Tuesday, September 13, 2011

Sebuah Cerpen - Ranting.

Ranting
Oleh : Kadek Purnami
Langit senja nampak merah bersemburat abu, jembatan kayu ini masih terasa basah oleh sisa hujan. Lelaki itu membungkuk memetik setangkai bunga rumput liar, dia terdiam, tersenyum, lalu menciumi bunga tersebut, menempelkan ke dada kirinya, kemudian menghembuskan nafasnya dengan berat, dilemparkannya bunga rumput liar itu ke sungai sebelum beranjak memasuki kedai disisi jembatan.
Meja di teras yang menghadap sungai adalah meja langganannya, meja untuk dua orang dengan dua kursi yang berhadapan. Seiring tenggelamnya senja dia akan terduduk sendiri tanpa pernah membawa siapapun. Dua buah kopi selalu dipesannya, satu untukknya dan secangkir lagi hanya diletakkan di depannya tanpa pernah disentuhnya. Lelaki itu menyulut dan menghirup dalam-dalam tembakau yang digulungnya sendiri dengan kertas. Dia memanggilku untuk memesan satu kue coklat dan meletakkan di samping kopi yang dipesankan untuk kursi yang kosong, dan kembali menghisap tembakaunya dalam.
Bulan purnama yang muncul sempurna disela pohon bambu adalah puncak waktu yang ditunggu. Lelaki itu terdiam kelu, matanya menerawang jauh kemudian mengambil tas kecil berbahan kulit, mengeluarkan semua isinya. Dia membaca lembar demi lembar kertas yang usang dan lusuh, melipatnya kembali, menegak kopi lalu sembari tersenyum ringan dia mengeluarkan serpihan bunga mawar yang kering, kerang, bahkan seruas ranting bambu dan dia akan kembali melinting tembakau untuk kesekian kalinya.
Kedai kami sudah akan tutup, tidak banyak pengunjung malam ini, tinggal tiga meja lagi, satu meja yang diisi oleh keluarga, satu meja pasangan muda dan meja kecil di pojok oleh lelaki itu. Dalam sayup-sayup lagu yang kuputar lelaki itu memanggilku.
“ Apakah kedai sudah mau tutup?”
“Belum, mau pesan lagi?”
“Satu cangkir kopi lagi, mungkin dia akan datang malam ini”
Aku kembali membuatkannya secangkir kopi lagi. Dia tersenyum dan kembali melinting tembakau. Meja yang diisi oleh keluarga telah meninggalkan kedai. Suasana malam ini sedikit sepi, angin bertiup dingin. Purnama hilang ditelan kabut malam, gerimispun turun membasahi tanah. Lelaki itu kembali memanggil saya, membentuk kotak di udara. Dia sudah hendak pulang, meminta bon nya.
Tinggal satu meja lagi yang ditempati pasangan muda sebelum kedai ini kututup. Meja kubersihkan dan memadamkan lilin-lilin yang temaram. Sejenak saat mengangkat gelas kopi lelaki itu, aku melihat seruas ranting bambu miliknya tertinggal di samping kopi yang yang tak diminumnya. Aku mengambil dan melihat keluar kedai menyusurnya, mungkin dia masih berjalan-jalan di piggir jembatan. Sosok lelaki itu telah pergi.
Seruas ranting bambu nampak sangat biasa, berwarna coklat muda dan kering. Lamat-lamat kuamati mencoba mencari apa yang membuat dia selalu membawanya. Hanya ada satu goresan kecil berbentuk bintang, selebihnya hanya ranting bambu biasa. Aku menyimpannya di meja kecil samping tempat tidur dekat foto, jikalau dia nanti kembali lagi untuk mengambilnya.
Dalam kamar kurebahkan diri, hayalku telah terlempar jauh puluhan tahun yang lampau, saat pernah ada satu cinta yang kurasa indah. Aku tersenyum, dan memandang foto di meja kecil sebelah tempat tidurku, ah adakah kau selalu bersamaku walau wujudmu adalah kabut dingin dan harum cendana. Biar kukenang kau dengan indah dalam setiap dupa yang kubakar, dalam doa-doa yang kupanjatkan dari relung jiwaku. Kini aku adalah perempuan paruh baya yang hidup sendiri dengan cinta yang selalu hangat dalam setiap detik waktu saat mengenangmu.
Kedai ini adalah wujud cinta kita, kerapkali aku teringat, saat menyeduhkan kopi untukmu dalam kepulan asap yang tersamar kau memberikan ciuman sayang padaku, begitupun pada setiap adonan kue yang kubuat, kau selalu berbisik padaku
“ Kue itu akan menjadi sangat manis dimulutku, kau begitu banyak menuangkan senyuman termanismu, janganlah bagikan kue itu ke orang lain biar kunikmati sendiri”
Kedai kopi ini kubangun tepat setelah setahun kepergianmu, agar selalu kukenang dirimu. Senang rasanya saat melihat para tamu yang datang ke kedai menikmati kopi dan kue yang kubuat, mungkin kau akan iri dengan mereka. Ruangan yang penuh aroma cendana dari dupa-dupa yang ku bakar, kurasakan adanya dirimu bersamaku. Malam telah larut, aku tertidur bersama kenangan akan dirimu.
Hari ini hingga beberapa bulan ke depan kedai ini akan tutup, aku akan mengunjungi tempat kenangan kita di belahan selatan pulau ini, sebuah rumah yang sempat kita bangun bersama dipinggir pantai. Kedai ini adalah tanah idamanmu dulu yang kubeli dari tabungan kita. Pemandangan sawah yang sejuk, sungai dengan air gemericik yang jernih sebuah suasana pedesaan yang asri adalah tempat yang memang selalu kau sukai, tapi aku lebih menyukai pantai, dan kau mengalah untuk membangun rumah dipinggir pantai dan bukan di sawah tempat idamanmu, semua karena cintamu.
Barang-barang kukemas dalam tas, terakhir aku memasukkan foto dirimu. Aku tertegun saat melihat seruas ranting bambu itu, kuambil dan kuletakkan kembali. Aku menimang apakah akan aku bawa atau kutinggal. Mungkin ini adalah barang berharga bagi lelaki itu, dan akupun memutuskan membawa serta agar dapat kujaga, dan kukembalikan jika suatu hari nanti dia kembali ke kedai ini.
Pengumuman kedai tutup untuk dua bulan ke depan aku tempelkan pada pintu kedai sebelum aku mengunci rapat. Aku berjalan menuju jembatan kayu, melihat air jernih yang mengalir di bawahnya. Dan mengunjungi sebuah warung nasi tetanggaku untuk pamit dan menitipkan untuk menjaga kedai. Biasanya jika kedai tutup cukup lama, beberapa pelangganku akan datang dan kadang-kadang mereka menitipkan pesan maupun barang. Kedai ini sudah menjadi tempat para orang tua paruh baya mengisi waktunya untuk sekedar bercengkrama bersama keluarga maupun sahabatnya.
Mobil melaju dengan pelan, kuputar lagu-lagu kenangan kita, mungkin aku memang selalu hidup dengan kenangan, keluargaku sering menjadi kesal olehku, dan menganggap aku yang tak pernah sadar realitas, dan terlalu setia mencintaimu yang telah tiada. Usiaku memang masih pantas untuk menikah kembali saat kau tinggalkan, tapi aku memilih untuk tetap mengenang cinta kita dengan segala keindahannya. Tak sedikit lelaki yang mencoba mendekatiku dan mengutarakan niat untuk meminangku. Namun mereka tak punya cinta sepertimu. Sering pula kukatakan pada keluarga, jika suatu hari nanti ada yang menawarkan cinta seindah dirimu akan kupertimbangkan untuk kuterima.
Aku berhenti sejenak pada rumah mungil di tengah kota, aku turun membawa sekotak kue yang biasa kukirimkan untuk adik perempuanmu. Perempuan kedua yang kau cintai selain diriku. Kami menghabiskan waktu sore hari itu dengan bercengkrama, dan kembali mengenangkan dirimu. Dia juga perempuan kedua yang mencintaimu dengan sangat. Entahlah kau melihat atau tidak, keponakanmu tumbuh semakin dewasa dan menjaga ibunya dengan sangat baik, bahkan mereka sangat menyayangiku juga, mereka kerapkali menemaniku di rumah pada saat liburan karena mereka juga mencintai pantai, sama sepertiku.
Aku tiba dirumah kita saat petang, debur ombak terdengar bergemuruh, angin bertiup sedikit kencang. Dan aku menuju rumah tetanggaku untuk membawaknnya kue, tentu kau masih ingat dengan tetangga kita yang selalu iri melihat kita dulu selalu mesra dan minum kopi bersama di beranda depan, sementara dia selalu bertengkar bersama suaminya yang jarang dirumah. Tapi rasa iri mereka terhadapku mungkin lenyap saat mereka selalu kukirimkan kue-kue manis buatanku yang sembunyi-sembunyi kubagikan, karena kau tak ingin kue yang menurutmu dalam adonan itu terlalu banyak senyuman termanisku bercampur didalamnya.
Menyenangkan bagiku kembali ke rumah ini, hari-hariku hanya akan dihabiskan dengan memasak, berjalan di pantai, dan membaca bertumpuk-tumpuk buku yang kugemari. Entah mengapa walaupun kenyataannya aku hidup seorang diri, aku tak pernah merasa kesepian, aku selalu merasakan bahwa dirimu selalu ada menemaniku. Mungkin aku memang sedikit mulai nampak gila karena berbincang denganmu, dan di dalam benakku kau terdengar menjawabnya. Dan akupun tersenyum oleh itu, aku sering tertawa geli jika kulotarkan beberapa lelucon yang konyol dan aku mereka reka jawabanmu yang tak akan kalah konyol dariku. Ah mungkin terlalu banyak hal yang kita lewati bersama, dan semua hal itu membuatku begitu nyaman. Kau mencintaiku dan menerimaku begitu baik dengan segala kekurangan dan keterbatasanku. Mungkin itu yang membuatku nyaman bersamamu, dan belum bisa kutemukan pada lelaki manapun sebagai penggantimu. Sesuatu yang kurasa mahal di jaman seperti sekarang.
Setelah sebulan lebih dirumah ini aku merasa begitu nyaman dan enggan untuk kembali ke kedai, tapi aku harus tetap kembali ke kedai untuk menemui para pelanganku dan tentu hanya dari kedai itulah penghasilanku satu-satunya, yang aku butuhkan untuk biaya pengobatanku. Aku sering ingat pesan-pesanmu agar tak bekerja terlalu keras, dan berusaha meliburkan diri sebulan sampai tiga bulan dari waktuku dalam setahun hanya untuk melakukan hal-hal yang ingin kulakukan, agar aku tetap bisa menikmati hidup ini dengan seimbang.
Sore ini aku memasak kue labu kuning, labu yang diberikan oleh adikmu dari kebun mertuanya. Sembari menunggu petang aku berjalan-jalan sebentar menyusuri tepian pantai yang berpasir putih ini. Ini hari minggu, banyak keluarga dan pasangan muda mudi yang kepantai untuk berekreasi. Mereka terdengar bersuka cita, bercengkrama, bermain air, membuat istana pasir serperti yang sering kita lakukan bersama dulu, kau selalu buatkan aku istana pasir dengan buaya disekelilingnya, yang terus-terusan aku protes, kenapa harus buaya ? kau akan menjawab
“Agar kau tak berani keluar istana dan terus menemaniku sebagai sang raja”
Aku menyusuri pantai yang ramai, dan sebagian besar hanya duduk di kafetaria untuk memandang lepas ke lautan luas. Langkahku terhenti pada sebuah sosok yang kukenali namun aku begitu ragu dan mencoba untuk mengingat. Ya itu adalah lelaki yang sering datang ke kedai saat purnama. Akupun menghampirinya
“ Sore, uhhmm mungkin kamu tidak ingat denganku”
“Iya kurasa tidak asing, tapi dimana aku melihatmu”
“Kamu sering datang ke kedaiku untuk meminum kopi”
“Oooohhhh iya iya aku ingat sekarang, tempo hari aku datang ke kedaimu tapi sayang sedang tutup, tak disangka kita bertemu disini”
Ya, purnama baru saja lewat, dia pasti datang pada saat purnama, tiba-tiba aku teringat tentang seruas ranting bambu yang dia tinggalkan. Akupun mengutarakan padanya tetang ranting bambu tersebut.
“Iya, aku datang ke kedaimu memang untuk menanyakan ranting bambu yang tertinggal itu, apakah mungkin kau melihat dan menyimpannya untukku atau mungkin sudah kau buang. Aku semakin tua, dan semakin pelupa, seringkali kumeninggalkan barang-barang berharga”
Sudah kuduga bahwa ranting bambu itu termasuk bagian dari barang berharga miliknya.
“ Ranting bambu itu telah ku simpan dengan baik, jika mau mengambilnya bisa ikut denganku kerumah yang tak jauh dari sini, aku juga sedang membuat kue labu kuning, jika mau, mungkin bisa sambil ngopi dirumahku? tapi maaf aku sedang tidak membuat kue coklat yang biasa kamu pesan di kedai”
Kami akhirnya menuju rumah, minum kopi bersama. Ah, suamiku di surga, mungkin kau akan sangat marah padaku hari ini, karena aku membawa lelaki ke rumah kita, dan lelaki itu tidak digigit oleh buaya-buaya yang kau buat di sekeliling istana pasir. Aku hanya membuatkannya kopi dan memberinya kue labu tidak berbuat lebih. Aku yakin kau akan tetap marah padaku. Karena aku membuatkannya kopi dirumah kita. Tapi jika aku boleh jujur lelaki itu mencuri perhatianku sejak dia datang ke kedai setiap purnama. Jika kau marah dari surga sana, janganlah beri aku hukuman yang berat.
Kami pun bercengkarama hingga larut, tak hanya kopi yang kusuguhkan, tapi aku memasak makan malam untuknya, menuangkan anggur dan kami terus bercengkrama semakin akrab hingga larut.
“ Kuperhatikan kau senang sekali datang pada saat purnama ke kedaiku?”
“ Ya, kau memperhatikannya? “ ( sambil menghela nafas berat)
“ Ya aku memperhatikannya, kau datang setiap purnama, berjalan menuju jembatan kayu, memetik bunga rumput liar, melemparnya ke sungai, memesan dua cangkir kopi, kue coklat dan membuka tas kulit beserta semua isinya. Kau nampak begitu khidmat melakukan semua proses itu”
“Ah, kau telah melihat semua detail yang kulakukan, tak ada yang harus kusembunyikan lagi. Kekasihku dulu pernah berjanji padaku, untuk menemuiku di jembatan kayu pada saat purnama jauh sebelum kau buka kedai itu”
“ Uhmm itu sebabnya kau selalu datang pada saat purnama dan memesan dua cangkir kopi?”
“Ya, dan sampai hari ini dia tak datang menemuiku di jembatan itu sampai puluhan tahun berlalu aku tak menerima kabar darinya. Dia telah bersuami dan mereka tinggal di luar negeri, dan hingga hari ini aku masih menunggunya datang pada saat purnama”
“ Dan ranting bambu itu pasti darinya?”
“ Ya pada purnama yang bertahun-tahun lalu aku menyatakan cinta di jembatan kayu itu, di pinggir sungai itu masih masih banyak sekali pohon bambu kuning, aku menebas sedikit batangnya, kami menggores jari dengan bambu itu dan mengisap darah agar mengalir dia dalam darahku, dan aku dalam darahnya, dan dia membuat satu bintang pada ranting bambu itu, agar aku selalu menjadi bitang di hatinya. Dan untuk pertama kalinya aku meninggalkan ranting bambu itu dikedaimu, mungkin itu pertanda aku memang sudah harus melupakannya, dan ranting bambu itu telah kembali ke asal, dimana tempatnya dulu tumbuh di kedai mu itu”
Entah apa yang harus kutanggapai dari cerita lelaki itu, dimatanya terlihat dia begitu mencintai kekasihnya. Ah tak hanya dia yang menuai kisah pada jembatan itu, kedai ku pun ada karena cinta, dan entah siapa lagi orang-orang yang pernah mengutarakan cinta diatas jembatan itu, dan akan ada sekian banyak kisah yang mengharukan. Kami diam hening, malam makin larut, udara semakin dingin, aku memberikan dia selembar selimut.
“Dirumah ini tidak ada siapa-siapa, jika kau ingin menginap, rumah ini terbuka untukmu.”
“ Terima kasih, jika boleh apakah aku bisa tetap datang ke kedaimu walaupun itu tidak purnama?” ( ada nada tulus yang kurasakan, yang menggetarkan jiwaku)
“ Biar aku buatkan kopi setiap hari, dan kue kesukaanmu”
“ Dari awal aku ke kedaimu, kopi mu memang luar biasa”
Ah, telah lama tak kurasakan getar hati dan rasa nyaman ini. Mungkin kau sedang marah padaku dari surga sana, atau mungkin juga tersenyum melihatku ada yang menemani, sehingga kau tak sedih melihatku sendiri. Apakah kau yang mengirim lelaki ini untuk menghangatkan hatiku kembali? aku tak bisa mendengar jawabanmu yang pasti, bahkan aku tak mampu merekanya. Namun hatiku merasa begitu nyaman sama seperti saat mencintaimu.
Entahlah, ombak berdebur semakin keras, subuh sebentar lagi datang.
Ubud, 20 Juli 2011
Terbit di Balipost, 11 September 2011

Tuesday, April 5, 2011

Mengemis Waktu

Tak malu menatapmu,
Mengemis waktu,

Walau terlalu lusuh untuk menyapamu
Hati yang sobek penuh compang camping
Tubuh anyir penuh kotor
Tapi tak malu menghadapmu

Mengemis,
Memohon belas kasihanmu
Berikanlah waktu lebih panjang
Untuk selesaikan jalan takdir yg tergores.
Maka aku dg tegar akan menjalaninya.

aku akan terus mengemis padaMu.

RS- 27 feb 2010
Kadek purnami

Tanpa Pesan

Saat berada pada titik terendah hidup.
Semua menjadi berarti atau tiada arti.
Antara jalan terus atau berhenti.
Keyakinan lenyap,
Kepercayaan sirna,

Adakah yg berati saat itu?
Adakah yg akan menolong ?
Perjuangan adalah kata yg berat, tak ingin mengerti, bahkan mengucapkannya.

Saat titik terendah dalam hidup
Ingatan begitu tumpul
Tak paham tentang hidup
Tak merasa apa yg indah
Tak ada logika

Detik detik waktu dipenuhi rasa khawatir.
Fikiran dilintasi gambar-gambar yg berlalu lalang yg berusaha mengais ingatan diantara perjuangan waktu.
Lidah kelu tak ingin bicara.

Waktu terasa kian habis dan berarti..
Berjuang dengan skenario terburuk hidup
Nafas pendek-pendek mencekat ditenggorokan
Telinga mendenging,pandangan menjadi hablur, tubuh menggigil, merasakan dingin yg amat menjalar dari ujung jari kaki merambat naik mendekati jantung
Mencoba mencari nadi, menghitung denyut yg ada dan tiada sesaat menghilang dan muncul lagi,
Fikiran membuat skenario terburuk inikah saatnya berpulang?

Ah..
Tunggu sebentar..
Saya sedang sendiri
Beri waktu sedikit lagi

Tiba-tiba dengan waktu yg begitu sedikit, ingin rasanya melakukan banyak hal.
Saya ingin mendengar suara yg seindah beledu yg memberi rasa nyaman seperti morfin.
" Sayang, katakan kau mencintaiku "
Dan aku akan membalasnya
" terima kasih telah mencintaiku dengan baik"

Apakah hanya itu yg ingin dilakukan?
Tentu tidak,
Aku ingin menghubungi ibu, kakak, keponakan, sahabat dan bilang pada mereka semua bahwa aku mencintai mereka.
Tapi apakah waktunya cukup ?

Tak hanya cinta yg ingin kukatakan
aku ingin menyelesaikan lukisanku
Ingin pergi ketempat yg aku suka
Harus mendelegasikan pekerjaan
Dan banyak lagi yg ingin kulakukan..
Tapi waktu tak ada..

Jika waktu sedikit cukup meninggalkan pesan singkat saja.. Minimal sempat memberi tanda..

Aku menimang
Dalam skenario terburuk,
Aku harus pergi..
Ada ayahku yg menunggu jadi tak perlu khawatir, matipun aku akan baik-baik saja bersama ayah.
Ah ayah tak punya cinta seperti belahan jiwaku..

Semua menjadi begitu kacau,
Nafas menjadi semakin pendek,
Tubuh semakin dingin
Dan aku berkata pada diri
" Boleh kok pergi tanpa meninggalkan pesan, tanpa menyelesaikan yg belum selesai tanpa pamit pada siapapun,
Membawa semua rahasia, ingin, dan cinta bersama diri"
Lahir sendiri, pulangpun sendiri..
Kulepas semua resah,
Dan semua menjadi begitu terang,
Nafas menjadi ringan, tubuh menjadi hangat dan senyumpun tersungging dari bibir.

Tak perlu ada pesan untuk siapa-siapa.

Ubud, 21 februari 2011
Kadek purnami

bukan orang biasa

Aku melawan,
Ringkihnya tubuh ini
Rapuhnya jiwa yang gigil
Lemahnya mental seorang pecundang
Fikiran yg liar tak berbatas
Rasa takut yg berlebih
Khawatir yang tak mengenal logika
Kecemasan yg membunuhku pelan.
Aku melawan karena aku bukan orang biasa,

Aku menerima,
Menelan belasan butir pil setiap harinya
Meminum bertakar-takar sendok obat
Bergelas -gelas ramuan pahit
Aku menerima karena aku bukan orang biasa.

Aku menghindari kedai kopi,bar,
cukup segelas air putih hangat saja untukku,
Aku mengindari Berbagai makanan enak yang menggiurkan biar kutelan ludah saja..
Aku menghindar karena aku bukan orang biasa

Aku tak beraktivitas energik seperti kalian, nyaris enam dari bagian organ tubuhku tak berfungsi dengan baik,
Aku tak bisa banyak bicara dan tertawa harus lebih banyak diam,
Dan kau tahu, banyak hal yg tidak bisa aku lakukan dengan normal,
Karena aku bukan orang biasa.


Ubud, 20 februari 2011
Kadek purnami

Wednesday, January 26, 2011

Merindu galau

Aku kering,
tak ingat kapan tetes terakhir itu membasahi

Aku redup,
Nyala pematik yang begitu kecil dan tak berkobar

Aku hampa
Tak ditinggalkan, pun tak diisinya penuh

Aku rindu akan galaunya merindu

Ubud, 26 januari 2011
Kadek purnami


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT