Wednesday, January 31, 2007

Goresan tangan seorang abdi


“ Kita ini orang susah jalani saja hidup ini apa adanya, tidak usah mikir yang macam-macam, kita tak pernah tau esok akan bagaiamana “
“ Ya memang betul, gak usah ambisi kepengen hidup kaya bukankah begitu?”

Itulah sebuah penggalan obrolan bapak-bapak diwarung kopi, saat aku membeli dua buah pisang goreng pesanan bapak.

“ Eh Jana, bapakmu mana, kok tidak pernah ngopi diwarung sini “ tanya salah seorang bapak.
“ Bapak dirumah sedang menanak nasi”
“ Bilangin sama bapakmu tidak usah kerja terlalu ngoyo, toh juga tidak bakalan pernah kaya”

Aku hanya tersenyum meringis, sembari pulang membawa pisang goreng pesanan bapak. Aku tidak memperdulikan omongan orang itu dia hanya sibuk mengurusi orang lain. Kulahap pisang goreng yang enak ini yang selalu membuatku ingin menambah. Jatah pisang goreng untukku memang hanya satu, dan satunya lagi untuk bapak, menjadi impianku yang sangat sederhana untuk bisa makan lebih dari satu, disamping mimpi-mimpiku yang lain. Aku menuang air panas ke gelas yang ujungnya sudah camping, tak perlu lama untuk mengaduk kopi itu karena aku tak pernah mengisi gula untuknya, bukan karena alasan takut terkena diabetes namun kami tidak punya uang lebih untuk hanya sekedar membeli gula. Sedangkan untukku cukup air hangat saja untuk mengindari perut kembung dipagi hari yang buta.

Kami hanya hidup berdua di gubuk itu ditemani seekor babi, sapi serta beberapa ayam ternak yang sering kuintip telurnya untuk kujadikan lauk setiap harinya. Satu telur cukup untuk lauk kami sehari dengan tiga kali makan, bapak mencampur telur itu dengan sayur dan banyak cabai. Walaupun yang kami makan hanya nasi dan telur saja namun kami sampai berkeringat memakannya karena kepedasan. Aku adalah anak tunggal bapak, aku tak punya ibu, kata bapak, ibu meningal karena sakit, menurutku wajar saja, mengingat kondisi kehidupan kami, jangankan untuk mengobati ibu, untuk beli gula saja kami tak mampu. Walaupun begitu di umurku yang menginjak 20 tahun aku tumbuh sebagai lelaki sehat dan kekar, badanku hitam legam dan rambutku kecoklatan karena tiap hari terkena terik matahari. Aku sekolah hanya sampai SD saja, tidak seperti teman-teman lainnya karena keterbatasan ekonomi kami. Kata temanku aku adalah salah seorang yang menggagalkan program pemerintah wajib belajar 9 tahun.
Bapak adalah seorang abdi dia hampir menghabiskan 50 tahun hidupnya mengabdi pada sebuah keluarga terkaya di desa ini. Pekerjaan bapak tiap hari mengepel lantai marmer yang berlantai tiga, juga harus mengepel mobil mereka yang lebih dari lima, setelah itu dia juga di tugaskan memotong rumput halaman yang luas, memberi makan ternak dan banyak lagi pekerjaannya yang harus diambilnya. Jam 6 pagi dia sudah harus setor muka di keluarga itu dan pulang kembali setelah petang. Ibu Harun adalah nyonya besar dirumah itu, dialah yang memegang peranan. Wanita yang sangat galak dan cerewet. Tiap pagi bagun subuh untuk membuat sasak yang tinggi dikepalanya seperti ibu-ibu pejabat. Dulu ketika aku lulus SD anaknya bu Harun berencana menyekolahkanku sampai SMP, namun si Nyonya tua itulah yang tidak mengijinkan menyekolahkanku. Aku masih teringat omongannya waktu itu
“ Heh, untuk apa kamu berbaik hati sama anak seorang pembantu itu, tidak usah kau sekolahkan dia, aku mau memperkerjakannya, terlalu enak baginya sekolah, aku akan suruh dia mengurus ladang kita.”
Sudah tidak ada harapan lagi untukku sekolah, namun aku harus menerima keadaan itu. Ketika teman-teman pergi kesekolah menggendong tas dan besepatu kain sedangkan aku hanya memanggul cangkul dan bersepatu boot. Tapi teman-temanku sangatlah baik, mereka sering sekali datang kerumahku dan mengajariku apa yang mereka dapatkan di sekolah. Kutahu bapak sedih tidak dapat menyekolahkanku, namun aku dapat memakluminya.
Bapak sangat pendiam kami jarang berkomunikasi dan jarang keluar rumah selain bekerja, raut mukanya selalu datar tiada pernah kulihat dia tersenyum ataupun menangis, terkadang kubertanya, apakah dia masih mempunyai rasa. Aku pernah melihat Nyonya Harun menyiram muka bapak dengan kopi, permasalahnya hanya lantaran kopi yang dibuat olehnya kurang manis, mungkin bapak lupa kalau nyonya Harun memiliki berkarung-karung gula tidak seperti dirinya. Bapak hanya diam saja diperlakukan kasar dikeluarga itu. Sepulang kejadian itu aku memberanikan diri bertanya kepadanya
“ Bapak, kenapa tadi diam saja diperlakukan seperti itu, aku sedih melihatnya, seperti kita tidak punya harga diri”
“Ya, kita memang tidak punya harga nak, apalagi dimata mereka kita hanya seorang abdi, namun apa boleh buat, kita masih membutuhkan mereka untuk menyambung hidup, kalau aku melawannya berarti gajiku akan dipotong dan hanya akan membuat kita susah saja. Bapak sudah 50 tahun menjadi abdi, tiada pilihan lain Jana”
“Pak, aku bosan menjadi abdi terus, aku ingin merubah hidupku, aku tidak mau menjadi abdi di keluarga itu lagi, aku ingin jadi orang kaya pak”
Sahutku dengan ketus pada bapak. Hatiku jengah dengan kehidupan ini, aku ingin merubah kehidupanku.
Hari ini matahari begitu terik, aku menyandarkan badan di gubuk setelah mencangkul ladang keluarga bu Harun, kubuka bungkusan nasi yang tadi pagi kubawa bersama bapak, menu tiap hari masih tetap sama ada nasi, garam dan telur dengan banyak cabai, tetap nikmat kurasakan makanan itu. Sebentar lagi musim panen kuberharap mendapatkan bonus lebih dari keluarga bu Harun. Setelah makan siang aku menyenderkan kepala di bawah pohon kelapa, dan aku terkejut ketika dibangunkan oleh seseorang, aku bangun gelagapan, takut yang datang adalah bu Harun dan ternyata tidak yang datang adalah cucunya. Bocah lelaki berumur 9 tahun yang berbadan subur memiliki hobi makan dan tidur. Dia senang sekali bermain denganku, namun selalu sembunyi-sembunyi. Hari ini dia datang membawakanku makanan. Dia sangat bangga menjadi anak tunggal karena dia akan menjadi pewaris tunggal kekayaan ayahnya, berhektar-hektar kebun kopi dan ratusan ternak sedangkan aku sebaliknya anak tunggal dengan warisan gubuk kecil.
“ Hey, ngapain kamu keladang bawa buku sebanyak itu?, pasti kamu mengaku mau belajar ya pada orang rumah, dan kamu kabur main ke ladang” Godaku pada anak itu.
“Heh, kamu mau membuatkanku PR tidak? Nanti kukasi upah “
Dia selalu mengancamku untuk membuatkannya PR, anak ini memang sedikit bodoh, tapi dengan kebodohannya itu aku diberikan keuntungan, ada pemasukan lebih setiap harinya dari upah mebuatkannya PR.
Panen telah selesai, seluruh tabungan kukumpulkan, hal yang pertama kulakukan adalah membeli pisang goreng sepuasnya pagi itu, dan membuat teh panas manis, sedangkan untuk bapak kubuatkan kopi dengan gula. Masih duduk di depan tungku api sembari memasak nasi aku memperhatikan bapak, dia tersenyum padaku. Ini membutaku ingin membuka percakapana dengannya
“ Pak, aku ingin megubah nasibku, aku tidak mau selamanya menjadi abdi di kelaurga bu Harun, aku ingin mencari pekerjaan lainnya saja, aku ingin kaya pak”
Bapak menghentikan tangannya memotong ketela dan memandangku
“ Pekerjaan apa yang ingin kau cari ?”
“ Aku mau ke kota saja pak, palingan juga banyak pekerjaan disana, badanku kuat aku bisa menjadi buruh dagang”
“Ya, sama saja, menjadi buruh pasar juga tidak akan bikin kamu kaya juga kamu tetap menjadi abdi cuman beda tempat saja, asal kamu tau nak, kita itu memang di takdirkan dengan menjadi seorang abdi, jangan kira ketika kamu sudah menjadi seorang tuan majikan kamu bakalan tidak menjadi abdi lagi, kamu pasti tetap menjadi abdi dari tuanmu yang lain, semua itu seperti piramid dan kita tak mungkin menjadi yang paling atas, paling ataspun akan tetap menajdi abdi sang penguasa.”
“ Hah bapak ini, ya walaupun tetap menjadi abdi setidaknya menjadi abdi yang lebih baik dari ini lah pak yang bikin hidup ini gak susah kayak gini, beli pisang goreng aja ga mampu. pokoknya aku mau ke kota saja, pasti ada saja pekerjaan disana”
“ Ya, kalau memang sudah tekadmu mau merubah nasib hidupmu silahkan saja, nanti kamu bilang sama ibu Harun kalau kamu berhenti mengurus ladangnya”
Pagi ini kubertemu ibu Harun dan pamit padanya, dia mencibirku dan dia yakin suatu saat dia pasti akan kembali meminta pekerjaan padanya. Sakit hati juga aku dengan nenek tua tak berperasaan itu. Aku kemudian pamit kepada bapak untuk meninggalkan desa dan mengadu nasibku di kota. Bapak terlihat sedih kutinggalkan, dia memberikanku sebungkus nasi dan kuyakin lauknya adalah telur.
“ Kuharap kamu bisa menggapai mimpimu Jana, dan kelak kau tidak menjadi abdi seperti bapak” Kutatap dia sembari berpamitan.

Aku langsung menuju kota, pasar adalah tempat yang tepat untuk mencari pekerjaan dengan menghandalakan tubuh yang kuat. Kulihat disekiling mungkin ada yang dapat kukerjakan, aku mendekati seorang pemilik toko sekedar menanyakan apakah dia membutuhkan tenaga tambahan angkut barang. Dari sekian pemilik toko yang kutemui tak satupun membutuhkan tenagaku. Hari telah sore, aku tak mungkin kembali kedesa, uang tabunganku hanya cukup untuk makan seminggu, aku harus secepatnya mendapatkan pekerjaan. Kulangkahkan kaki menuju pantai, kota ini memiliki pantai yang cukup indah, dulu dipakai sebagai pelabuhan dagang, namun sekarang menjadi objek wisata. Banyak hotel-hotel dan restoran dibangun disekelilingnya, pernah juga aku bermimpi menjadi pegawai hotel tapi mustahil sekali bagiku yang hanya tamat sekolah SD.
Aku melihat sekumpulan pemuda pedagang cinderamata menawarkan dagangannya kepada turis asing yang sedang berjalan-jalan dipantai. Mereka membawa patung, kalung dan kerang. Seorang turis membeli beberapa buah kalung, kulirik dia membayar cukup mahal untuk barang seperti itu, kuberfikir pasti dia mendapatkan untung yang banyak. Kalau aku berjualan seperti itu aku pasti banyak uang dan kuajak bapak berhenti menjadi abdi mungkin aku tidak akan menjadi abdi lagi. Aku berjalan menyusuri pantai, dan melintas di depan hotel, banyak sekali turis-turis berjemur disana. Aku melirik sekilas para turis yang hanya mengenakan kutang dan celana dalam. Naluri lelakiku terpancing, otot organ vitalku mengeras, birahiku tertantang, kutersadar kalau aku belum pernah menyentuh wanita sekalipun di umurku yang beranjak dewasa, kuberjanji dalam hati aku akan kuberikan perjakaku kepada seorang gadis yang mampu memikat hatiku. Aku memang tidak pernah dekat dengan wanita, mungkin karena fikiranku hanya terfokus untuk mencari uang untuk mencukupi hidup. Kulangkahkan kaki dengan cepat menuju kampung nelayan, senang sekali rasanya sesekali melihat pantai. Para nelayan mengayuh perahu semakin jauh kedalam, kupandang mereka melempar jaring, cukup banyak tangkapan yang di dapat. Satu perahu mendekat menuju pesisir, beberapa pemuda berlari menarik perahu. Aku berfikir untuk mencari kerja disini saja, tubuhku cukup kuat untuk melakukan perkerjaan itu. Kudekati seorang nelayan berharap dia membutuhkan bantuan untuk menarik jaring. Seperti gayung bersambut dia memperbolehkanku bekerja disana, untuk masa percobaan aku akan diupah dengan beberapa ikan tangkapan. Tidak masalah bagiku selama dia meberikanku tempat menginap. Keesokan harinya aku sudah mulai bekerja dan diajak melaut, menjadi pengalaman baru bagiku melaut, kucoba bersahabat dengan angin, ombak, pasir, dan air yang terbentang luas. Mualnya mabuk laut membuatku terhuyung seharian.
Sebulan telah kutaklukan lautan dan hatiku senang ketika majikanku memberikankau upah berupa uang dan beberapa ikan untuk kumasak. Hidupku sedikit mengalami perubahan, kali ini tak makan telur dan cabai lagi tapi aku bisa makan ikan. Sore hari setelah melaut aku duduk dipinggir pantai, kunyalakan sebatang rokok, aku sudah bisa membeli rokok dan juga sering minum arak, kata pemuda kampung disini akan terlihat gagah dan dilirik perempuan jika kita merokok dan minum arak. Sejenak hayalku kembali kedesa, kuteringat bapak rasa rindu menyeruak, ingin ku pulang menjenguknya namun tabunganku belum cukup.
Kali ini hasil tangkapan kami tidaklah banyak, aku dan majikanku cukup kecewa, angin bertiup kencang beberapa hari ini dan ombakpun besar membuat kami susah melaut. Terik matahari menyengat, aku berteduh di gubuk majikanku, sosok seorang perempuan melintas, dia tersenyum padaku membuat hatiku berdesir, kubalas senyumannya, dia sibuk menjemur ikan, kutatap setiap geriknya, ingin hati memiliki perempuan itu. Ini adalah pertama kali aku merasakan hal ini, mungkin aku telah jatuh cinta padanya. Dia sering mencuri pandang padaku, membuat aku semakin ingin mendekatinya. Kuberanikan diri mendekati dan menyapanya sambil membantunya membalikkan ikan-ikan asin itu. Saat kudengar suaranya semakin membuat jantungku berdebar. Dia menggunakan kain selutut memperlihatkan kulitnya yang halus, sungguh aneh dikampung nelayan dengan terik matahari dan udara yang asin ada seorang perempuan yang berkulit putih.
