Monday, December 18, 2006

Peagnue de Penyu

Dedicated to Isabelle

“ Bonjour Mademoiselle “

Sapa lelaki tua itu setiap hari sembari menikmati sarapan pagi ditemani istrinya tersayang. Kopi pekat tanpa gula dan telur yang direbus selama 3 menit tidak boleh lebih atau kurang sudah di hapal dengan baik oleh juru dapurku. Mereka hampir menghabiskan seluruh waktunya di rumah kami sejak tiga tahun belakangan ini. Terkadang mereka pergi sesekali ke Perancis mengunjungi menara Eiffel dan sanak saudranya atau ke Singapura hanya untuk memperpanjang visa turisnya. Monsieur Jendral Patrice adalah panggilan kebanggaannya, lelaki kurus jangkung berambut putih yang renta, dia diemani seorang perempuan tambun paruh baya berhati mulia yang selalu mencintai dan setia melayaninya. Lelaki jangkung tersebut menikahi Madame Evelyn sepuluh tahun yang lalu, saat lelaki itu di vonis akan meninggal dalam jangka waktu lima bulan karena penyakit kanker yang di deritanya sejak 12 tahun yang lalu. Empat orang dari lima pasien kanker yang ditangani oleh dokter tersebut telah berpulang sesuai dengan vonis diberikan oleh dokter. Namun lelaki jangkung tua ini masih bisa berjalan, melucu dan beraktivitas dalam kerentaan hingga hari ini dan berharap esok pula.

“ Aku ingin meninggal di tempat yang aku senangi dan disaksikan oleh kawanku”
Itulah penggalan surat yang dituliskan kepada keluarganya dan dengan keteguhan hati dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di desa Ubud.

Mendengarkannya berbicara tak hanya memerlukan kepekaan telinga namun juga harus memerlukan kepekaan mata untuk membaca bahasa tubuhnya. Bukan lantaran masalah bahasa yang berbeda, namun karena suaranya nyaris hilang seiring dengan berbagai therapy yang dilakukannya selama masa pengobatan. Badannya semakin kurus dan tak pernah bisa makan makanan padat, semua makanan yang masuk ke perutnya harus melalui proses di blender. Satu butir nasi menyangkut di tenggorokannya akan membuat kami semua pucat pasi karena dia tidak akan pernah bisa bernafas lagi. Kondisi kesehataannya semakin parah ketika dia mendengar kematian adik perempuannya tersayang “ Isabelle” yang meninggal karena serangan jantung. Sungguh tersiksa sekali melihat keadaannya. Dia tak pernah mau ke dokter sejak vonis kematian dokter meleset.

“Aku hanya ingin menikmati sisa hidupku saja, aku ingin bebas “

Katanya dengan penuh keegoan dan keangkuhan. Kini hari – harinya hanya diisi dengan membaca buku, menonton televisi ditemani berbotol-botol beer dan tembakau linting.

Hari ini dia merasa bahagia luar biasa. Restoran barunya telah selesai di bangun dan siap beoperasi, malam ini kami mencoba beberapa menu favorite, sembari menghabiskan sisa wine dia mengambil tanganku serta merta mencium dan mengajakku berdansa dalam sebuah lagu berbahasa perancis. Dalam aluanan musik dia berbisik padaku.

“ Aku sekarang merasa bahagia sekali, jika Tuhan meninginkanku saat ini, aku telah siap. Restoran ini kubuat sebagai persembahanku kepada Isabelle yang lebih dahulu meninggalkanku dan juga untuk istriku tercinta Evelyn. Dia berkorban banyak untukku dan keegoanku, dia rela menutup restorannya di perancis guna menemaniku melewati perjuanganku melawan kanker. Untuk mereka semua ini aku wujudkan.”

Binar matanya memancarkan kebahagiaan dan kepasrahan.
Aku hanya tersenyum dan berbisik kecil

“Patrice, kami masih senang bersamamu. Jangan buru-buru menghadapNya”

Merde, Peagnue de Penyu !!!
Sante…!!! A La Votre !!!! Cheerss !!!

No comments: