Friday, February 29, 2008

Rindu

Rasa yang tak tertahan

Ingin sekali menatapnya

Menyapanya

Memeluknya

Ucapkan kata sayang padanya

Kucari,

Entah dimana

Tak dapat kutemukan

Kukembali terduduk

Mengingatnya

Dalam mata yang terpejam

Dia ada disini

Di dalam darahku

Di dalam hatiku

Ada dalam setiap detak jantungku.

Dia ada bersamaku

Dia tak dapat kutemukan dalam wujudnya

Kubakar sebuah dupa

Kubaca sebait doa

Yang kan hantarkan salam rinduku

Pada dia

Sang atman

d.purnami

Jumat, 29 Februari 2008

I miss u dad

Monday, February 25, 2008

Pahlawanku berpulang di bulan Februari

Dedicated to my beloved father

Februari – senyatanya merupakan bulan penuh kasih sayang, romantisme, mawar dan warna pink mendominasi dimana-mana sebuah peringatan perayaan cinta dan kehidupan.

Di bulan februari ini blog saya terasa gelap, tak ada satupun petikan cerita romatis atau puisi cinta yang merekah. Hanya kesedihan dan kepedihan hati yang mampu tertulis.

Blog di bulan Februari ini saya dedikasikan untuk Ayah saya – Made Subrata- yang telah berpulang kerumah Tuhan pada 11 Februari 2008 pk. 12.00 wita.

Pahlawanku

Dia telah jadikanku seperti sekarang ini

Hanya memberi

Tak pernah mengharap kembali

Tak memberi kesempaan untuk mengembalikan

Dia hanya ingin memberi

Menjadikan tiada menjadi ada

Dan kemudian pergi untuk selamanya.

Dialah pahlawanku

-----------------------------------------------------------

27 tahun Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk berbagi cerita kehidupan dengannya. Berbagai kenangan, kehangatan cinta dan kasih tlah di rasakan. Kalau boleh dikatakan inilah masa kebahagiaan saya yang indah. Dia merupakan sosok ayah, guru dan sahabat bagi kami anak-anaknya. Tak pernah disangka akan berpulang secepat ini, disaat saya belum sempat membalaskan semua kebaikannya.

Inilah misteri Tuhan yang dari dulu saya takuti, ketika orang terkasih harus berpulang dan lenyap dari pandangan kasat mata. Hangus menjadi abu oleh api, lebur bersama air kembali menyatu menjadi tunggal.

Kematian memang bukan hal yang perlu ditakuti, namun rasa kehilangan yang dalam memang menakutkan bagi saya. Walau sudah 2 minggu duka mendalam masih terasa.

Semua menjadi tidak normal, kepala seperti di kaki , kaki dikepala.

Konon, keiklasan adalah obat dari semua kepedihan.

tapi saya ingin merasakan dulu kepedihan ini.

Saya akan kembali jika saya sudah mampu melihat bahwa matahari memang bercahaya.

Salam duka,

Kadek Purnami.

Kadek Purnami dalam Goresan Tangan Made Subrata

In Memoriam

Obituari Perupa Made Subrata

Menggurat Pesona Puitik Perempuan Bali

Oleh Wayan Kun Adnyana

Tidak banyak perupa Bali yang intens menyusuri sisi karismatik wajah ayu perempuan Bali. Andaikan pun ada, barangkali tak sedalam bagaimana perupa kelahiran Padangtegal Kaja, Ubud, (18 Oktober 1950), Drs. I Made Subrata, menyusuri tepian kedalaman puitik dari wajah-wajah berkarisma perempuan berkulit sawo matang ini. Paras perempuan Bali dalam kanvas-kanvas alumnus PSRD Universitas Udayana itu, tidak saja memancarkan kecantikan fisikal yang gampang terkenali secara kasat mata, melainkan pula ‘’cantik’’ dalam laksananya sebagai energi puisi yang senantiasa memancar. Perempuan Bali, sebagaimana diamini banyak pengamat sosial-budaya, memang digambarkan sebagai sosok yang memiliki kecantikan berasa; suatu kondisi menyempurna antara kecantikan wadak dan psikis: entah karena kulitnya yang tidak terlalu putih dan juga tidak gelap, rambut berombak, hidung merekah, dan juga pancaran mata yang menusuk pandang; pula melekat kecerdasan intuitif yang mengundang kagum. Singkatnya—kalau boleh memuji—perempuan Bali adalah senyata puisi indah yang hidup dan selalu menyentuh.

Oleh perupa Made Subrata, cantik perempuan Bali teramu dalam kecakapan mengolah dan mengurat warna; menyusuri nilai psikologis dari warna-warna, berikut memoleskan kembali keindahan wajah perempuan Bali dengan sentuhan personal yang kuat. Perupa yang sekaligus pendidik di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) kini SMKN 1 Sukawati itu memang tidak memakai teknik realistik biasa (fotografis), melainkan menunjuk ke arah eksplorasi kreasi teknik ekspresionistik; menggapai impresi nyata tentang karakter perempuan cantik dengan polesan-polesan pisau palet yang bebas dan ekspresif. Hanya pada beberapa sentuhan akhir—terutama pada garis wajah, dan ornamen-ornamen pakaian Bali: motif Tenganan, Asak-Bungaya—tetap terjaga lewat polesan kuas yang terkontrol. Hingga lahirlah karya-karya bersubjek ‘’Perempuan Bali’’ yang tidak saja cantik secara wadak, melainkan juga memancarkan impresi psikologis yang menyentuh.

Biasanya, Made Subrata menjadikan anak perempuannya Kadek Sri Purnami—perempuan Bali yang menjadi salah satu penggerak Ubud Writers Festival—sebagai model karya-karyanya. Bahkan sedari Kadek baru menginjak remaja. Barangkali oleh dua perempuan yakni, istrinya Ni Ketut Rini, dan anak perempuan satu-satunya itulah Made Subrata berhasrat untuk selalu menghormati perempuan, menempatkannya sebagai sosok yang memesona dan luhur.

Pada era 1980-an adalah masa di mana karya-karya Made Subrata menuai puncak pengakuan. Melenggang dalam berbagai forum pameran bergengsi di berbagai kota di Indonesia. Begitu pula diamini pasar seni rupa yang menggema sebagai boom seni lukis Indonesia pertama pada masa itu. Keberhasilan meraih reputasi dan juga karya-karyanya yang senantiasa diburu, toh tak membuat perupa yang aktif bermasyarakat sebagai Ketua Sabha Desa Pakraman Padangtegal, termasuk pula pernah memangku kepercayaan sebagai wakil bendesa adat itu, tak hadir sebagai sosok perupa yang obsesif, meledak-ledak, apalagi harus eksentrik. Made Subrata adalah sosok perupa berkepribadian tenang, menyikapi tiap persoalan kreatif dengan rasa empati, hingga di ruang kelas, bagi murid-muridnya—penulis adalah salah satu murid bimbingannya sewaktu di SMSR dulu—adalah sosok yang menginspirasi, sekaligus guru yang berwibawa.

Sebagai perupa, Made Subrata memang hanya menjalankan keinginan intuisinya. Dia bekerja, selama cita-cita artistiknya menghendaki. Walau pasar memburu, dia tak sudi berpaling, kalau memang saat itu keinginannya hanya untuk merawat tanaman angrek yang kini marak menghiasi pekarangan rumahnya yang asri di Padangtegal, Ubud, dia akan melakukannya dengan penuh setia. Memang tak ada kata setengah hati bagi perupa yang menata rapi brewoknya itu. Begitu pula ketika berkehendak untuk melukis, sudah pasti tak ada yang mampu menghentikannnya. Begitulah jalan seniman menuaikan fitrah hidupnya; berjalan tanpa ada yang bisa menyangkal.

Kabar duka, Senin, 11 Februari 2008, pukul 12.00 wita, datang lewat sms, mengabarkan perupa yang juga guru dengan pribadi memesona itu telah berpulang. Betapa terkejutnya saya membaca kabar yang tiba-tiba itu, apalagi bagi keluarga yang ditinggalkan. Namun di atas segala-galanya begitulah Ida Sang Hyang Widhi berkehendak atas perupa yang di masa hidupnya telah memberi sumbangsih artistik bagi khasanah perupaan seni rupa Bali itu untuk kembali padaNya. Selamat jalan Pak Made, publik seni rupa Bali pasti akan selalu mengenangmu…

Wayan Kun Adnyana, pengajar di FSRD ISI Denpasar, mahasiswa Paska Sarjana ISI Yogyakarta.

Ubud loses Made Subrata, an artist and a teacher

Features - February 21, 2008

I Wayan Juniartha, The Jakarta Post, Ubud

The darkened sky on that somber Monday afternoon was soon followed by a strong wind that swung the trees back and forth. The wind didn't give way even after a torrential rain hit the earth with a ferocity that drowned out any other noise.

The gloomy weather provided a perfect backdrop for the mourners, who huddled together at various places in the house. In the vacated car garage next to the house, a group of women worked in silence, preparing the intricate ritual offerings for the cremation.

A few meters to the east, in the open pavilion before the rural family's shrine, the body of Made Subrata lay on an elevated wooden divan. It was draped with sheets of batik in subdued colors and faded patterns.

Sitting on the divan was Kadek Purnami, Subrata's second child. She tried to be brave, but her flowing tears and murmuring cry betrayed her broken heart.

Every time a member of the banjar (traditional neighborhood organization) approached the body to offer condolences and take a last look on the deceased's body, Purnami's cry grew stronger. Her husband, Putu Adi, tried to comfort her to no avail.

"The rain, the wind ... it is as if Mother Nature greets my father upon his return journey to his home up there," she said.

At that time she never knew how perfectly accurate her statement would be.

Made Subrata passed away at noon on Monday, Feb. 11, at the Gianyar hospital after being treated for several days for pulmonary infection, diabetes and high blood pressure.

For his family, it was a shockingly unexpected loss. Born in 1950, Subrata was only 58-years-old when he left his earthly existence.

He hadn't displayed any sign of serious health problems prior to his brief hospitalization in Gianyar. Naturally, his family struggled hard to cope with the difficult reality.

His wife Ni Ketut Rini, his oldest child Gede Suryagiri and his daughter-in-law Koming were purposefully drowning their sorrow in the hectic preparations of the cremation ritual while Subrata's only grandchild Gede Galang was still believing "Grandpa flies to heaven and will be back soon".

The death of Subrata was more than just a personal loss for one family. Having served as the vice bendesa (chief) of Desa Pekraman (traditional village) Padangtegal, a village of four banjar and 2,600 residents, Subrata was an influential figure in his community.

"Until his death he was still serving as the head of the village council," Purnami said.

"In fact, before he got sick he held a meeting of village elders here in this house. They discussed the plan to conduct a mass ngaben (cremation) next July. Little did we know that our father would be part of the ngaben, instead of being the organizer," she added.

As one of the village's leaders, Subrata played a pivotal role in shaping the social dynamics of Padangtegal, particularly in its relationship with the tourism industry. The village lies in Ubud, one of the island's most beautiful tourist gems.

"Subrata was the co-founder of Bina Wisata, a foundation that works to ensure that any tourism development in this area is beneficial to the village, local people and local cultural heritage," another co-founder of Bina Wisata, Nyoman Suradnya, said.

The foundation later transformed Padangtegal's Monkey Forest into a profitable ecotourism destination. It is arguably the largest community-managed forest on the island.

"The revenue from the Monkey Forest is being channeled back to the community to maintain our sacred temples and fund social activities.

"In the upcoming ngaben, each participating family will receive Rp 5 million in cash assistance from the village to finance the ritual. The money comes from the Monkey Forest's profit and the decision to provide such cash assistance was made during my father's last meeting as the head of the village council," Purnami added.

The people of Padangtegal obviously didn't forget Subrata and the contributions he made to the village.

As the news of his demise spread, streams of villagers flocked to Subrata's house to offer their condolences.

Representatives from four banjar paid a formal visit to the mourning family. Representatives from the neighboring village of Pengosekan were also present, saying the two villages enjoyed a harmonious relationship during Subrata's tenure as the vice bendesa.

Such a large number of visitors was unique because when Subrata passed away none of the banjar in Padangtegal sounded their kulkul (hollow wooden drum) as a sign of mourning due to an ongoing religious festival at the village's temple.

"Usually, if a banjar member dies, the kulkul will be sounded as a sign to the other fellow members to visit the deceased house and give assistance to the mourning family.

"If there is a major festival in the village temple, the kulkul will not be sounded and the banjar's members will have no obligation to visit the deceased's home," Suradnya said.

"But they came nonetheless, and came in such large numbers. That showed Subrata was not an ordinary man," he added.

Art critic Kun Adnyana shared a similar opinion, albeit for a different reason.

"He was a good teacher, an inspiring one. He never forced us to abide by certain aesthetic parameters or a certain school of thought. Instead he always motivated us to find and establish our own, personal set of aesthetic values and goals," he said.

Kun was one of Subrata's pupils during his teaching years at the then Denpasar College of Fine Arts (SMSR).

"A good teacher who is also an accomplished artist is a rare thing to find, and Pak Subrata was an ideal example of that rarity," he said.

Kun said Subrata was a master impressionist who dedicated his aesthetic life to capturing the physical and metaphysical beauty of Balinese women.

"His works are poems of colors and personal interpretations. The women in his canvases are more than just a representation of an actual, living model, but a representation of his romanticized ideas about the beauty of life," he said.

"His death is a personal loss to me, and, I believe, to the fine arts community in Bali as a whole. He set an example of aesthetic freedom, of creating without bowing to the pressure of the market. That's the kind of thing that is difficult to find nowadays," he said.

It was almost 9 p.m. when the procession carrying Subrata's body reached the village cemetery. The weather had been quite calm. When they began to torch the body, though, the weather suddenly grew wilder. Rain hammered down as heavy wind swept the area.

A similar thing happened again three hours later when in the darkest of night they cast Subrata's ashes into the ocean at Sunrise Beach in Sanur. The quiet ocean turned violent and a tall wall of white wave hissed loudly as it seized the ash container from Suryagiri's hand. In an instant, Subrata's last remains merged with the elements of nature.

Senin Ketiga

Ini adalah senin ketiga,
kukenakan baju yang sama
kumulai aktivitas pada waktu yang sama
dadaku berdegup
seperti senin waktu itu
ingin kuhalau
namun kubiarkan saja


Sengaja aku betandang kerumahnya
disambut sanggah urip di depan gerbang
memastikan sebuah kenyataan pahit
tiada sapaannya, tiada tawaran secangkir kopi
kamarnya kosong dan dingin
menatap anggrek yang kian layu
rumah ini hampa.


Sudah belasan hari terlewati
nyaris setiap malam
dihadirkan mimpi tentangnya
nyaris dalam belasan hari
bertemu dengan muka yang suram
entah ibu, bibi, kakak atau siapa
semua nampak sendu


11.30
Kegelisahan mencurah
kututup mata dan telinga
namun,
tayangan itu kembali hadir
berulang-ulang
nyaris seperti senin waktu itu
hiruk pikuk pun terngiang ditelinga
sama seperti keriuhan senin lalu.
semua nampak jelas dipelupuk mata
cerita yang menjadi kompleks


Harusnya,
hari ini kami bersuka cita
berkumpul bersama
dalam sebuah perayaan
untuk si sulung
menjejak 31 tahun
yang kehilangan seorang pahlawan.


Senin ketiga
terasa begitu dingin
sebuah hari kematian
orang terkasih kami.


d.purnami
Senin, 25 februari 2008
Untuk Gede- sedarah daging

Tuesday, February 12, 2008

Amor Ring Acintya

Tepat tengah hari
jarum waktu menunjukkan pk 12 siang
suasana riuh
hanya riuh saja
tak ada tenang atau hening sedikitpun
di hati maupun diluaran sana

Tangis berderai
tiada henti
berbulir-bulir air mata
berjatuhan
di pertiwi

Kepala serasa penuh
fikiran berkecamuk
hatipun remuk
dada sesak menyesak
jantung berdegup kencang

Waktu terasa berhenti
tak ada batas mimpi dan nyata
berharap ini mimpi
dan bukan nyata

Seperti tertampar
aku tersadar
ini nyata
bukan mimpi

Obor telah padam
tiada setitikpun nyala
gelap gulita
tak dapat kulihat

Hatiku kosong
windhu..
hampa
tiada jiwa
tiada nyala

Dia telah pergi
nyala jiwaku padam
akupun seperti mati
berdiri kaku
terpeku

dia yang mengalir dalam darahku
dia yang menjadikanku seonggok daging hidup
dia yang menjadikanku ada
dia yang menjadikanku punya rasa
dia adalah jiwaku
dia adalah denyut nadiku
dia adalah orang yang paling kucinta.

Kini,
dia terbujur kaku didepanku
berpulang ke rumah Tuhan
menyatu dengan sang pencipta
menuju kesempurnaan

Dalam senyum yang dalam
iklas meninggalkan duniawi
berjalan tanpa menoleh kebelakang
dia telah pergi untuk selamanya.

Tubuhnya,
telah menjadi abu oleh sang Agni
melebur dengan sang Baruna
dihanyutkan oleh sang Wisnu

Hantarkan,
ruhnya menuju rumahNya
sang Surya sinari jalannya
peganglah tangannya agar tak tersesat
agar dia temukan rumah sejatinya.

Hanya dalam 12 jam
dia telah lenyap
tinggal nama dalam benak
ada sisa kenangan yang hangatkan hati
juga kisah hidupnya yang bangkitkan semangat
dijiwa dia akan tetap bersemayam

ini adalah matahari pertama dalam hidupku
yang tak dapat kulihat cahayanya

ini adalah hidupku yang paling gelap
tak ada setitikpun lentera menerangi

Pada pertiwi aku bersimpuh
kuatkanlah aku untuk tetap berpijak di bumi ini

dia telah terbang
tinggi
dan sempurna bersama cahaya.

Suatu hari aku akan menatapmu kembali
Cahayaku

d.purnami
11 Februari 2008. pk 12 wita
Untuk sang Ayahanda tercinta
selamat jalan.
Amor Ring Acintya

Friday, February 8, 2008

hening ... riuh...

Hening..
riuh…
sebentar hening, sebentar riuh..
layaknya suara hati
tenang sesaat, bergejolak kemudian.

Malam memang tak berbintang
juga tak ada bulan
hanya pekat yang tersisa.
dan angin yang hampa

Langkah kuseret disepanjang lorong-lorong
di iringi dengkuran halus yang terdengar sesekali
tubuh hanya digeletakkan diatas lantai yang dingin
beralaskan tikar dalam gulungan kecemasan

Langkahku terhenti pada sebuah ruang
lampu temaram dan hening
hatiku bergejolak
kutahan bulir air mata
agar tak meriuhkan keheningan.

Kutatap,
lelaki tua itu terbaring
muka pucat
mata yang suram
jangut memutih membuatnya tampak layu
dalam keheningan

Disisinya,
wanita tua itu
terpekur terlungkup
nafas penuh keresahan
tetap menggenggam tangan sang lelaki tua
dalam keriuhan bathinnya

Mereka,
adalah obor jiwaku
sukmaku bertaut dengan keresahannya
nadiku dipicu detaknya
padanya
aku bersimpuh
menggumulkan asa
agar kurasa hening serta riuh hatinya.

d.purnami
Sanjiwani, 7 Februari 2008.