Sari nama perempuan itu yang membuatku tidak bisa tidur malam ini, fikranku terus tertuju padanya. Pintu gubukku diketuk oleh majikan dia mengajakku melaut tengah malam, berharap dapat menutupi tangkapan tadi pagi, hasilnyapun cukup lumayan kami tidak perlu melaut kembali. Aku duduk diluar gubuk menghilangkan penat berharap bertemu dengannya. Harapanku terkabul, kulihat Sari melintas, namun rasa kecewa menyergapku, dia digandeng seorang lelaki, kuberanikan untuk menatapnya, dia hanya menunduk dan mengintip dari sudut matanya, mata kami sempat saling bertatap, membuat hatiku bergemuruh. kuyakin dia tertarik padaku. Kulemparkan senyum saat dia melintas di depanku dan mengalihkan pandanganku ke laut mengusir rasa kecewa, angin masih terasa kencang, langit kelam bertaburan bintang. Kunyalakan api unggun untuk mengusir dingin, beberapa ikan kubakar sebagai santap malam. Kumenuang secangkir arak dan menyalakan sebatang rokok untuk mengusir dingin, cukup sepi malam ini, para pemuda kampung ini tiada yang keluar, kudengar orang-orang sedang pergi ke alun-alun untuk menonton wayang. Aku malas pergi dan memilih untuk duduk. Disela-sela asap rokok kembali kumenangkap sosok Sari, rambut panjangnya tergerai, jantungku semakin berdegup kencang. Kulempar pandangan kesekeliling Sari kembali melintas di depanku tanpa lelaki itu, namun tetap kupastikan tiada lelaki itu di sekitarnya. Kuberanikan menyapa dan bercakap, kuajak dia mampir di depan gubuk sambil menikmati api unggun. Tak kusangka kini aku duduk berdua dengannya, dia anak yang pemalu dan pendiam, tidak pernah mendahului membuka pembicaraan dan menyahutpun dengan singkat.
Malam itu merupakan malam yang sangat indah bagiku, walaupun kami hanya mengobrol dan berjalan-jalan saja, sepertinya dia memberikan respon yang positif terhadapku. Kuberharap malam ini aku bisa bertemu denganya lagi. Aku memang sedang beruntung perempuan pujaanku kembali lagi seorang diri. Kali ini aku lebih berani menyapanya dengan akrab dan mengajaknya berjalan menyusuri pantai menjauhi kampung nelayan. Saat seperti ini naluri lelakiku muncul, kuberanikan diri untuk menggandeng tanganya, Sari begitu menggairahkan, tiada canggung sekalipun dia terhadapku walaupun nampak pemalu. Aku sedikit gugup menghadapinya mengingat ini adalah pertama kali sedekat ini dengan perempuan. Kutenangkan diri, dan berisitahat untuk duduk menghadap lautan. Sungguh diluar sangka, Sari menyenderkan kepalanya di bahuku. Tuhan !! pekikku kuatkanlah imanku perempuan ini sungguh memikat hatiku. Mungkin dia bisa mendengar degup jantungku, kuberanikan diri merangkulnya Tak bisa kubendung hasrat ini yang menggelora, seperti deburan ombak. Mata kami saling bertatap memancarkan rasa cinta dan hasrat. Aku cukup gugup untuk memulainya mengingat ini adalah pertama kali kulakukan. Kupejamkan mata dan mendekatinya, kurasakan hangat nafasnya memasuki rongga mulutku dan otot organ vitalku kembali mengeras sejadi-jadinya membuat gundukan kecil dan membuat sempit celana yang kugunakan, kudengar nafasnya naik turun, dan aku hanyut dalam pengembaraan, bergumul diatas pasir tanpa sehelai benang di saksikan bintang dan gelap malam. Surga dunia kukecap, kutatap matanya dalam tak ada tanda penyesalan, dia hanya tersenyum menatapku.
Pagi ini tak ingin rasanya terjaga, baju yang kukenakan masih tercium harum perempuan itu. Hayalku selalu dipenuhi oleh Sari. Majikanku sudah bersiap-siap melaut, aku beranjak mencuci muka, di laut aku lebih banyak terbengong dan tak bergairah kerja. Malam ini kunantikan lagi berharap Sari menemuiku lagi, aku duduk di pinggir pantai hingga larut dia tak kunjung tiba hingga angin laut menusuk tulangku, akupun beranjak pulang, sekian malam kulewati untuk menunggunya kembali namun tetap saja sari tak kunjung menyapaku. Gundah hati menyelimuti, hasrat ingin bertemu semakin menggebu, apalagi hasrat untuk mengulang malam itu tak dapat kubendung. Aku masih duduk di pingir pantai, kudengar langkah seorang datang ku cepat menoleh dan menghampiri ternyata bukan dia. Seorang pemuda kampung, datang membawa arak, dan mengajakku minum bersama, dalam hamparan dingin kunyalakan rokok, kuisap dalam dan terbawa angin. Aku memberanikan diri bertanya padanya tentang Sari dan sungguh membuatku terkejut bahwa Sari akan menikah dengan seorang anak orang kaya dikampung nelayan ini. Aku tercengang, badanku lemas, harapan dan cintaku telah hilang.
Sejak malam itu aku berusaha untuk melupakannya, dan mengisi hari-hariku dengan melaut. Tangkapanku juga tidak seberapa, cukup membuat penghasilan kami merosot, aku turun dari perahu dan menariknya ke pesisir pantai. Seorang wanita bule paruh baya berambut pirang menunggu perahu kami untuk membeli ikan, dia mengambil semua hasil tangkapan kami. Dan aku dimintanya untuk mengantarkan ikan itu kerumahnya. Aku cukup terbengong ketika mendapati rumahanya yang begitu mewah dengan kolam renang pribadi. Dia memberikanku uang yang dua kali lipat dari harga jual ikan tersebut.
“ Nyonya uang anda lebih”
“oh tidak sisa nya itu memang untuk kamu”
“ sebanyak ini nyonya?”
“Iya, besok kalau ada ikan lagi tolong kamu bawa kesini ya “
“baik nyonya”
Kelebihan uang yang diberikannya itu nyaris sama dengan gaji yang diberikan oleh majikanku. Hari ini tangkapanku banyak dan kuberfikir segera membawa ke nyonya bule yang kaya itu. Dia terlihat senang ketika kubawakan ikan dan memintaku untuk membantu membersihkan ikan tersebut. Setelah pekerjaanku selesai aku pamit pulang padanya.
“ Heh , tunggu sebentar ini uangnya”
“ kenapa lebih lagi nyonya?”
“ Iya itu untuk kamu lagi”
“ Terima kasih banyak nyonya”
“ oh ya nama kamu siapa?”
“Saya Jana Nyonya”
“Ok Jana lagi tiga hari tolong saya di bawakan ikan yang lebih banyak lagi, karena saya mau mengadakan pesta di rumah , juga apa kamu bisa bantu saya untuk memanggangkannya?
“ oh tentu nyonya”

Dengan senang hati aku mulai membantunya memanggang ikan. Ramai sekali tamu yang datang akupun ikut menikmati makanan yang terasa aneh di lidahku kecuali ikan panggang, juga aku diberikan minuman yang memabukkan tapi tidak sekeras arak. Keesokannya dia memintaku membantu membersihkan rumahnya yang penuh sampah seusai pesta. Hari ini semakin kurasakan rumahnya yang begitu luas dan hanya ada seorang pembantu di rumah itu seorang perempuan tua yang lebih banyak menghabiskan waktu di dapur. Nyonya bule itu hidup sendiri tak ada suami juga anak-anaknya. Selesai membersihkan rumahnya, nyonya bule itu kembali memberiku upah yang banyak.
“ heh Jana , apa kamu mau bekerja untukku membersihkan rumahku?”
Aku tak perlu berfikir panjang untuk mengiyakan. Bisa di bayangkan Gaji bekerja sehari saja sudah lebih dari cukup apalagi kalau sebulan dengan pekerjaan yang sangat gampang.
“ baik nyonya, saya mau bekerja disini”

Mulai hari ini aku tinggal di rumah nyonya bule, aku diberikan 1 kamar yang bagus berisi kamar mandi, jauh sekali dengan rumahku di kampung. Nyonya itu baik sekali tidak seperti nyonya Harun, kadang dia membelikanku pakaian dan banyak lagi hadiah yang tak kuduga. Sudah nyaris dua bulan aku bekerja dan inilah pekerjaan yang paling menguntungkan buatku, sesekali aku berkunjung ke kampung nelayan mentraktir para pemuda kampung sembari minum arak dan berharap bertemu dengan Sari perempuan pujaanku. Malam ini aku dibangunkan oleh suara mobil Nyonya bule, aku harus membukankan gerbang untuknya. Dia pulang sangat larut dan dalam keadaan mabuk berat ditemani seorang pemuda. Nyaris setiap minggu dia keluar malam dan pulang dalam keadaan mabuk dan ditemani oleh pemuda yang berbeda-beda. Pemuda itu membopongnya masuk kekamar dan akan keluar kamar keesokan siang. Bibi juru dapur pernah bercerita padaku kalau nyonya bule sudah becerai dengan suaminya dan anaknya tinggal diluar negeri. Kini nyonya bule tidak menikah lagi tapi memiliki pacar yang banyak yang hanya bertahan seminggu. Malam ini nyonya bule keluar lagi untuk berpesta dan pastinya pulang dalam keadaan mabuk serta ditemani lelaki baru lagi. Aku sedang mengingat Sari dan malam yang pernah kami lewati. Lamunanku di buyarkan oleh suara klakson mobil Nyonya bule. Aku membukakan gerbang, kuperhatikan dia turun dari mobil seorang diri tanpa ditemani seorang pemuda. Dia berjalan terhuyung dan aku membopongnya masuk kedalam kamar, kucoba membangunkan bibi juru dapur untuk membantu tapi dia tidak terjaga juga. Nyonya bule berbicara tidak karuan, kadang memakai bahasa yang tidak aku mengerti. Segera aku menutup pintu kamarnya dan kembali melanjutkan tidurku. Tak selang berapa lama aku harus terbangun kembali dengan teriakan nyonya bule, aku mendatangi kamarnya.
“ Heh Jana ambilkan aku minuman lagi “
” Baik Nyonya”
Kubawakan dia minuman akohol sambil membersihkan kamarnya yang penuh dengan muntah. Nyonya bule sudah diluar kontrol dia memanggil nama orang. Sembari aku membersihkan sisa muntahannya dia tertidur terlentang hanya mengenakan kutang dan celana dalam. Sebagai lelaki normal birahikupun tak bisa diajak kompromi. Dalam keadaan mabuk nyonya bule memintaku untuk menemaninya di kamar. Dengan perasaan takut dan canggung aku duduk di sofa tapi diluar dugaanku nyonya bule memintaku menemaninya di ranjang, rasa takut menyergapku, tapi nyonya bule sepertinya memang menginginkanku. Dan malam itu kulewati dengan majikanku namun hayalku terbang bersama Sari.

Pagi ini kuterbangun sangat gugup dan aku takut dipecat atas kejadian semalam cepat-cepat aku keluar kamar nyonya bule. Seharian aku tak berani berpapasan dengannya, rasa takut menghantuiku. Menjelang malam ini aku semakin gundah karena ketakutanku, suara nyonya bule terdengar memanggilku, dan akupun gemetar. Aku akan kehilangan pekerjaanku. Dengan muka pucat pasi aku menghadapnya.
“ Jana, tolong saya dibelikan minuman lagi”
Akupun pergi dengan perasaan sedikit lega namun kecemasan tetap menghantuiku akan kehilangan pekerjaan. Hingga larut dia masih menegak minuman itu. Tengah malam dia kembali memanggilku meminta ditemani minum – minuman berakohol tersebut tak ada sedikitpun dia menyinggung masalah semalam, hingga kamipun berada di bawah pengaruh akohol. Dan kami berdua kembali mabuk dan berakhir di ranjang, kali ini aku mulai bisa menikmati dan tidak begitu takut karena kuyakin kalau majikanku memang menginginkanku. Hal inipun berulang hingga berkali-kali dan aku mulai terbiasa.

Ini adalah awal bulan waktunya aku menerima gaji, sunguh diluar dugaan aku mendapatkan gaji yang sangat banyak. Aku semakin terkejut ditambah lagi ketika aku tak perlu lagi membersihkan rumahnya dan mendapatkan tugas baru hanya menemaninya berjalan-jalan, makan, minum hingga mabuk dan berakhir di ranjang. Kini uang bukan masalah lagi bagiku, aku dibelikan segalanya dan gaya hidupku nyaris seperti orang kaya. Hanya satu syarat yang diberikan oleh nyonya bule, aku tak boleh berhubungan dengan perempuan lain selain dia. Sari harus kulupakan juga. Aku mematuhi permintaanya demi uang dan dan aku rela menemaninya diranjang walaupun aku tidak pernah mencintainya.
Hidupku kini telah berubah, aku menjadi teingat dengan obrolan bapak-bapak di warung kopi kampungku
“ Kita tidak akan pernah tau akan bagaimana esok, ya dijalani saja”
Hari ini aku pulang kekampung menjenguk bapak, kucari dia kerumah Ibu Harun, dia sangat tekejut melihatku datang membawa mobil dan berpakain bagus. Bapak tidak mengenaliku. Ibu Harun hanya mencibir menatapku tak suka.
“ Jana itu kamu?”
“ Iya pak, ini Jana”
Akupun mengajak bapak pulang, banyak orang kampung menatapku seolah tidak percaya dengan diriku.
“Jana kamu nampak lain, sudah punya banyak uang, tak lagi menjadi abdi kasar yang selalu dimaki majikan, kamu menggapai mimpimu nak ?”
“ Ya pak, jana tidak perlu lagi menjadi abdi yang selalu dimaki majikan, Ini Jana ada uang untuk bapak, untuk membenahi rumah, kalau bapak mau tidak usah lagi bekerja pada Ibu harun, akan kubelikan bapak ladang dan sapi “
“Jana dimana kamu dapatkan uang sebanyak ini? Apa pekerjaanmu Jana?”
Pertanyaan bapak tak bisa kujawab dengan jujur, aku harus berbohong.
“ Aku bekerja sebagai mandor buruh pak”
“baiklah, asalkan kamu bekerja yang halal dan jujur saja. Kini kau sudah menjadi tuan majikan, jangan kasar terhadap abdimu”
“ Ya pak”
“Terus apa kamu tidak menginap dirumah dan besok pagi membeli pisang goreng sepuasmu atau makan nasi dengan sambal telur seperti biasanya?”
“Tidak pak, aku banyak pekerjaan, aku harus kembali ke kota sore ini”
Aku pergi meninggalkan bapak, dalam perjalanan aku termenung dengan perkataan bapak.
“ Pak maafkan anakmu ini atas ambisiku yang ingin hidup berkecukupan dan tidak mau lagi menjadi abdi seperti dirimu aku harus menempuh hidup ini demi hidup yang lebih baik, walaupun aku harus melacurkan diri dengan mengabdi sebagai pemuas nafsu seorang nyonya tua” bisiku dalam hati.

No comments: