Tuesday, January 16, 2007

Bocoran ilahi - sebuah cerpen

Ruang konsultasi lelaki itu tak pernah sepi di kunjungi oleh orang yang ingin menanyakan ramalan nasib, peruntungan, jodoh, dan rejeki. Telah 4 jam aku menunggu dia selesai meladeni para tamunya. Aku bukan datang untuk diramal namun karena aku telah lama tidak bertemu dengannya. Kupandangi foto lelaki yang berpose bersama sederetan orang yang tak asing lagi di layar TV. Dia telah menjadi sahabat para artis yang sering diminta petunjuk masalah karir keartisannya. Hampir lima tahun aku tidak bertemu dengannya, badannya sedikit kurus, uban putih mengkilat menyela diantara warna hitam. Dia nampak semakin dewasa, tampan dan mapan. Lelaki yang pernah singgah di hatiku sekian puluh tahun dan akhirnya kulukai hatinya. Tak pernah sedikitpun aku menyangka dia akan menjalani profesi sebagai seorang peramal, waktu telah merubah hidupnya. Sangat lucu ketika aku teringat foto wisudanya saat mendapatkan gelar sarjana hukum.

Seorang wanita yang lebih mirip asistennya mempersilahkan aku masuk setelah seorang bintang film keluar dari ruangannya. Hatiku sedikit bergetar ketika aku memasuki ruangannya. Udara dari pendingin menyergap dan langkahku sedikit ragu untuk menemuinya.
“Silahkan” sapanya setelah mendengar pintunya terbuka, dan tetap menunduk menuliskan sesuatu dalam bukunya.
“ ngg.. hai” sapaku canggung dan membuatnya menengadah dengan tatapan tak percaya, bergegas dia mendekat dengan rasa keterkejutannya.
“ Apa kabar? .. dengan siapa “
“Kabar Baik, Sendiri” jawabku masih cangung
“hhhmmm maaf, suamimu?”
“Dia sedang tugas keluar kota”
“Ada yang bisa aku bantu Maya, kamu dengan tiba-tiba muncul kembali?”
“uhmm..sebenarnya aku hanya mampir dan ingin bertemu denganmu”
Jawabku sekenanya dan penuh dengan rasa canggung.
“ Sepertinya, suasana ruang kerjaku kurang nyaman untuk kita mengobrol, berhubung kamu klien terakhirku, bagaiaman kalau kita mencari tempat ngobrol yang lebih relaks saja, sekalian makan malam. Kamu tidak ada acara kan? “
“Boleh “ jawabku singkat untuk meredam rasa gelisahku.

Aku menunggu dia merapikan berkas-berkasnya. Aku memilih untuk tidak satu mobil dengannya agar aku dapat menenangkan gundahku, kuikuti mobilnya yang merayap di malam kota ini. Aku masih tidak percaya dengan tindakanku dan ide gilaku yang tidak terkontrol untuk menemuinya tanpa alasan yang tepat. Hasrat sesaat yang ingin mengetahui kabarnya begitu menggebu. Dia berbelok menuju salah satu restoran, sebuah pilihan yang bagus dan nyaman. Kami duduk saling berhadapan, dia menatapku dengan hangat, sama dengan sekian tahun yang lalu. Aku melirik sejenak ke jemarinya, ada cincin melingkar di jari manisnya. Mungkinkah dia telah menikah tanpa aku ketahui. Ya mungkin saja karena aku tidak pernah memberikan kontakku padanya atau aku mencari tahu tentangnya.

