“Ingin menjadi tetangga saya?”
Bunyi sebuah iklan apartemen dalam billboard ukuran besar di kuta. Ikon yang di gunakan adalah salah satu diva Indonesia – Kris Dayanti.
Kufikir pasti banyak orang ingin menjadi tetangga selebritis kenamaan Indonesia itu.
Selain apartemen yang bagus dengan fasilitas hotel bintang lima, kira-kira apa yang menjadi daya tarik lain apartemen itu?
Hmmm kalo boleh kutebak BALI! Yapp, the island of paradise.
Tanah kelahiranku yang kucinta.
Sebuah kebanggaan bagi para kaum jetzet Jakarta, Singapore, Taiwan dan beberapa Negara lainnya untuk mempunyai investasi rumah di Bali.
Berapa kira-kira orang Bali asli yang ikut membeli apartemen tersebut? Hmmmm pasti sedikit atau malah tak ada?
“Saya tak sudi menjadi tetanggamu Kris Dayanti!, itulah bathin saya.”
Ray White, Kuta Property, Ubud Property - sale Land, Villa and Houses.
Sakit Hati melihat iklan tersebut.
Tanah siapa yang di kavling dan di jual itu? Tak salah jika pertiwi menangis. Sawah habis untuk pembangungan villa dan hotel. Petani tergusur, air untuk pertanian habis untuk pemenuhan kebutuhan hotel.
Sawah yang dinikmati, budaya yang dikagumi, tak ada kontribusinya, petani hanya menjadi tontonan, tak ada kontribusi untuk pemeliharaan dan kelanjutannya.
Bali destinasi wisata. Menghamba pada wisatawan untuk kehidupan masayrakatnya.
Miris !
Kuta, seminyak, Nusa dua sudah tak seperti Bali lagi, akankah Bali akan bernasib sama dengan Jakarta? Dimana masyarakat asli betawi tergusur oleh kedatangan modernisasi?
BALI – BULE. Beberapa tahun lagi mungkin masayrakat Bali akan seperti itu. Selain ada kampung Jawa juga akan muncul kampung Bule atau Banjar expat. Mungkin saja.
Tak hanya orang jawa yang sehabis lebaran datang membawa sanak saudara untuk bekerja di Bali. Orang Bule juga seperti itu.
Tak dipungkiri semua adalah karena globalisasi. Pertukaran lintas negara. Orang bali banyak yang bekerja keluar negeri, orang luar negeri banyak yang menggali untung di Bali.
Berapa banyak hotel, restaurant dan villa dimiliki oleh orang Bali? mungkin tak seberapa.
Menjamurnya hotel, villa dan restoran juga di dukung oleh masyarakat kita. Seperti halnya melindungi para bule tersebut.datang ke bali dengan visa sosial budaya bukan visa kerja, tetapi nyatanya mereka bekerja di Bali. Atau yang kerap terjadi adalah ”atas nama” sebuah usaha. Misalkan mendirikan sebuah restoran para expat biasanya meminjam nama pemilik tanah atau nama orang lokal sebagai penjamin untuk legalisasi ijin mendirikan usaha. Jadi pada sertifikat restoran tersebut dimiliki oleh orang lokal. Namun pengelola dan yang menuai untung adalah para expat itu sendiri, begitu juga dengan jenis usaha lainnya pendirian usaha garmen, handicraft dll.
Yayasan yang berkedok sosial juga banyak, seperti yayasan kemanusiaan, bencana alam hingga yayasan untuk anjing. Didalamnya semua adalah expat.
Artinya masyarakat kita cukup bangga dengan nama diatas kertas saja, atau tanahnya di kontrak.
Bicara tentang posisi, Nah siapa yang memegang posisi menengah ke atas dalam sebuah perusahaan ataupun organisasi tersebut ? Pasti Bule. Biasanya jika sebuah usaha di jalankan oleh para Bule akan jauh lebih berhasil. Begitulah paradigma yang berkembang selama ini.
Kemudian saya ingin bertanya sebenarnya dimana Posisi orang Bali saat ini?
Apakah sebagai penonton saja dan tetap ramah, tersenyum, dan memegang teguh mental melayani melihat semua perkembangan Bali?
Mungkin kita harus cepat tersadar sebelum terlena.
Di balik kegemerlapan Bali sebagai destinasi pariwisata dunia, masih banyak saudara kami yang kekuangan air, tak punya rumah, tak bisa sekolah. Banyak sekali daerah miskin di Karangasem, Singaraja dll.
Satu sisi pariwisata dan kehadiran para bule memberikan perubahan yang besar terhadap peningkatan taraf hidup masayrakat, namun disatu sisi ini seperti kami merasa di jajah.
Ya, penjajahan yang terselubung, sebentar lagi daerah kami akan dikuasa para bule, banyak tanah yang dijual oleh masayrakat di bali untuk villa dan hotel. Setelah itu kami tak punya apa-apa lagi.
Setelah menjual tanah kita memang kaya dalam jangka beberapa tahun. Namun setelah itu? Jika skill tidak ada tetap kita akan kembali menjadi pekerja rendahan. Atau lebih parah bekerja pada hotel yang didirikan diatas tanah yang dulu kita pernah miliki.
Bali sudah over exploitasi.
Baliku sayang..
Seperti apa kita 20 tahun lagi?
Kasihan anak cucu saya nanti, neneknya tak mampu berjuang untuk mereka.
d.purnami
24 Oktober 2008
Sunday, October 26, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment