Monday, December 18, 2006

Photo Diri

Mengabadikan moment dan perkembangan diri melalui jepretan kamera merupakan hal yang sering dilakukan sebagian besar orang. Menyenangkan sekali ketika suatu hari kita membuka kembali album foto yang bercerita tentang diri dari waktu ke waktu serta berbagai moment yang membawa kita tercebur ke dalam kenangan masa silam dalam putaran kurun waktu yang terlewati. Mengenang wajah diri dari masa kecil yang polos, masa remaja yang penuh gaya dan ekspresif hingga sebuah masa yang tak terhindari saat munculnya kerutan di sudut mata, bibir dan dahi.
Tapi pernahkah kita menyangka bahwa masih ada orang yang tidak mempunyai selembar foto sekalipun di jaman seperti ini? Percayalah teman, masih ada orang yang belum bisa mengabadikan momen berharga dalam hidupnya, sekalipun itu hanya pas photo hitam putih berukuran 3 x 4 cm prasyarat administrasi di sekolah dasar. Ternyata aku masih menemukan orang yang kurang beruntung tersebut.

Sore ini aku mencoba kamera baru seorang teman seri Nikon D 200, aku arahkan jepretan kearah seorang bocah yang sedang menyapu halaman rumahku. Dia adalah bocah titipan yang tak mempunyai ayah, ibunya menitipkannya dirumah kami mengingat kondisinya yang tak bisa lagi bisa menanggung hidupnya. Bocah yang sederhana tak banyak bicara namun suka sekali bernyanyi di kamar mandi dan seketika gagap jika ada orang yang mengajaknya berbicara. Bocah itu tersenyum malu serta merta mencuri pandang dari sudut matanya ketika dia tahu aku mengambil gambarnya , satu jepretan close up yang cukup bagus aku dapatkan. Aku memanggilnya dan memperlihatkan gambar dirinya, dia hanya tersenyum malu tanpa komentar sedkitpun.
“ Nanti aku cetak foto ini untukmu dan akan kubingkai dalam frame kaca”
Kataku padanya.
Sekali lagi dia hanya tersenyum dan matanya berbinar menandakan hatinya yang senang. Setelah selesai sedikit editing dan membelikannya frame, kuberikan foto itu padanya.

“ Ini hadiah untukmu, bawalah nanti saat kau pulang kampung dan perlihatkan pada ibumu”

“T..t..t..terima kasih kak”

Sahutnya gagap, dan dia tak hentinya memandang foto tersebut.

“ Kak, ii..i..ini aa.. aa..adalah pertama kali aku melihat diriku dalam foto, aa..a. aku belum pernah mempunyai foto sejak dulu, i..i..ibu pasti senang”

“ Ya, bawalah kalau kau pulang kampung dan minta ibumu memasangnya di dinding rumahmu “

“uuhhmmm ..aaa..aa.pakah hharus di dinding kak?? a..a..aku ttt..tt..tidak mempunyai dinding dirumah, kk..k..kami hanya mempunyai satu buah gubuk saja termasuk dapur. i..i..ibu biasanya tidur di da..da..dapur”

Hatiku langusng terenyuh, seburuk itukah keadaan keluarganya. Tuhan berikanlah kami kekuatan untuk terus menjaganya dan meringankan beban ibunya. Aku berjanji akan menjaga bocah ini.

my back

70 x 90 cm
Hasil goresan kedua menggunakan media oil on canvas yang mengangkat objek seorang wanita.

Sang Budha

60 x 30 cm
Sang Budha merupakan hasil goresan pertamaku.
Melalui medium Canting dan lilin kucoba mengaplikasikan teknik batik.
mencoba menyatukan hati dan tangan dalam kesunyian budha.

Peagnue de Penyu

Dedicated to Isabelle

“ Bonjour Mademoiselle “

Sapa lelaki tua itu setiap hari sembari menikmati sarapan pagi ditemani istrinya tersayang. Kopi pekat tanpa gula dan telur yang direbus selama 3 menit tidak boleh lebih atau kurang sudah di hapal dengan baik oleh juru dapurku. Mereka hampir menghabiskan seluruh waktunya di rumah kami sejak tiga tahun belakangan ini. Terkadang mereka pergi sesekali ke Perancis mengunjungi menara Eiffel dan sanak saudranya atau ke Singapura hanya untuk memperpanjang visa turisnya. Monsieur Jendral Patrice adalah panggilan kebanggaannya, lelaki kurus jangkung berambut putih yang renta, dia diemani seorang perempuan tambun paruh baya berhati mulia yang selalu mencintai dan setia melayaninya. Lelaki jangkung tersebut menikahi Madame Evelyn sepuluh tahun yang lalu, saat lelaki itu di vonis akan meninggal dalam jangka waktu lima bulan karena penyakit kanker yang di deritanya sejak 12 tahun yang lalu. Empat orang dari lima pasien kanker yang ditangani oleh dokter tersebut telah berpulang sesuai dengan vonis diberikan oleh dokter. Namun lelaki jangkung tua ini masih bisa berjalan, melucu dan beraktivitas dalam kerentaan hingga hari ini dan berharap esok pula.

“ Aku ingin meninggal di tempat yang aku senangi dan disaksikan oleh kawanku”
Itulah penggalan surat yang dituliskan kepada keluarganya dan dengan keteguhan hati dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di desa Ubud.

Mendengarkannya berbicara tak hanya memerlukan kepekaan telinga namun juga harus memerlukan kepekaan mata untuk membaca bahasa tubuhnya. Bukan lantaran masalah bahasa yang berbeda, namun karena suaranya nyaris hilang seiring dengan berbagai therapy yang dilakukannya selama masa pengobatan. Badannya semakin kurus dan tak pernah bisa makan makanan padat, semua makanan yang masuk ke perutnya harus melalui proses di blender. Satu butir nasi menyangkut di tenggorokannya akan membuat kami semua pucat pasi karena dia tidak akan pernah bisa bernafas lagi. Kondisi kesehataannya semakin parah ketika dia mendengar kematian adik perempuannya tersayang “ Isabelle” yang meninggal karena serangan jantung. Sungguh tersiksa sekali melihat keadaannya. Dia tak pernah mau ke dokter sejak vonis kematian dokter meleset.

“Aku hanya ingin menikmati sisa hidupku saja, aku ingin bebas “

Katanya dengan penuh keegoan dan keangkuhan. Kini hari – harinya hanya diisi dengan membaca buku, menonton televisi ditemani berbotol-botol beer dan tembakau linting.

Hari ini dia merasa bahagia luar biasa. Restoran barunya telah selesai di bangun dan siap beoperasi, malam ini kami mencoba beberapa menu favorite, sembari menghabiskan sisa wine dia mengambil tanganku serta merta mencium dan mengajakku berdansa dalam sebuah lagu berbahasa perancis. Dalam aluanan musik dia berbisik padaku.

“ Aku sekarang merasa bahagia sekali, jika Tuhan meninginkanku saat ini, aku telah siap. Restoran ini kubuat sebagai persembahanku kepada Isabelle yang lebih dahulu meninggalkanku dan juga untuk istriku tercinta Evelyn. Dia berkorban banyak untukku dan keegoanku, dia rela menutup restorannya di perancis guna menemaniku melewati perjuanganku melawan kanker. Untuk mereka semua ini aku wujudkan.”

Binar matanya memancarkan kebahagiaan dan kepasrahan.
Aku hanya tersenyum dan berbisik kecil

“Patrice, kami masih senang bersamamu. Jangan buru-buru menghadapNya”

Merde, Peagnue de Penyu !!!
Sante…!!! A La Votre !!!! Cheerss !!!