Tuesday, February 13, 2007

Pengorbanan Si Pohon Untuk Istri Tuanku Raja

Aku dan teman-temanku sudah berumur 15 tahun, aku ditanam oleh orang-orang sewaktu sedang gencar-gencarnya lomba desa. Kini aku tumbuh kokoh dan rindang. Aku selalu memberikan kesejukan kepada orang-orang yang melintas di bawahku. Aku juga rajin menyerap polusi yang dikeluarkan asap kendaraan walaupun kadang paruku rusak sehingga membuat kulitku keriput, daunku mengering, kuning dan layu. Sesekali Pak Wena menyiramku menghilangkan dahaga dan menghanyutkan debu yang menempel atau mencukur dahanku yang menjulang melewati kabel telefon ataupun menjulur ke ruas jalan.

Hari ini aku menyaksikan orang-orang berpakaian hitam keluar masuk halaman Puri, kudengar istri dari tuanku raja meninggal. Aku merasa sedih. Temanku si Bambu telah dipotong dan dikumpulkan hampir menjadi 2 truk, dia berkorban untuk menjadi fondasi Bade yang akan dipakai menggusung Istri tuanku raja ke pemakaman. Orang-orang tidak beraktivitas normal semua disibukkan dan berkorban untuk istri tuanku raja mempersiapkan semua perlengkapan upacara pemakaman. Belum lagi tumbuh-tumbuhan lain yang tegolong si sayur mayur dan si rempah, hampir 1 truk di jadikan lawar. Tak hanya kami dari bangsa tumbuhan, tapi dari bangsa hewanpun juga berkorban, si babi, si bebek dan si ayam entah sudah berapa puluh ekor yang mati untuk melengkapi semua upacara. Sedangkan aku pohon perindang jalan belum berkorban apapun hingga detik-detik terakhir.

Aku kagum dengan apa yang di korbankan oleh si bambu dia berhasil membentuk Bade dengan tinggi nyaris 15 meter dan lebar hampir 7 meter. Belum lagi Naga banda yang terkesan sangat angker, bisik-bisik dari orang, Naga banda ini akan dipakai untuk mengantarkan roh istri tuanku raja ke sorga, tak sembarang yang boleh membuat naga banda, hanya mereka yang dari keturunan raja saja. Kalau begitu apakah sorga diperuntukkan bagi mereka yang berkasta tinggi dan kaya saja? Hari Pengabenan sudah semain dekat. Semua orang melakuan kegiatan dengan tulus sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga puri disamping adat yang memang dianut oleh masyarakat setempat.

Aku mendengar pertengkaran antara anak dari tuanku raja, mereka berselisih pendapat. Dari kabar yang kudapat dari si angin mereka memperdebatkanku.

“ Kita harus menebang pohon disepanjang jalan ini agar tidak menghalangi, karena ukuran bade kita besar sekali, nanti tidak bisa lewat”
“Kenapa harus mengorbankan pohon dan menebangnya? Bayangkan saja pohon seperti ini tumbuhnya lama sekali kalau ditebang sekarang, 15 tahun lagi baru punya yang seukuran ini. Tidakkah ada jalan lain, mungkin dahannya saja yang dipangkas?
“Tidak pokoknya harus ditebang”
“Aku tidak setuju !!”, Kenapa saat kamu merancang Bade tidak megukur kapasitas jalan raya dulu dan disesuaikan agar tidak usah memotong pohon?”
“Aku pokoknya mau membuat bade yang megah, besar dan wah dan tidak kalah oleh puri lainnya”
“Buat apa bade yang besar, toh jasad ibu ratu hanya seukuran kita tak bisakah badenya diperkecil? Apakah jika ukuran bade dibuat lebih kecil akan mengurangi makna?”
“Ah kamu itu tau apa, pokokya aku mau upacara kali ini menjadi yang tebesar karena kita adalah keturunan raja”
“Bisakah semua upacara ini kita buat secara sederhana, kuyakin ibu ratu bisa menerima”
“ Sekarang aku yang berbalik bertanya padamu, Tidakkah kamu malu jika semua dibuat sederhana, martabat keluarga kita akan jatuh? Kamu masih ingat pengabenan ibu suri di puri sebelah yang di hadiri oleh ribuan orang dan memadati sampai desa sebelah dan juga disiarkan di berbagai media? Aku tidak mau kalah dari mereka !!!”
“Terserah kamu saja, yang pasti aku akan lebih suka jika semua upacara berjalan sederhana tanpa mengurangi makna”

Aku tersentak dengan kata terserah, berarti bade itu akan melewati jalan ini dengan ukuran yang besar dan artinya kami harus mati. Kupejamkan mata sambil menangis bersama teman-temanku mendengar denging suara mesin pemotong pohon yang menderu. Itu berarti waktuku telah tiba, satu persatu kusaksikan teman-temanku roboh langit biru tampak jelas. Tak satupun diantara teman-temanku yang selamat berdiri kokoh. Mereka semua tumbang seiring pengorbanannya terhadap istri tuanku raja.

Itulah cerita pengorbanan keluarga kami, pohon yang yang di potong saat upacara pengabenan istri tuanku raja. Aku selamat tidak dipotong karena aku berada diluar jalan tersebut, kini setelah pemerintah kota mendapakan kritikan dari berbagai masyarakat, Pak wena kembali membawa teman-teman untukku dan mereka ditanam kembali disepanjang jalan raya, teman-temanku masih kecil dia berukuran dengan tinggi 50 cm dan masih harus di pagari bambu agar tidak diusik oleh ayam dan anjing yang jahil. Mungkin 15 tahun lagi mereka akan tumbuh seperti aku.
Tapi apa yang terjadi jika anak dari tuanku raja meninggal? Apakah teman kecilku akan berkorban kembali sama seperti teman-temanku yang dulu? Semoga saja saat itu tiba semua upacara bisa dilakukan dengan sederhana tanpa mengurangi makna dari upacara itu sendiri.