“Apa kabar Maya?” dengan nada yang masih belum percaya akan pertemuan ini dan menanyakan hal sama untuk kesekian kalinya.
“ Ya, seperti yang kamu lihat”
“ Bagaimana dengan kehidupan cintamu, keluarga dan anak-anakmu?
“ Kehidupanku baik-baik saja, keluarga juga menyenangkan, tapi aku belum mempunyai anak”
“ Oohhh, belum ada, kenapa? apa masih mau berkarir terus seperti cita-citamu dulu?”
“Haruskah aku menjawab?” tanyaku pelan
“Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu tidak nyaman”
“Terus ada angin apa kamu tumben menemuiku setelah sekian lama?”
“Masa kamu sebagai peramal tidak tahu tentang kedatanganku”
“Jangan ungkit-ungkit masalah profesiku disini, walaupun aku sebagai peramal aku tidak mendapatkan pawisik kalau aku akan bertemu denganmu”
Tawanya renyah berusaha mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung.
“ Angga, maaf apakah kamu sudah berkeluarga?”
“ Ooohh, kamu melihat cincin ini ya? Sudah..aku telah menikahi seorang wanita setelah 2 tahun pernikahanmu berlangsung dan tanpa kabar darimu.” Senyumnya sedikit sinis.
“ Kalau boleh tahu siapa wanita itu ?”
“ Dia wanita yang hebat, manis dan lembut”
“ Kapan-kapan perkenalkanlah denganku, orang yang dapat menggantikan posisiku itu”
“Dia menggantikan, karena kamu telah meninggalkan posisimu”
“Dimanakah dia sekarang?”
“Apakah dia begitu penting bagimu?”
“Uhhmm setidaknya aku ingin tahu, terus apakah kamu sudah mempunyai anak?”
“Aku sama sepertimu, aku belum memiliki anak, dan juga aku telah bercerai.
“Maaf, kok secepat itu?”
“Karmaku hanya sampai disitu denganya, entahlah kehadirannya tetap terasa hampa karena aku tak pernah bisa mencintainya dengan jujur. Lupakan saja sudah berlalu. Terus aku ingin bertanya padamu , angin apa yang menerbangkanmu menemuiku?”
“ Akupun tidak tahu, entah apa yang mendorongku untuk menemuimu dan menungumu selama 4 jam”
“Apakah 4 jam terasa berat dan lama bagimu?”
“Ya, pastinya aku harus mengantri diantara sekian banyak klienmu” tawaku untuk menghilangkan kesan kaku.
“ Tapi pernahkah kamu membayangkan kalau ada orang yang masih tetap setia menunggu seseorang sekian tahun lamanya mungkin hingga esok dan lusa?”
Aku menyadari arah pembicaraan Angga, dia telah menyindirku yang begitu saja meninggalkannya.

Dreet..drett..drettt.. Hpnya bergetar dan dia beranjak menjauhiku, sayup-sayup kudengar dari mejaku pembicaraannya dengan nada bicara yang lembut dan kasih sayang. Mungkin dari pacarnya yang baru. Dengan namanya yang kini dikenal oleh publik pastinya dia akan selalu dikelilingi oleh perempuan berparas ayu.

Dia kembali ke meja kami dan meraih tanganku. Tatapan matanya masih tetap sama dengan tatapan sekian tahun yang lalu saat aku melukainya.
“ Maya, sebagai seorang peramal, sejujurnya aku tidak begitu gampang menebak arah fikiranmu, karena kamu begitu spesial di hatiku. Jadi ada yang bisa aku bantu ?
“ Sebenarnya tidak ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu, aku hanya ingin menemuimu saja. Mungkin karma kita yang mempertemukan kita kembali. Terus malahan aku yang ingin bertanya padamu, kok kamu bisa menjadi cenayang seperti ini?” Tawaku seraya menirukan kosa katanya.
“He..he..he.., entahlah, mungkin sudah menjadi jalan hidupku. Setelah kita berpisah, aku sering merasa resah dan tidak bisa tidur, daripada aku frustasi yang tidak karuan aku mencoba untuk meditasi, dalam perjalanan pengembaraan rohku, seringkali aku diberikan penghilatan akan sesuatu, seperi hal gaib. Dan aku menjadi tertarik dengan hal-hal mistis dan gaib. Meramal menjadi sebuah ketertarikan bagiku, bermodalkan dengan kartu tarot yang kubeli dari toko buku aku mulai belajar memahami sebuah dunia diluar logika. Romi teman kuliah kita dulu menjadi sasaran pertamaku. Dan diluar dugaan apa yang kuramalkan menjadi kenyataan. Kejadian itu sempat membuatku takut. Menjadi peramal bukanlah hal yang menyenangkan, terkadang kita di hadapakan pada sebuah fenomena yang sering tidak ingin aku percayai, apalagi ketika aku melihat akan ada bencana alam atau orang-orang terdekat kita mengalami musibah. Dan repotnya lagi, setiap awal tahun selalu membuatku sibuk, klienku selalu ramai menanyakan peruntungannya, nasib, jodoh, karir, konsultasi bisnis, dan banyak hal yang terkait dengan hal tersebut membuat fikiranku lelah. Semua orang berusaha untuk mencuri start mengetahui tentang jalan hidupnya. Mereka selalu ingin tahu dengan hal yang seharunya menjadi rahasia Ilahi. Tapi Tuhan berkata lain aku ditakdirkan sebagai orang yang “ember” selalu membocorkan rahasia Ilahi. Terkadang aku sering merasa takut dan tidak berani jujur saat meramal, ketakutanku dengan berbagai hal buruk yang akan menimpa, ketakutanku ketika mengetahui beberapa teman yang sering aku ajak jalan akan meninggal dalam waktu dekat, atau mereka akan bercerai. Haruskah aku jujur dan membocorkan semua rahasia ilahi tersebut?. Aku sering merasa ketakutan sendiri dengan semua hal yang kulihat. Ketika aku sedang bermeditasi ingin rasanya aku tak kembali lagi ke dunia ini, aku menemukan tempat yang jauh lebih nyaman, namun tugasku belum selesai, karmaku masih panjang di dunia ini, aku diberikan tugas sebagai orang yang bermulut ember yang selalu membocorkan rahasia ilahi.
“uhhmm, kalau begitu maukah kamu meramal ku Angga ? tapi katakan yang baik-baik saja ya?”
“Baiklah akan kukatakan yag baik-baik saja”
“Apa yang kamu lihat Angga?, tanyaku dengan hati-hati”
“ Semuanya baik-baik saja, karirmu makin bagus, keluarga juga”
“Baguslah”
“Maya, boleh aku minta sesuatu padamu ? “
“Ya, asal tidak memberatkan” Candaku padanya.
“ Sisakan sedikit ruang dihatimu untukku, menyimpan dua cinta tidaklah dosa, seandainya dosa biar aku yang akan memikulnya. Cintaku padamu tidak pernah berubah dari dulu hingga esok. Bawalah terus cintaku dihatimu, hanya itu yang kupinta”

