!


love,
Kadek purnami

Tak ada keberhasilan yang hanya disebabkanoleh diri sendiri.

Mungkin pernah suatu ketika kita merasa sangat bangga pada diri sendiri; baik itu keberhasilan akan sebuah prestasi atau kesuksesan dalam karier.

Kerapkali kita hidup dilingkupi rasa ego akan kebanggaan diri, sehingga lupa perjalanan panjang yg kita tempuh hingga pada akhirnya sampai berdiri pada posisi puncak.

Misalkan semua kebanggaan anda pada diri anda capai pasa usia 35 tahun, saat merasa mapan akan semua hal dalam hidup anda, baik itu pola fikir, prinsip hidup, materi dan keluarga.

Namun, pernahkah anda membayangkan bahwa 35 tahun yang anda lalui itu menghabiskan nyaris 12775 hari, dan 306600 jam! Bayangkan berapa orang yang pernah kita temui sepanjang perjalanan itu?

Saya ingin berbagi bersama anda tentang sekelumit hal yang ada dalam kepala saya. Pernah satu hari saya habiskan untuk berfikir dan membayangkan berapa orang yang sudah berperan dalam hidup saya sehingga saya menjadi seperti sekarang ini.
Orang-orang yang memahatkan sejarah dalam hidup saya dan hal ini pasti terjadi pada anda juga.

Dalam lingkup terkecil adalah keluarga dekat yang sudah pasti sangat berperan, sejak lahir hingga tumbuh kembang menjadi balita, saat kita berada pada titik nol pelajaran pertama untuk hidup. Bagaimana mereka membesarkan kita.
Saya kadang ingin tahu kata apa yang mampu saya ucapkan pertama kali, atau siapa yang menuntun saya saat pertama kali berdiri dan melangkah, bahkan saya ingin tahu apa yang mereka bisikkan pertama kali pada saya.

Bahkan saya ingin tahu siapa guru yang mengajari saya mengenal huruf, membaca dan menulis, siapa orang pertama yang saya anggap teman atau musuh, orang yang pertama saya cintai dan benci.

Terlalu banyak dan memang terlalu banyak orang yang berpapasan dalam perjalanan hidup kita, entah itu hanya sekedar lewat, berhenti dan bercakap hingga menorehkan makna yang dalam pada hidup kita.
Tak dapat dihitung!

Saya kembali berfikir, apa yang menyebabkan kita bertemu dengan orang-orang, ada yang membuat kita tertarik melanjutkan hubungan yang lebih jauh, ada juga yang tidak.
Sehingga, saya sangat menyadari bahwa tak pernah ada sebuah keberhasilan yan disebabkan oleh diri sendiri.

Walau saat anda berhasil anda memang berusaha keras dengan kemampuan diri untuk menjadi berhasil. Tapi jika orang-orang tidak memberikan kesempatan untuk anda, apakah anda bisa ada pada jalan itu?

Semua memberi andil pada sejarah hidup anda. Jadi pantaskah kita menjadi ego dan membanggakan diri sendiri?

Kadek Purnami
Ubud, 13 Mei 2010.

Friday, April 23, 2010

Sebuah perayaan musim 29 tahun hidupku...

Anak Alam brings joy to children of Blandingan
22 Apr 2010

I Wayan Juniartha
THE JAKARTA POST/KINTAMANI

It was arguably the most touching birthday party Kadek Purnami had ever had. She struggled to fight her tears back as she looked at a group of around 50 children sitting before her. The children were dressed in worn-out clothes and most of them apparently hadnt taken a bath for quite some time. Water is a precious commodity in that village and taking a bath regularly is a luxury most of the villagers cannot afford.

Standing next to Purnami was Pande Putu Setiawan, the founder of Anak Alam Community (www. anakalam.org). The children obviously adored this tall, dark-skinned young man. When Pande asked them about their day at school, the children answered spiritedly.

Pande turned to a little girl in the corner and asked her whether she would continue going to. school. The girl, who was carrying her kid brother on her waist, had just finished her elementary education. In an almosfc inaudible voice, the girls answered. "I want to enroll in the juniorhigh school, but I dont think it will be possible. My father will not allow me to [continue going to school]," she said as she tried to comfort her kid-brother.

At that point, Purnami couldnt hold her tears. She turned her face away in a vain attempt to hide the tears. Celebrating ones birthday is supposed to be joyful affair. Yet, this year the native of Padangtegal, Ubud, wanted to celebrate her 29th birthday in a different, more meaningful way. She asked her friends to donate books, foods and used clothes for Anak Alam Community. Purnami admires the works that Pande has done for the children through his Anak Alam Community.

"He is so passionate about helping the kids and I want to do my share," Purnami said. On a cloudy Saturday afternoon, "Purnami and his friends embarked on a trip from Ubud, that would eventually bring them face with face with the less celebrated reality of Bali, a reality comprises of poverty and suffering.

Upon reaching Kintamani, a tourist destination popular for its scenic view, they descended to Lake Batur, the giant caldera of a mighty volcano in ancient times. The villages surrounding the lake are populated by the descendants of proud warriors, whose rebellious nature was thesource of constant headaches for the occupying troops of the might Majapahit empire in the 14lh century.

The decent road ends in Songan, but their trip didnt end in that village, where Pande was born and his father is a well-known and well-respected public medical officer. The small group passed Songan, criss-crossed patches of cultivated land where the locals grow shallots and other seasonal plants, their primary source of income.

The road became narrower and steeper but Pande, standing on the open back of mini-truck, insisted that they must see the children. "I have told the children we will be here. It is very difficult to bring them together because most of the time they will be scattered outside the village, helping their parents Rnd the farm or collecting firewood," Pande said.

The group finally arrived at Blandingan, a small village perched on the northern rim of Lake Batur. Pande called Blandingan "one of the most underdeveloped villages in Batur", Brick houses are a rare sight, most of the houses have woven bamboo walls, dirt floors and thatched roofs.

"There are around 300 households in this village, most of them shallot farmers," an old man with untrimmed moustache and dirty clothes said, also the secretary to thevillage chief. The awaiting children gathered at the village hall and took turns performing before their guests. Some recited poems, a little girl sung a popular love song, others performed a play.

"They are talented, hard-working children. The main problem is they dont have access to education, the only thing that would enable them to break free from the bounds of poverty," Pande said. "There are around 3,000 children in villages spread along the rim of Lake Batur. So far, we have only managed to reach 200 children in Blandingan," he sighed.

Pande, who holds a master degree, has traveled abroad and pub-lished a literary trilogy, believes that bringing education to these children is the only way to give them a better future. One year ago he founded the Anak Alam Community, an organization of concerned individuals, who have put together various educational programs for the Blandingan children, from an English course to a photography workshop. Anak Alam now runs a small children library in Songan and is preparing to launch a computer course.

"All those programs were made possible by donations from generous individuals and institutions across the island. Several people have came here, spent two weeks with the children, teaching them the skills theyuse in their profession and in turn learning from the children about the various aspects of this beautiful place," Pande said.

Now, concerned young men in Sumbawa, Riau and Semarang have established their own Anak Alam Community. A thin curtain of mist descended upon Blandingan when the group prepared to leave. The children shouted and yelled when the car roared. In unison they screamed "I love you". Purnami silently waved at them. "This is the most meaningful birthday I have ever had. I will be back," she said. Photos by I Wayan Juniartha

Tuesday, April 13, 2010

Pada Sebungkus Nasi

Aku membukanya dengan rasa lapar, dan ingin segera menikmatinya. Bau masakan khas padang ini menyeruak menyergap hidungku. Sepotong daging rendang dengan bumbu yang pekat. Aku bersiap menyantap dengan lahap. Pada suapan pertama aku tertegun.
Kepada padi yang telah menjadi beras dan nasi, pada musim manakah dia telah tumbuh, dipetik hingga di panen. Berapa peluh petani telah jatuh berbulir-bulir pada pertiwi yang basah.Mungkin suaranya nyaris hilang serak saat mengusir burung yang ingin memakan bulir padinya.
Kepada sapi yang telah menjelma menjadi daging begitu gurih pada mulutku, berapakah usiamu saat disembelihnya? Seberapa besar ketakutanmu saat pisau penjagal menyayat urat nadimu? Rintihanmu tak sebanding dengan gurih dimulutku. Adakah kau hidup bahagia semasa hidupmu menjadi sapi?
Pada cabai, bumbu rempah, sayur dan semua yang melengkapi. Seberapa jauh perjalananmu yang telah kau tempuh hingga kau bersatu disini, adakah kau tumbuh dalam kekeringan dan dikelilingi hama wereng? Namun kau melewati, berjuang menjadi unggulan.
Adakah dia yang menjual nasi ini dalam keadaan bahagia membungkus untukku?
Pada semua mahluk yang telah berkorban pada sebungkus nasi ini. Padamu aku ucapkan terima kasih dan telah menjadikannya ada untuk aku bersantap siang.

Ubud, 12 April 2010
Kadek Purnami