Tuesday, February 27, 2007

Waktuku Telah Tiba - Cerpen

Balipost, 25 Februari 2007

Hari minggu pagi ini secangkir teh hangat menjadi spesial ketika saya membuka halaman demi halaman Balipost, tak hanya karena saya memang sering tersenyum membaca tulisan seorang teman wartawan dalam Bali Orti yang mengisi kolom Bungklang Bangkling, tapi senyum saya semakin merekah saat cerpen pertama yang saya kirimkan ke redaksi Balipost dimuat.
Cerpen Waktuku Telah Tiba, menjadi sebuah momentum komitmen dan kesiapan bagi saya untuk bertanggung jawab pada dunia tulisan. Cerpen tersebut awalnya berjudul "Bocoran Ilahi " yang telah saya postingkan di blog ini, kemudian pada tanggal 14 Februari saat semua orang sibuk merayakan cinta dan kehidupan, saya bergulat dengan bocoran ilahi dengan pemotongan dan penambahan kalimat disana sini dan akhirnya menelorkan judul baru waktuku telah tiba.
Untuk sahabat-sahabat pengunjung blogger Galangbulan cerpen waktuku telah tiba saya postingkan kembali.

Waktuku Telah Tiba

Oleh : Kadek Sri Purnami

Ruang konsultasi lelaki itu tak pernah sepi di kunjungi oleh mereka yang ingin menanyakan tentang ramalan nasib, peruntungan, jodoh, dan rejeki. Telah empat jam aku menunggu dia selesai meladeni para kliennya. Aku datang bukan untuk diramal namun karena aku telah lama tidak bertemu dengannya. Kupandangi foto lelaki itu diruang tunggu. Hampir tiga tahun aku tidak bertemu dengannya, badannya sedikit kurus, uban putih mengkilat menyela diantara warna hitam. Dia nampak semakin dewasa, tampan dan mapan. Lelaki yang pernah mengisi hatiku selama enam tahun dan akhirnya kulukai hatinya. Tak pernah sedikitpun aku menyangka dia akan menjalani profesi sebagai seorang peramal, waktu telah merubah hidupnya. Aku teringat saat mendampinginya wisuda untuk meraih gelar sarjana hukum.
Seorang asistennya mempersilahkan aku masuk setelah seorang kliennya keluar dari ruangannya. Hatiku sedikit bergetar ketika aku memasuki ruangannya. Udara dari pendingin ruangan menyergap dan langkahku sedikit ragu untuk menemuinya.
“ Hai” sapaku canggung dan membuatnya menengadah dengan tatapan tak percaya dalam rasa keterkejutannya.
“ Maya itu kamu? apa kabar? kenapa tumben, ada yang bisa aku bantu? “
“Kabarku Baik, aku kebetulan lewat dan ingin mengunjungimu”.
“Kamu datang sendiri, suamimu dimana?”
“Banyu sedang keluar kota”
Ada nada yang mebuatku tidak enak hati saat mendengar dia menanyakan Banyu. Tak mungkin aku berani mempertemukan mereka. Banyu tidak pernah tahu tentang masa laluku dengan Angga. Ini adalah pertemuanku yang pertama dengan Angga setelah menyandang status istri dari Banyu, seorang pengusaha kaya dari keluarga terpandang. Suasana terkesan kaku diantara kami. Tak berani aku menatap mata Angga, aku takut terseret kembali kepada perasaan yang tak pernah kulupakan.
“ Maya, sepertinya suasana ruang kerjaku kurang nyaman untuk kita mengobrol, kalau kamu tidak keberatan aku ingin mengajakmu makan malam. Aku sadar berlaku kurang sopan terhadapmu, mengajak istri orang untuk keluar makan malam saat suaminya sedang tugas keluar kota”
“Tidak apa-apa”

Aku menunggu dia merapikan berkas-berkasnya. Aku memilih untuk tidak satu mobil dengannya agar aku dapat menenangkan gundahku, kuikuti mobilnya yang merayap di malam kota ini. Aku masih tidak percaya dengan tindakanku yang tidak terkontrol untuk menemuinya tanpa alasan yang tepat. Hasrat sesaat yang ingin mengetahui kabarnya begitu menggebu. Angga berbelok menuju salah satu restoran yang tidak begitu terkenal yang jauh dari keramaian. Kuyakin dia juga ingin menjaga statusku sebagai nyonya Banyu. Kami duduk saling berhadapan, dia menatapku dengan hangat, sama dengan sekian tahun yang lalu. Kuredam rasa yang kembali bergetar, sepintas kulirik cincin yang melingkar di jemari Angga. Mungkinkah dia telah menikah tanpa aku ketahui.
“ Maya, bagaimana dengan kehidupan cinta dan keluargamu ? Angga mebuyarkan lamunanku.
“ Kehidupanku biasa saja, keluarga baik dan sehat”
“ Maaf, apakah kamu sudah mempunyai anak dari buah perkawinan kalian?”
“ Belum”
“ Kenapa, apa kamu masih mau berkarir terus seperti cita-citamu dulu?”
“Haruskah aku menjawab?” tanyaku pelan
“Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu tidak nyaman”
“Terus ada angin apa kamu tumben menemuiku setelah sekian lama?”
“Masa kamu sebagai peramal tidak tahu tentang kedatanganku”
“Jangan ungkit-ungkit masalah profesiku disini, walaupun aku sebagai peramal aku tidak mendapatkan pawisik kalau aku akan bertemu denganmu”
Tawanya renyah berusaha mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung.
“ Angga, maaf apakah kamu sudah berkeluarga?”
“ Kamu melihat cincin ini? Ya, aku telah menikahi seorang wanita setelah 2 tahun pernikahanmu berlangsung yang tanpa undangan darimu.”
“ Kalau boleh tahu siapa wanita yang telah menggantikan posisiku dulu”
“ Dia wanita yang hebat dan manis. Dia menggantikan posisimu, karena kamu telah meninggalkannya”
Aku mencoba tetap tenang dengan sindirannya yang pedas. Wajar saja Angga terluka atas sikapku yang meninggalkannya begitu saja seolah-olah janji dan kata cinta yang pernah terucap tiada arti dan mempunyai kekuatan.
“Apakah kalian telah mempunyai anak?”
“Aku sama sepertimu, belum memiliki anak. Aku telah bercerai. Karmaku hanya sampai disitu denganya, entahlah kehadirannya tetap terasa hampa karena aku tak pernah bisa mencintainya dengan jujur ”
“ Maafkan aku Angga, sejujurnya perasaan bersalah meninggalakanmu masih membuatku tidak enak. Tapi apa yang dapat kulakukan, jika orang tuaku telah mempersiapkan semuanya dan demi nama keluarga aku harus mengikuti kata orang tuaku dengan menikah bersama Banyu. Tak hanya kamu yang sakit, akupun sakit menjalaninya. Tapi aku yakin kamu jauh lebih kuat dariku. Dan saat ini kuberanikan diri untuk menemuimu dengan segala resiko karena aku tak bisa lagi memendam rasa ini.Untuk menemuimu memang harus dengan perjuangan menunggu selama 4 jam”
“Apakah 4 jam terasa berat dan lama bagimu?”
“Ya, pastinya aku harus sabar mengantri diantara sekian banyak klienmu”
“ Tapi pernahkah kamu membayangkan kalau ada orang yang masih tetap setia menunggumu sekian tahun lamanya mungkin hingga esok dan lusa?”
Aku menyadari arah pembicaraan Angga. Dia masih terluka sampai hari ini atas penghianatan cintaku padanya. Dan kini aku kembali menemuinya membuka luka lama
“Angga, maukah kamu meramalku?”
“ Bukankah kamu tidak begitu percaya akan hal-hal seperti ini. Seingatku kamu berfikir sangat logis, tak percaya ramalan.”
“Ya, kini aku ingin percaya, Ayo Angga ramalah aku dan ceritakan padaku hal yang baik-baik saja”
“Baiklah, dari dulu aku memang tidak pernah bisa menolakmu. Semoga aku melihat hal yan baik-baik saja”
Angga meraih tanganku, dan memperhatikan garis-garis tanganku. Sentuhannya begitu hangat mengingatkanku saat dulu kami sering berpegangan tangan. Kucoba menyembunyikan rasaku padanya. Betapa aku masih mencintai dan merindukannya.
“Apa yang kamu lihat Angga?, tanyaku dengan hati-hati
“ Semuanya baik-baik saja, karirmu makin bagus”
“Baguslah”
Angga masih menggenggam tanganku dan kini dia menatap mataku dalam.
“Maya, ceritakanlah padaku dengan jujur masalah yang sedang kamu simpan, kamu tak bisa menyembunyikannya dariku”

Kutarik nafas dalam dan menunduk, hanya Angga yang kupercaya sejak dulu, dan seberapapun aku menyakitinya dia tidak akan pernah membenciku. Karena kutahu betapa besar cintanya padaku.
“ Angga, Aku tidak bisa memiliki anak, aku merasa telah gagal menjadi seorang wanita dan aku ingin bercerai dengan Banyu”
Angga mendekapku dengan hangat dan dalam sambil berbisik
“Maya, perceraian bukanlah solusi dari masalah kalian, aku melihat ada masalah yang lebih berat yang menyangkut tentang dirimu, ceritalah jika kau ingin”
Aku melepas pelukan Angga, dan berusaha untuk tersenyum dan tegar.
“Aku tidak mempunyai masalah lainnya. Hanya itu saja, sepertinya aku harus pulang dulu sudah agak malam”
“Baiklah jika kamu memang tak ingin berkata jujur padaku. Hubungi saja kapan kamu siap jujur padaku. Dan ingat waktu itu akan tiba”

Pertemuanku dengan Angga, membuka kembali kenangan masa lalu dan cinta diantara kami. Aku berusaha menghindarinya setelah pertemuan itu, karena aku takut Banyu mengetahui pertemuan kami. Hari ini aku libur dari kantor karena kondisiku tidak sehat. Kubuka laptop sekedar mengecek email yang masuk. Satu pesan kudapati dengan judul “ Waktu itu telah tiba”

“ Teruntuk Maya,
Ada satu hal yang belum aku sampaikan padamu tentang sebuah rahasia Tuhan yang disampaikan padaku. Jujur, tak kuasa aku menyampaikan padamu karena aku tak ingin pertemuan itu menjadi yang terakhir. Seperti biasa kamu akan selalu datang dan menghilanng dariku sesuka hati. Aku ingin bertemu kembali denganmu, tapi aku yakin tak mungkin. Kamu tak pernah bisa membohongi dan menyimpan rahasia dariku, kamu lupa kalau aku adalah peramal yang bisa membaca jalan kehidupanmu. Masalahmu tak hanya karena kamu tidak dapat memberikan keturunan dan akan bercerai dengan Banyu. Tapi, kamu sedang sakit, dan niat cerai itu adalah permintaanmu karena ketakutanmu pada penyakit yang kamu derita. Aku tahu kamu ingin meninggal tanpa disaksikan siapaun karena kamu tak ingin menyisakan pedih terhadap suami dan keluargamu. Maya, kamu bisa merahasiakan tentang kanker rahim yang kamu derita kepada keluargamu, tapi kamu tidak bisa merahasiakannya padaku. Dan kutahu waktumu tinggal sesaat. Maya ijinkanlah aku menjadi orang yang menemanimu saat-saat detik terakhir waktu menjemputmu.”

Email dari Angga membuatku termenung, tapi aku telah memutuskan untuk sendiri. Aku tak ingin menyakiti hati Banyu dan keluarganya juga tak ingin membebankan Angga. Hampir sebulan email dari Angga tidak aku balas. Dan kini aku tinggal di sebuah apartemen seorang diri. Aku telah mengajukan surat cerai kepada Banyu, agar dia dapat mencari wanita lain yang bisa memberikannya anak. Beberapa hari ini perutku terasa sakit sekali, kuyakin waktuku telah tiba. Angga selalu terbayang dalam benakku. Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat untukknya.
“Angga, jika kamu ingin menemani sisa waktuku, temuilah aku sekarang”
Tak selang berapa lama angga telah datang dengan membawa seikat mawar merah dan mengenakan jas hitam.
“Angga, apakah waktuku telah tiba?”
Angga hanya terdiam dan menggenggam tanganku.
“ Maya, kenakanlah gaun ini, aku ingin menikah denganmu walaupun untuk sesaat”
Angga menyisir rambutku, mengenakan gaun hitam terindah bersulamkan manik-manik, memoleskan lipstik pada bibirku yang pucat.
“ Maya maukah kau menjadi istriku?”
Aku hanya mengangguk pelan dalam tangis, Angga memasukkan cincin bertahtakan berlian serta merta menciumku dengan lembut.
“Angga, kamu jangan menangis, kamu harus kuat”
“Maya, aku telah menangis sejak kamu menemuiku beberapa bulan yang lalu. Disaat orang-orang masih menikmati kecantikanmu dan kerianganmu, tapi aku telah menangis menghitung waktu. Sejak malam itu aku telah melihatmu seperti mayat yang berjalan dan semakin membaut hatiku terluka. Maya, waktumu memang sudah tiba. Karmamu di dunia ini hanya sampai disini saja.

Tak ada yang lebih menyakitkan dalam hidupku saat meramal kematian seorang kekasih yang teramat kucintai. Sebelum kamu menghembuskan nafas terakhirmu, aku ingin kau tahu satu hal bahwa cintamu tak akan pernah tergantikan. Cintamu selalu mengisi seluruh ruang dalam hatiku hingga kapanpun. Bawalah cintaku pergi bersamamu, jangan bawa penyesalan dan kesedihan. Maya, cintamu akan selalu kusemayamkan dalam hatiku.
Pergilah dalam damai dan cinta.

14 Februari 2007

Tuesday, February 13, 2007

Pengorbanan Si Pohon Untuk Istri Tuanku Raja

Aku dan teman-temanku sudah berumur 15 tahun, aku ditanam oleh orang-orang sewaktu sedang gencar-gencarnya lomba desa. Kini aku tumbuh kokoh dan rindang. Aku selalu memberikan kesejukan kepada orang-orang yang melintas di bawahku. Aku juga rajin menyerap polusi yang dikeluarkan asap kendaraan walaupun kadang paruku rusak sehingga membuat kulitku keriput, daunku mengering, kuning dan layu. Sesekali Pak Wena menyiramku menghilangkan dahaga dan menghanyutkan debu yang menempel atau mencukur dahanku yang menjulang melewati kabel telefon ataupun menjulur ke ruas jalan.

Hari ini aku menyaksikan orang-orang berpakaian hitam keluar masuk halaman Puri, kudengar istri dari tuanku raja meninggal. Aku merasa sedih. Temanku si Bambu telah dipotong dan dikumpulkan hampir menjadi 2 truk, dia berkorban untuk menjadi fondasi Bade yang akan dipakai menggusung Istri tuanku raja ke pemakaman. Orang-orang tidak beraktivitas normal semua disibukkan dan berkorban untuk istri tuanku raja mempersiapkan semua perlengkapan upacara pemakaman. Belum lagi tumbuh-tumbuhan lain yang tegolong si sayur mayur dan si rempah, hampir 1 truk di jadikan lawar. Tak hanya kami dari bangsa tumbuhan, tapi dari bangsa hewanpun juga berkorban, si babi, si bebek dan si ayam entah sudah berapa puluh ekor yang mati untuk melengkapi semua upacara. Sedangkan aku pohon perindang jalan belum berkorban apapun hingga detik-detik terakhir.

Aku kagum dengan apa yang di korbankan oleh si bambu dia berhasil membentuk Bade dengan tinggi nyaris 15 meter dan lebar hampir 7 meter. Belum lagi Naga banda yang terkesan sangat angker, bisik-bisik dari orang, Naga banda ini akan dipakai untuk mengantarkan roh istri tuanku raja ke sorga, tak sembarang yang boleh membuat naga banda, hanya mereka yang dari keturunan raja saja. Kalau begitu apakah sorga diperuntukkan bagi mereka yang berkasta tinggi dan kaya saja? Hari Pengabenan sudah semain dekat. Semua orang melakuan kegiatan dengan tulus sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga puri disamping adat yang memang dianut oleh masyarakat setempat.

Aku mendengar pertengkaran antara anak dari tuanku raja, mereka berselisih pendapat. Dari kabar yang kudapat dari si angin mereka memperdebatkanku.

“ Kita harus menebang pohon disepanjang jalan ini agar tidak menghalangi, karena ukuran bade kita besar sekali, nanti tidak bisa lewat”
“Kenapa harus mengorbankan pohon dan menebangnya? Bayangkan saja pohon seperti ini tumbuhnya lama sekali kalau ditebang sekarang, 15 tahun lagi baru punya yang seukuran ini. Tidakkah ada jalan lain, mungkin dahannya saja yang dipangkas?
“Tidak pokoknya harus ditebang”
“Aku tidak setuju !!”, Kenapa saat kamu merancang Bade tidak megukur kapasitas jalan raya dulu dan disesuaikan agar tidak usah memotong pohon?”
“Aku pokoknya mau membuat bade yang megah, besar dan wah dan tidak kalah oleh puri lainnya”
“Buat apa bade yang besar, toh jasad ibu ratu hanya seukuran kita tak bisakah badenya diperkecil? Apakah jika ukuran bade dibuat lebih kecil akan mengurangi makna?”
“Ah kamu itu tau apa, pokokya aku mau upacara kali ini menjadi yang tebesar karena kita adalah keturunan raja”
“Bisakah semua upacara ini kita buat secara sederhana, kuyakin ibu ratu bisa menerima”
“ Sekarang aku yang berbalik bertanya padamu, Tidakkah kamu malu jika semua dibuat sederhana, martabat keluarga kita akan jatuh? Kamu masih ingat pengabenan ibu suri di puri sebelah yang di hadiri oleh ribuan orang dan memadati sampai desa sebelah dan juga disiarkan di berbagai media? Aku tidak mau kalah dari mereka !!!”
“Terserah kamu saja, yang pasti aku akan lebih suka jika semua upacara berjalan sederhana tanpa mengurangi makna”

Aku tersentak dengan kata terserah, berarti bade itu akan melewati jalan ini dengan ukuran yang besar dan artinya kami harus mati. Kupejamkan mata sambil menangis bersama teman-temanku mendengar denging suara mesin pemotong pohon yang menderu. Itu berarti waktuku telah tiba, satu persatu kusaksikan teman-temanku roboh langit biru tampak jelas. Tak satupun diantara teman-temanku yang selamat berdiri kokoh. Mereka semua tumbang seiring pengorbanannya terhadap istri tuanku raja.

Itulah cerita pengorbanan keluarga kami, pohon yang yang di potong saat upacara pengabenan istri tuanku raja. Aku selamat tidak dipotong karena aku berada diluar jalan tersebut, kini setelah pemerintah kota mendapakan kritikan dari berbagai masyarakat, Pak wena kembali membawa teman-teman untukku dan mereka ditanam kembali disepanjang jalan raya, teman-temanku masih kecil dia berukuran dengan tinggi 50 cm dan masih harus di pagari bambu agar tidak diusik oleh ayam dan anjing yang jahil. Mungkin 15 tahun lagi mereka akan tumbuh seperti aku.
Tapi apa yang terjadi jika anak dari tuanku raja meninggal? Apakah teman kecilku akan berkorban kembali sama seperti teman-temanku yang dulu? Semoga saja saat itu tiba semua upacara bisa dilakukan dengan sederhana tanpa mengurangi makna dari upacara itu sendiri.

Wednesday, February 7, 2007

Sayap itu ...

Terbanglah tinggi dan gunakan aku...

Kepakkanlah aku sekuat tenagamu dan kau kan kubawa..

Nikmati indahnya dunia saat kau melayang ..


Hey.. kau bangunlah !!!

Kenapa hanya meringkuk .. ?

Tak inginkah kau terbang bersamaku..?


Arrgghhh ..!!!

Adakah yang lebih tidak mengenakkan saat ingin tapi tak bisa?


Sayap itu…

Tak mampu membawaku melayang lagi

Dunia tak indah saat ini


Sayap itu ...
.... sedang terluka ....

Friday, February 2, 2007

Benarkah ada suami yang tidak takut Istri ?

Obrolan ringan para suami disebuah warung pojok terdengar menarik. Ditemani minuman arak oplosan dicampur cola-cola membuat pembicaraan mereka semakin hangat dengan terbakarnya tenggorokan. Seorang lelaki dari kelompok tersebut dengan bangga mengatakan dihadapan temannya bahwa dia baru saja berhasil mengajak kencan seorang wanita penjaga kafe remang dan tentu saja hal tersebut membuat jengah yang lainnya. Kelompok lelaki itu sering menghabiskan waktunya dengan menegak minuman sambil tertawa lepas dan mereka akan merasa seperti bujang kembali.
“ Hah..ha.. saat seperti ini harus dinikmati tak perlu ingat istri dan anak”

Tak selang berapa lama seorang lelaki yang juga tetangga mereka datang untuk membeli obat nyamuk bakar yang dipesan istrinya. Otomatis mereka langsung mengajak lelaki itu nimbrung bersama untuk menengak minuman dan meluncur ke kafe remang. Tapi dengan halus lelaki tersebut menolak serta merta membayar obat nyamuk dan pergi. Kontan saja kelompok lelaki tersebut mengejek temannya dan mereka mengecap dia sebagai suami takut istri.
“ Nah, kayak dia itu tuh Suami Takut Istri mau saja disuruh-suruh ama istrinya, jangan –jangan disuruh nyuci juga mau” tawa mereka saling bersahutan.

Kelompok Suami tidak takut istri ini kesehariannya dihiasi dengan nongkrong di jalan hingga dini hari dan pulang dalam keadaan mabuk dan mengamuk. Keesokan pagi bangun siang, langsung minta dibuatkan kopi oleh istrinya, kemudian sarapan sekaligus makan siang. Setelah itu ritual dilanjutkan dengan mandi, keluar rumah bermain billiard atau judi dan pulang hingga subuh. Kelompok itu merasa diri mereka jagoan dan jantan. Sedangkan lelaki suami takut istri yang diejek tersebut, kesehariannya lebih banyak menghabiskan waktu dirumah membantu istrinya, saat pagi menjelang lelaki itu akan mulai sibuk berbagi tugas. Sang istri mendapat tugas pergi ke pasar, memasak, mencucui dan membuat sesajen, sedangkan sang suami menyapu halaman, membersihkan kebun, mengantar anak sekolah serta mengurus ladang. Malam harinya dia tidak pernah nongkrong diwarung seperti kelompok suami tak takut istri tersebut, dia memilih menonton TV dengan istri dan anaknya atau sesekali jalan-jalan ke pasar sengol. Lelaki yang dijuluki STI ini selalu menjadi bulan-bulanan para lelaki lain di kampung itu.

Apakah memang benar suami takut istri itu begitu rendah dimata lelaki lain? Atau sebaliknya Suami Tidak Takut Istri itu bagai pejantan tanguh yang memiliki keberanian dan nyali yang besar untuk bertindak sesukanya?

Salah seorang dari kelompok suami tidak takut istri ini suatu hari bermain judi hingga subuh, tak disangka dia didatangi oleh istrinya. Tanpa banyak bicara sang istri meninggalkan anaknya bersama lelaki itu dan sang istri langsung pergi. Teman-temannya yang dikelompok tersebut menertawakannya, dan lelaki yang mengaku tak takut istri tersebut langsung pucat. Sembari menggendong anaknya dia langsung mengejar istrinya. Teman-teman mereka cukup kaget melihat reaksi lelaki itu yang bertindak bukan membentak dan memaki istrinya melainkan mengejar sang istri. Hal serupa juga dialami lelaki lainnya, sang istri datang mengamuk melabrak suaminya yang dikenal sering menggoda penjaga billiard, tengah malam sang istri datang mengamuk membawa parang mengancam sang suami dan kemudian sang suamipun ikut pulang dan memelas kepada istrinya untuk diampuni. Atau kejadian lain menimpa saat salah seorang lelaki lain dari kelompok itu juga. Dia begitu dikenal di masyarakat sering mencari selingkuhan, ketika diketahui oleh istrinya sang istri malah menantang dia untuk mengawini selingkuhannya dengan catatan dia harus menceraikan sang istri, tapi lelaki itu tetap kembali kepelukan istrinya.

Apakah memang betul suami itu benar-benar tidak takut istri? atau hanya semata-mata keegoisan dan kesombongan seorang lelaki?

Atau apakah memang perlu seorang suami takut dengan istri?

Sepertinya sebuah hubungan yang timbal balik dengan dilandasi rasa percaya, menghargai satu sama lain, saling memahami dan mengerti akan terasa lebih indah. Tak perlu suami takut dengan istri ataupun sebaliknya tak perlu istri terlalu takut dengan suami. Karena ketika sebuah hubungan sudah dilandasi hanya karena alasan rasa takut maka sebuah hubungan itupun sudah diciptakan untuk tidak saling menghargai.
Ehe..he… zena kok dilawan !