Permintaan Angga menyeret kenanganku tergulir pada saat-saat kami bersama. Tindakan dan ide gilaku untuk menemuinya membuahkan hasil diluar kontrol. Dan kami mendapatkan satu fakta bahwa kami memang masih saling mencintai dan malam itu membuat kami benar-benar lepas dari kontrol logika.

Setelah pertemuan itu aku tidak pernah menghubungi Angga kembali, aku takut hal diluar kontrol akan terulang kembali. Telah seminggu aku terbaring dirumah sakit, aku merasakan sakit yang amat sangat di bagian perutku, menurut diagnosa dokter aku telah menderita kanker rahim yang tak pernah ingin aku percayai. Kondisiku semakin menurun, mungkin aku hanya bisa menghirup udara hanya tinggal beberapa saat. Kala seperti ini aku merindukan sosok seorang Angga yang selalu bisa memotivasiku. Kupejamkan mataku, memohon kepada Tuhan agar Angga diberikan pawisik dan mencariku untuk menemuiku.

“Tuhan ijinkanlah aku bertemu denganya, sebelum ajal menjemputku”

Hari ini suamiku tidak bisa menungguiku di rumah sakit, dia harus menjalankan tugas yang tak bisa ditolaknya. Pintu terbuka, bukan dokter yang berpakain putih yang masuk namun Angga datang dengan memakai pakaian hitam dan seikat bunga mawar merah berpita hitam.
“Tuhan, terima kasih kau kabulkan permintaanku”
“Angga, apakah hari ku telah tiba?”
Angga hanya terdiam dan menggenggam tanganku.
“ Angga, kamu jangan sedih, bukankah kamu telah mengetahui ramalan hidupku sejak malam pertemuan kita dan kamu menyembunyikannya padaku, kamu hanya mengatakan yang baik-baik saja padaku, walaupun itu memang permintaanku”
“ Maya, sejak malam itupun aku telah menangis, disaat orang-orang masih menikmati kecantikanmu dan kerianganmu, tapi aku telah menangis dan bersedih menghitung waktu. Melihatmu seperti mayat yang berjalan semakin membaut hatiku terluka. Maya, waktumu memang sudah tiba. Karmamu hanya sampai disini saja. Aku datang ingin meyakinkanmu bahwa cintamu akan selalu mengisi seluruh ruang dalam hatiku hingga kapanpun. Bawalah cintaku pergi, jangan bawa penyesalan dan kesedihan. Tak ada yang lebih menyakitkan dalam hidupku sebagai seorang peramal saat mendapatkan bocoran dari ilahi tentang kematian seorang terkasih yang teramat kucintai. Pergilah Maya dalam damai dan cinta”



No comments: