Tuesday, February 27, 2007

Waktuku Telah Tiba - Cerpen

Balipost, 25 Februari 2007

Hari minggu pagi ini secangkir teh hangat menjadi spesial ketika saya membuka halaman demi halaman Balipost, tak hanya karena saya memang sering tersenyum membaca tulisan seorang teman wartawan dalam Bali Orti yang mengisi kolom Bungklang Bangkling, tapi senyum saya semakin merekah saat cerpen pertama yang saya kirimkan ke redaksi Balipost dimuat.
Cerpen Waktuku Telah Tiba, menjadi sebuah momentum komitmen dan kesiapan bagi saya untuk bertanggung jawab pada dunia tulisan. Cerpen tersebut awalnya berjudul "Bocoran Ilahi " yang telah saya postingkan di blog ini, kemudian pada tanggal 14 Februari saat semua orang sibuk merayakan cinta dan kehidupan, saya bergulat dengan bocoran ilahi dengan pemotongan dan penambahan kalimat disana sini dan akhirnya menelorkan judul baru waktuku telah tiba.
Untuk sahabat-sahabat pengunjung blogger Galangbulan cerpen waktuku telah tiba saya postingkan kembali.

Waktuku Telah Tiba

Oleh : Kadek Sri Purnami

Ruang konsultasi lelaki itu tak pernah sepi di kunjungi oleh mereka yang ingin menanyakan tentang ramalan nasib, peruntungan, jodoh, dan rejeki. Telah empat jam aku menunggu dia selesai meladeni para kliennya. Aku datang bukan untuk diramal namun karena aku telah lama tidak bertemu dengannya. Kupandangi foto lelaki itu diruang tunggu. Hampir tiga tahun aku tidak bertemu dengannya, badannya sedikit kurus, uban putih mengkilat menyela diantara warna hitam. Dia nampak semakin dewasa, tampan dan mapan. Lelaki yang pernah mengisi hatiku selama enam tahun dan akhirnya kulukai hatinya. Tak pernah sedikitpun aku menyangka dia akan menjalani profesi sebagai seorang peramal, waktu telah merubah hidupnya. Aku teringat saat mendampinginya wisuda untuk meraih gelar sarjana hukum.
Seorang asistennya mempersilahkan aku masuk setelah seorang kliennya keluar dari ruangannya. Hatiku sedikit bergetar ketika aku memasuki ruangannya. Udara dari pendingin ruangan menyergap dan langkahku sedikit ragu untuk menemuinya.
“ Hai” sapaku canggung dan membuatnya menengadah dengan tatapan tak percaya dalam rasa keterkejutannya.
“ Maya itu kamu? apa kabar? kenapa tumben, ada yang bisa aku bantu? “
“Kabarku Baik, aku kebetulan lewat dan ingin mengunjungimu”.
“Kamu datang sendiri, suamimu dimana?”
“Banyu sedang keluar kota”
Ada nada yang mebuatku tidak enak hati saat mendengar dia menanyakan Banyu. Tak mungkin aku berani mempertemukan mereka. Banyu tidak pernah tahu tentang masa laluku dengan Angga. Ini adalah pertemuanku yang pertama dengan Angga setelah menyandang status istri dari Banyu, seorang pengusaha kaya dari keluarga terpandang. Suasana terkesan kaku diantara kami. Tak berani aku menatap mata Angga, aku takut terseret kembali kepada perasaan yang tak pernah kulupakan.
“ Maya, sepertinya suasana ruang kerjaku kurang nyaman untuk kita mengobrol, kalau kamu tidak keberatan aku ingin mengajakmu makan malam. Aku sadar berlaku kurang sopan terhadapmu, mengajak istri orang untuk keluar makan malam saat suaminya sedang tugas keluar kota”
“Tidak apa-apa”

Aku menunggu dia merapikan berkas-berkasnya. Aku memilih untuk tidak satu mobil dengannya agar aku dapat menenangkan gundahku, kuikuti mobilnya yang merayap di malam kota ini. Aku masih tidak percaya dengan tindakanku yang tidak terkontrol untuk menemuinya tanpa alasan yang tepat. Hasrat sesaat yang ingin mengetahui kabarnya begitu menggebu. Angga berbelok menuju salah satu restoran yang tidak begitu terkenal yang jauh dari keramaian. Kuyakin dia juga ingin menjaga statusku sebagai nyonya Banyu. Kami duduk saling berhadapan, dia menatapku dengan hangat, sama dengan sekian tahun yang lalu. Kuredam rasa yang kembali bergetar, sepintas kulirik cincin yang melingkar di jemari Angga. Mungkinkah dia telah menikah tanpa aku ketahui.
“ Maya, bagaimana dengan kehidupan cinta dan keluargamu ? Angga mebuyarkan lamunanku.
“ Kehidupanku biasa saja, keluarga baik dan sehat”
“ Maaf, apakah kamu sudah mempunyai anak dari buah perkawinan kalian?”
“ Belum”
“ Kenapa, apa kamu masih mau berkarir terus seperti cita-citamu dulu?”
“Haruskah aku menjawab?” tanyaku pelan
“Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu tidak nyaman”
“Terus ada angin apa kamu tumben menemuiku setelah sekian lama?”
“Masa kamu sebagai peramal tidak tahu tentang kedatanganku”
“Jangan ungkit-ungkit masalah profesiku disini, walaupun aku sebagai peramal aku tidak mendapatkan pawisik kalau aku akan bertemu denganmu”
Tawanya renyah berusaha mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung.
“ Angga, maaf apakah kamu sudah berkeluarga?”
“ Kamu melihat cincin ini? Ya, aku telah menikahi seorang wanita setelah 2 tahun pernikahanmu berlangsung yang tanpa undangan darimu.”
“ Kalau boleh tahu siapa wanita yang telah menggantikan posisiku dulu”
“ Dia wanita yang hebat dan manis. Dia menggantikan posisimu, karena kamu telah meninggalkannya”
Aku mencoba tetap tenang dengan sindirannya yang pedas. Wajar saja Angga terluka atas sikapku yang meninggalkannya begitu saja seolah-olah janji dan kata cinta yang pernah terucap tiada arti dan mempunyai kekuatan.
“Apakah kalian telah mempunyai anak?”
“Aku sama sepertimu, belum memiliki anak. Aku telah bercerai. Karmaku hanya sampai disitu denganya, entahlah kehadirannya tetap terasa hampa karena aku tak pernah bisa mencintainya dengan jujur ”
“ Maafkan aku Angga, sejujurnya perasaan bersalah meninggalakanmu masih membuatku tidak enak. Tapi apa yang dapat kulakukan, jika orang tuaku telah mempersiapkan semuanya dan demi nama keluarga aku harus mengikuti kata orang tuaku dengan menikah bersama Banyu. Tak hanya kamu yang sakit, akupun sakit menjalaninya. Tapi aku yakin kamu jauh lebih kuat dariku. Dan saat ini kuberanikan diri untuk menemuimu dengan segala resiko karena aku tak bisa lagi memendam rasa ini.Untuk menemuimu memang harus dengan perjuangan menunggu selama 4 jam”
“Apakah 4 jam terasa berat dan lama bagimu?”
“Ya, pastinya aku harus sabar mengantri diantara sekian banyak klienmu”
“ Tapi pernahkah kamu membayangkan kalau ada orang yang masih tetap setia menunggumu sekian tahun lamanya mungkin hingga esok dan lusa?”
Aku menyadari arah pembicaraan Angga. Dia masih terluka sampai hari ini atas penghianatan cintaku padanya. Dan kini aku kembali menemuinya membuka luka lama
“Angga, maukah kamu meramalku?”
“ Bukankah kamu tidak begitu percaya akan hal-hal seperti ini. Seingatku kamu berfikir sangat logis, tak percaya ramalan.”
“Ya, kini aku ingin percaya, Ayo Angga ramalah aku dan ceritakan padaku hal yang baik-baik saja”
“Baiklah, dari dulu aku memang tidak pernah bisa menolakmu. Semoga aku melihat hal yan baik-baik saja”
Angga meraih tanganku, dan memperhatikan garis-garis tanganku. Sentuhannya begitu hangat mengingatkanku saat dulu kami sering berpegangan tangan. Kucoba menyembunyikan rasaku padanya. Betapa aku masih mencintai dan merindukannya.
“Apa yang kamu lihat Angga?, tanyaku dengan hati-hati
“ Semuanya baik-baik saja, karirmu makin bagus”
“Baguslah”
Angga masih menggenggam tanganku dan kini dia menatap mataku dalam.
“Maya, ceritakanlah padaku dengan jujur masalah yang sedang kamu simpan, kamu tak bisa menyembunyikannya dariku”

Kutarik nafas dalam dan menunduk, hanya Angga yang kupercaya sejak dulu, dan seberapapun aku menyakitinya dia tidak akan pernah membenciku. Karena kutahu betapa besar cintanya padaku.
“ Angga, Aku tidak bisa memiliki anak, aku merasa telah gagal menjadi seorang wanita dan aku ingin bercerai dengan Banyu”
Angga mendekapku dengan hangat dan dalam sambil berbisik
“Maya, perceraian bukanlah solusi dari masalah kalian, aku melihat ada masalah yang lebih berat yang menyangkut tentang dirimu, ceritalah jika kau ingin”
Aku melepas pelukan Angga, dan berusaha untuk tersenyum dan tegar.
“Aku tidak mempunyai masalah lainnya. Hanya itu saja, sepertinya aku harus pulang dulu sudah agak malam”
“Baiklah jika kamu memang tak ingin berkata jujur padaku. Hubungi saja kapan kamu siap jujur padaku. Dan ingat waktu itu akan tiba”

Pertemuanku dengan Angga, membuka kembali kenangan masa lalu dan cinta diantara kami. Aku berusaha menghindarinya setelah pertemuan itu, karena aku takut Banyu mengetahui pertemuan kami. Hari ini aku libur dari kantor karena kondisiku tidak sehat. Kubuka laptop sekedar mengecek email yang masuk. Satu pesan kudapati dengan judul “ Waktu itu telah tiba”

“ Teruntuk Maya,
Ada satu hal yang belum aku sampaikan padamu tentang sebuah rahasia Tuhan yang disampaikan padaku. Jujur, tak kuasa aku menyampaikan padamu karena aku tak ingin pertemuan itu menjadi yang terakhir. Seperti biasa kamu akan selalu datang dan menghilanng dariku sesuka hati. Aku ingin bertemu kembali denganmu, tapi aku yakin tak mungkin. Kamu tak pernah bisa membohongi dan menyimpan rahasia dariku, kamu lupa kalau aku adalah peramal yang bisa membaca jalan kehidupanmu. Masalahmu tak hanya karena kamu tidak dapat memberikan keturunan dan akan bercerai dengan Banyu. Tapi, kamu sedang sakit, dan niat cerai itu adalah permintaanmu karena ketakutanmu pada penyakit yang kamu derita. Aku tahu kamu ingin meninggal tanpa disaksikan siapaun karena kamu tak ingin menyisakan pedih terhadap suami dan keluargamu. Maya, kamu bisa merahasiakan tentang kanker rahim yang kamu derita kepada keluargamu, tapi kamu tidak bisa merahasiakannya padaku. Dan kutahu waktumu tinggal sesaat. Maya ijinkanlah aku menjadi orang yang menemanimu saat-saat detik terakhir waktu menjemputmu.”

Email dari Angga membuatku termenung, tapi aku telah memutuskan untuk sendiri. Aku tak ingin menyakiti hati Banyu dan keluarganya juga tak ingin membebankan Angga. Hampir sebulan email dari Angga tidak aku balas. Dan kini aku tinggal di sebuah apartemen seorang diri. Aku telah mengajukan surat cerai kepada Banyu, agar dia dapat mencari wanita lain yang bisa memberikannya anak. Beberapa hari ini perutku terasa sakit sekali, kuyakin waktuku telah tiba. Angga selalu terbayang dalam benakku. Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat untukknya.
“Angga, jika kamu ingin menemani sisa waktuku, temuilah aku sekarang”
Tak selang berapa lama angga telah datang dengan membawa seikat mawar merah dan mengenakan jas hitam.
“Angga, apakah waktuku telah tiba?”
Angga hanya terdiam dan menggenggam tanganku.
“ Maya, kenakanlah gaun ini, aku ingin menikah denganmu walaupun untuk sesaat”
Angga menyisir rambutku, mengenakan gaun hitam terindah bersulamkan manik-manik, memoleskan lipstik pada bibirku yang pucat.
“ Maya maukah kau menjadi istriku?”
Aku hanya mengangguk pelan dalam tangis, Angga memasukkan cincin bertahtakan berlian serta merta menciumku dengan lembut.
“Angga, kamu jangan menangis, kamu harus kuat”
“Maya, aku telah menangis sejak kamu menemuiku beberapa bulan yang lalu. Disaat orang-orang masih menikmati kecantikanmu dan kerianganmu, tapi aku telah menangis menghitung waktu. Sejak malam itu aku telah melihatmu seperti mayat yang berjalan dan semakin membaut hatiku terluka. Maya, waktumu memang sudah tiba. Karmamu di dunia ini hanya sampai disini saja.

Tak ada yang lebih menyakitkan dalam hidupku saat meramal kematian seorang kekasih yang teramat kucintai. Sebelum kamu menghembuskan nafas terakhirmu, aku ingin kau tahu satu hal bahwa cintamu tak akan pernah tergantikan. Cintamu selalu mengisi seluruh ruang dalam hatiku hingga kapanpun. Bawalah cintaku pergi bersamamu, jangan bawa penyesalan dan kesedihan. Maya, cintamu akan selalu kusemayamkan dalam hatiku.
Pergilah dalam damai dan cinta.

14 Februari 2007